AL HAFIZH AL
KHATIB AL BAGHDADI BERKATA:
لاَ
يُؤْخَذُ الْعِلْم إلاّ مِنْ
أفْوَاهِ اْلعُلَمَاءِ
“Ilmu agama
tidak bisa diperoleh kecuali dari mulut para ulama”
Salah seorang ulama ternama dari
kalangan tabi’in, Muhammad ibn Sirin mengatakan:
إنّ هذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا
عَمَّنْتَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ (رواه مسلم في مقدمة صحيحه)
“Ilmu ini adalah(bagian) agama, maka
teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian mengambil pelajaran agama kalian
Kajian kita kali ini adalah masalah Zakat Fitrah dan permasalahannya
Zakat merupakan salah satu rukun Islam,
dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu
hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu
AZAB BAGI YANG
TIDAK BERZAKAT
لَعَنَ
اللهُ ءَاكِلَ الرّبَا وَمُوْكِلَهُ وَمَانِعَ الزَّكَاة (رواه ابن حبان)
“Allah melaknat
pemakan harta riba,pemasok riba dan orang yang tidak membayar zakat”.
(HR. Ibnu
Hibban).
AWAL DIMULAINYA PERINTAH ZAKAT:
1.
Kalau
menurut ahli Fiqih, tahun dimulainya zakat yaitu pada tahun ke 2 Hijriyah di
bulan Sya' ban.
2.
Kalau
menurut ahli hadist, tahun dimulainya zakat yaitu pada tahun ke 2 Hijriyah di
bulan Syawal.
3.
Kalau
zakat fitir (zakat fitrah), yakni 2 hari sebelum hari pada bulan Romadlon tahun
ke 2 Hijriyah.
PENGERTIAN ZAKAT
Zakat secara bahasa adalah (an-Namaa),
tumbuh, bertambah atau meningkat dan juga dapat di artikan barakah
berkah , katsir al-khair banyak kebaikan , ath-Tath-hir wal Ishlah; mensucikan, serta memperbaiki
Menurut istilah, dalam kitab al-Hâwî,
al-Mawardi mendefinisikan zakat dengan nama pengambilan tertentu dari harta
yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada
golongan tertentu
MACAM-MACAM ZAKAT
a.
Zakat
Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
b.
Zakat
Maal (harta).
Kajian
kita kali ini kita batasi hanya seputar zakat fitrah
LANDASAH HUKUM ZAKAT
sumber hukum
kewajiban menunaikan zakat fitrah, di antaranya adalah:
وَاَقِيْمُوْ
االصَّلَوةَ وَاَتُوْاالزَّ كَوْةَ, وَمَـاتُقَدّ ِمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِنْ
خَيْرٍتَجِدُوْهُ عِنْدَاللهِ, اِنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya :
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan
dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Baqarah:110)
واقيموا
الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة 43)
خذ
من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها (التوبة 103)
واتوا
حقه يوم حصاده (الأنعام 141)
Diperkuat dengan
hadist Nabi antara lain :
بني
الاسلام على خمس شهادة أن لااله الاالله وأن محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء
الزكاة وحج البيت وصوم رمضان (رواه البخاري ومسلم)
Dalam hadits
Nabi Saw diterangkan sebagai berikut:
عَنِ
بْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ
الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
رواه البخارى ومسلم)
وفى البخارى: وَكَانَ
يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ)
Dari Ibn Umar, katanya: “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah
pada bulan Ramadlan, sebanyak satu sha’ ( + 2,5 kg) kurma atau gandum
atas tiap-tiap muslim merdeka, hamba sahaya, laki-laki atau perempuan”.
(HR.al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat al-Bukhari ada keterangan: “mereka
membayar zakat fitrah itu sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri”.
Dalam hadits
Nabi Saw yang lain diterangkan:
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ
مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ
صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ ) رواه أبو داود وابن ماجة)
Dari Ibn Abbas ra, katanya: “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat
fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dan pemberi makan bagi
orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikan zakat fitrah sebelum shalat Idul
fitri maka zakatnya akan diterima, dan barangsiapa membayarnya sesudah shalat
maka zakatnya itu dipandang sebagai shadaqah biasa
(HR. Abu Dawud dan Ibn
Majah)
Hadis Nabi
berkenaan dengan kewajiban zakat fitrah :
عن ابن عمر رضي الله عنهما
قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر، صاعا من تمر أو صاعا من شعير،
على العبد والحر، والذكر والأنثى، والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى
قبل خروج الناس إلى الصلاة.(متفق عليه)
Dari Ibnu Umar,
radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan
zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atas hamba sahaya ataupun
orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau dewasa, dari
orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan sebelum
orang-orang keluar dari shalat Hari Raya Fitri.(muttafaqun ‘alaih).
من كان يؤمن بالله و اليوم
الآخر فَلْيُؤَدُ زكاة مالِهِ
Artinya : Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya menunaikan zakat hartanya. (HR.
At-Tabrani)
Ibnu Qutaibah
berkata : “Yang dimaksud dengan zakat fitrah adalah zakat jiwa”. Dengan
demikian, zakat fitrah adalah zakat sebagai pembersih jiwa,
salah satu tujuan
pentingnya zakat fitrah adalah sebagai penutup dari kholal (kekurangan) yang
terjadi di waktu puasa Romadhon.Sebagaimana sujud sahwi itu menutup kekurangan
yang terjadi di dalam sholat
dan diantara kewajiban seseorang muslim
dan muslimah yang sangat penting adalah menunaikan Zakat Fitrah. Karena
sesungguhnya puasa itu tergantung diantara langit dan bumi dan sesungguhnya tidak
akan terangkat melainkan dengan Zakat Fitrah (Busral Karim Hal 447).
Sebagaimana tersebut di dalam hadist yang bersumber dari pemimpin manusia yaitu
Rasulullah Saw.
Di dalam hadist yang lain Rasulullah
Saww., bersabda:
زكاةُ الفطرِ طُهْرَةُ للِصَّائِمِ
من الرَّفَثِ وَطُعْمَةٌ للفقراءِ و المساكينِ
Artinya : Zakat Fitrah merupakan
penyucian bagi orang yang berpuasa dari kekurangan dan makanan bagi orang faqir
dan miskin. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
SYARAT WAJIB BERZAKAT FITRAH
ada 3 (menurut Kitab
Fathul Qarib pada bab Zakat Fitrah):
1. Islam/Muslim. maka zakat fitrah
tidak diwajibkan bagi seorang yang kafir ashliy kecuali dia mengeluarkan zakat
fitrah untuk orang muslim yang ia tanggung nafkahnya yang bentuknya bisa jadi
adalah budak atau karib kerabatnya yang Islam.
2. Menjumpai akhir bulan Ramadhan dan awal
bulan Syawal. Dan titik temu saat-saat tersebut adalah pada saat terbenam
matahari hari terakhir bulan Ramadhan. Sehingga apabila seseorang meninggal
setelah terbenam matahari akhir bulan Ramadhan, atau bayi dilahirkan sebelum
terbenam matahari bulan Ramadhan maka telah wajib atas mereka Zakat Fitrah.
3. Memiliki kelebihan dari kebutuhan pokok
makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal pada hari raya dan malamnya untuk
dirinya dan untuk orang-orang yang wajib ia nafkahi.
Apabila seseorang telah memenuhi tiga
syarat di atas maka ia diwajibkan untuk menunaikan Zakat Fitrah. Walaupun
dilain sisi ia seorang Mustahik (Orang yang berhak menerima Zakat). Dan
sebagaimana ia wajib menunaikan Zakat Fitrah atas dirinya, ia juga diwajibkan
menunaikan Zakat Fitrah atas orang-orang yang ia wajib nafkahi.
SYARAT-SYARAT
SYAH MEMBAYAR ZAKAT
1. Niat. Sepakat
para Ahli Fiqh bahwa niat menjadi syarat waktu membayar zakat, karena Hadist
Nabi :
انما
الأعمال بالنيات وانما لكل آمرئ ما نوى
Niat wajib dalam hati. Sunnah
melafadzkannya dalam madzhab syafi’i.
Niat untuk fitrah diri sendiri:
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي لِلَّهِ تَعَالىَ
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya
karena Allah Ta’ala)
Niat untuk zakat fitrah orang lain:
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ فُلاَنٍ أَوْ فُلاَنَةْ لِلَّهِ
تَعَالىَ
saya niat mengeluarkan zakat fitrah
fulan atau fulanah karena Allah Ta’ala
Catatan :
Anak yang sudah baligh, mampu secara
fisik, tidak wajib bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrahnya. Oleh karena itu
apabila orang tua hendak mengeluarkan zakat fitrah anak tersebut, maka caranya
:
Men-tamlik makanan pokok
kepadanya (memberikan makanan pokok untuk fitrahnya agar diniati anak
tersebut). Atau mengeluarkannya dengan seizin anak.
2. Memberikan
zakat pada Mustahiqnya, hal ini di pahami dari hurup Lam pada Firman Allah :
انما
الصدقات للفقراء (التوبة 60)
Menurut Imam
Syafi’i, Lam tersebut di namakan Lam Tamlik (menerangkan kepemilikan).
ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Dalam hal ini Allah
SWT berfirman:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ الْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ
الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِيْنَ وَ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ. (التوبة: 60)
“Sesungguhnya zakat
itu hanyalah diberikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
pekerja urusan zakat, orang-orang yang dijinakkan hatinya (karena baru memeluk
islam), hamba sahaya yang sedang berikhtiyar menembus dirinya untuk menjadi
orang yang merdeka, orang-orang yang punya hutang (kerena kepentingan agama),
orang-orang yang berjuang di jalan Allah (tanpa gaji dari pemerintah) dan
musafir yang kehabisan bekal tatkala berada di perjalanan.”
Pada ayat ini ada
lafadzإِنَّمَا yang faidahnya untuk Lil Khashri
(menyempitkan) artinya pembagian zakat ataupun zakat fitrah hanya dibatasi dan
disempitkan hanya 8 golongan saja yang lain tidak boleh, sedang empat golongan
pertama dalam ayat ini menggunakan “huruf jer Lam yang bermakna
(memiliki). Sedangkan, empat golongan yang lainnya digandeng dengan huruf jer Fi
yang bermakna dzorfiyah yang berarti menempati. Hal ini berarti bahwa
untuk fuqoro’, masakin, muallaf, dan amil, maka zakat itu mutlak milik mereka
dengan pembagian yang telah ditentukan oleh agama dan tidak boleh ditarik
kembali dari tangan mereka.
Adapun 8 golongan
yang berhak mendapat zakat maal dan zakat fitrah perinciannya adalah sebagai
berikut:
1. Fakir
Fakir adalah orang
yang tidak punya harta benda dan pekerjaan sama sekali atu orang yang punya
harta atau pekerjaan tetapi tidak mencukupi kebutuhannya
Orang yang tidak bekerja atau bekerja
tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhanpokoknya. Seperti orang yang sehari membutuhkan
Rp.10.000,-, akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 4000,-
2.
Miskin
Miskin adalah orang
yang memiliki harta yang hampir mencukupi kebutuhannya tapi tidak cukup untuk
menutupi seluruh kebutuhan kesehariannya
Misal dari orang
miskin ini adalah orang yang kebutuhannya 10 dirham tapi ia hanya memiliki 7
dirham saja
Orang yang hanya bisa memenuhi separuh saja dari kebutuhan
pokoknya. Seperti orang yang dalam
sehari membutuhkan Rp.10.000,- akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp.
8000,- atau Rp.7000,-.
3.
Amil
Definisi Amil Zakat
adalah :
العَامِلُ
هُوَ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ اْلإِمَامُ عَلَى أَخْذِ الزَّكَوَاتِ لِيَدْفَعَهَا
إِلَى مُسْتَحِقِّيْهَا كَمَا أَمَرَهُ اللّـهُ تَعَالَى.
“Amil adalah orang yang diperkerjakan oleh imam untuk mengambil zakat
kemudian membagikannya kepada para mustakhiq zakat, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Alloh SWT dalam Al-Qur’an”.
Amil adalah orang
yang diperkerjakan oleh imam untuk mengambil zakat kemudian membagikannya
kepada para mustakhiq zakat
Adapun sebagian
besar panitia Zakat yang ada di masjid/mushalla dsb sebagaimana yang ada di
masyarakat, mereka bukanlah Amil yang dimaksud oleh Syari'ah Posisisinya sebagai Panitia Zakat Bukan Amil zakat, karena mereka tidak dilantik secara
resmi oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama akan tetapi status mereka
hanyalah wakil/perantara dari pemilik Zakat
Sekalipun panitia
bukanlah amil, tetapi kerjanya tidak ada bedanya dengan amil maka pantaslah
panitia mendapatkan apresiasi, Sebagaimana Hadist Nabi yang berbunyi :
يَقُوْلُ
صَلّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ العَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ لِوَجْهِ
اللهِ تَعاَلَى كَالْغَازِ فِي سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَرْجِعَ
إِلَى أَهْلِهِ (رواه أحمد)
“Bersabdalah Nabi
Muhammad saw, Amil zakat dengan cara yang benar (menurut agama) karena Alloh
SWT semata, Pahalanya seperti orang yang berperang menegakkan agama Alloh,
sehingga ia kembali ke keluarganya
4. Mu’allaf/ Al Muallafah Qulubuhum
Lafadz Al
Mu’allaf Kulubuhum dari segi bahasa artinya yang artinya adalah
“dilemahkan,” Sedangkan makna muallaf adalah : Orang yang masuk islam,
sedangkan niatnya masih lemah maka di lunakkan hatinya dengan di beri zakat
untuk menguatkan imannya
supaya niat
masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalah orang-orang yang
terpandang di antara kaumnya. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan orang-orang semacam mereka yang
masih kafir tertarik untuk masuk Islam.
5. Ar Riqob
Riqob adalah
budak-budak mukathab (yang ingin memerdekakan diri)
yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya,jika dia bisa
membayar uang dalam jumlah tetentu, maka ia merdeka. setelah melunasi sejumlah tebusan yang
sudah disepakati bersama dan juga di bayar secara berangsur.
Keberadaan budak saat ini sangat jarang dijumpai, kecuali di beberapa
tempat seperti di Mauritania (kebanyakan para budak di sana tidak lagi
diperjual belikan layaknya budak-budak zaman dulu).
6. Ghorim
Ghorim adalah orang
yang berhutang buat diri sendiri untuk kepentingan yang bukan maksiat maka
Ghorim ini boleh diberi bagian zakat bila tidak mampu melunasi hutangnya,
sekalipun rajin bekerja, sebab pekerjaan itu tidak bisa menutup kebutuhannya
untuk melunasi hutang
7. Sabilillah
Sabilillah adalah
pejuang agama sukarelawan (yang tidak dibayar oleh pemerintah) sekalipun orang
tersebut kaya, maka pejuang diberi bagian sebagai nafkahnya, pakaiannya dan
juga untuk keluarganya, selama masa bepergian (untuk perang) dan pulang.
Demikian pula diberi biaya (untuk membeli) alat peperangan/perjuangan
Fi Sabilillah dapat diartikan dengan segala amal
kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam.
8. Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah
musafir yang melewati daerah zakat atau memulai kepergiannya yang diperbolehkan
syara’ dari daerah zakat, sekalipun untuk pesiar atau ia rajin bekerja; lain
halnya bila musafir berbuat maksiat kecuali apabila ia bertaubat
Ibnas-Sabil :Musafir yang kehabisan bekal untuk
bisa sampai ke tujuannya. (Q.S. At-Taubah :60)
Catatan :
Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia
berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib
dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain
yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya.
lafadz Tawkil izin adalah sebagai
berikut:
وكلتك فى إحراخ زكاة الفطر
عن نفسى
Wa kultuka fii ikhraaji zakaatil fithri
an nafsi.
Artinya : Aku wakilkan engkau untuk
menunaikan Zakat Fitrah atas diriku.
Mustahiq (orang yang berhak menerima
zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika
dikategorikan mampu.
zakat fitrah
harusnya hanya diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin, bukan asnaf
(penerima zakat) lainnya. Sementara ketujuh asnaf yang lain tetap dapat
menerima dana zakat selain zakat fitrah.
DOA MENERIMA ZAKAT
Sedangkan panitia
zakat yang merupakan wakil dari muzakki setelah menerima barang zakat bisa
mendo’akan muzakki atau mustahiq yang telah menerima barang zakat, dia boleh
mendo’akan muzakki.Bentuk do’anya adalah do’a yang sering dibaca dan diajarkan
oleh imam Syafi’i yaitu :
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. الحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللّهُمّ
صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ. آجَرَكَ الله ُفِيْمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا وَ
بَارِكْ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ. وَ صَلَّى الله عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ
عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ. وَ اْلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam. Ya Allah, limpahkanlah rohmat serta salam kepada Nabi Muhammad
dan keluarganya serta sahabatnya seluruhnya. Semoga Allah melimpahkan pahala
kepadamu dalam harta yang telah engkau berikan (sedekahkan) dan semoga Allah
menjadikan harta tersebut mensucikan dirimu serta semoga Allah melimpahkan
keberkahan darimu dalam harta yang masih tetap ada padamu dan semoga limpahan
rohmat serta salam atas Nabi Muhammad, keluarganya serta sahabatnya seluruhnya.
Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
KADAR/UKURAN ZAKAT FITRAH
Zakat fitrah berupa makanan pokok
mayoritas penduduk daerah setempat.
Adapun kadar dan
ukuran zakat fitrah adalah satu sho’ yang pernah dipakai Rasulullah SAW yang
menurut ukuran kita adalah:
1 Sho’= 4 Mud
1 Mud = 600 gram
4 Mud = 2400 gram =
2,4 Kg
Jadi, ukuran satu
Sho’ itu sama dengan ukuran 2,4 Kg pada saat ini, yang biasanya dibulatkan
menjadi 2,5 Kg. sesuai hasil konversi yang disebutkan dalam kitab Mukhtashor
Tasyyid al-Bunyan, satu sho’ setara dengan 2,5 kilogram
dalam kitabnya Fathul
Qodir fi ‘Ajaibil Maqodir. Zakat fitrah sebanyak 2,720 kilogram beras putih
Sedang untuk kehati-hatian, maka hendaknya kita mengeluarkan zakat fitrah
dengan hitungan yang besar yaitu 2,720 Kg atau ada yang membulatkan 3 Kg,
sedangkan lebihnya kita anggap sodaqoh
Ukuran zakat fitrah 1 sho’ beras = 2,75
– 3 kg.
Alasannya :
Zakat fitrah
dikeluarkan sebanyak 3 Kg, (kenapa 3 kg ?
karena wajib zakat fitrah yaitu 4
Amdad nabawi, 1 Mud Nabawi ukurannya belum ada yang bisa memastikan (1 satu mud
yaitu 2 telapak tangan digabungkan jadi satu) dan Ulama' belum bisa memastikan,
maka ulama menentukan kebijakan dengan
mengambil 3 kg untuk menjaga
kekurangannya dan sesuatu yang lebih itu lebih afdhol. (Jika ditimbang kurang lebih 2,75 kg dan ada yang menjumlah 2,80
kg).
dan berdasarkan Kitab Ihya' Ulumuddin, menyatakan bahwa 1 mud = 750gram, maka 1
sho'nya
750gram x 4
= 3 kg
kalau berdasarkan kitab Kifayatul Akhyar juz 1 hal. 295,
kemudian kitab Tafsir al-Munir juz 2 hal. 141,bahwa 1 mud = 675 gram, maka 1
sho'nya 675gram x 4 = 2,7 kg
kalau
berdasarkan kitab al-Fiqh al-Islam wa 'adilatuhu juz 2 hal. 909, 1 sho' = 3,8
kg (menurut madzhab hanafi)
dan untuk
mayoritas masyarakat Indonesia, kebanyakan berdasarkan kitab Fiqh al-Minhaj juz
1 hal. 548, 1 sho' = 2,4 kg dan dibulatkan menjadi 2,5 kg.
1 sha' yaitu
3,456 liter atau 1,728 bambu.jika ukuran tersebut dibandingkan ketimbangan kilogram maka sangat bergantung
kepada jenis makanan pokok yang wajib dikeluarkan, karena berat jenis antara
satu benda dengan benda lainnya adalah berbeda, jika yang dikeluarkan adalah
beras, maka ukuran yang dikeluarkan adalah 2,7648 kg, karena 1 liter beras
adalah 0,8 kg,(
Sohibur riwayah
sayidina umar pernah lupa membayar zakat fitrah, lalu teringat sesudah shalat,
dan kemudian beliau memberi zakat dan dengan tambahan memerdekan 1 budak,
karena merasa telah membuat kesalahan, kemudian beliau menjumpai rasulullah,
dan memberitahu hal tersebut, kemudian rasulullah menjawab, seandainya kamu
memerdekakan 100 hamba sekalipun sungguh tidak menyamai pahala zakat yang
dikeluarkan sebelum shalat hari raya dengan sesudah shalat, dan kata rasulullah
pula, tiap2 beras/gandum (yang wajib di zakati) pahalanya sama seperti
memerdekakan 1 budak/hamba
ORANG YANG TIDAK BERHAK/HARAM MENERIM
ZAKAT
Al-Imam Ahmad bin
Ruslan Asy-Syafi’i dalam nazhom Zubadnya menyatakan tentang orang-orang yang
tidak boleh menerima zakat :
......................... .. ·
وَلَـيْسَ يَـكْـفِى
دَفْعٌ
لِكَافِرٍ وَلاَ مَمْسُوْسِ رِقْ · وَلاَ نَصِيْبَيْنِ
لِوَصْفَى مُسْتَـحِقْ
وَلاَ
بَنِى هَـاشِمِ وَاْلمُطَّلِـبِ · وَلاَاْلغَنِى بِمَـالٍ
اَوْ َتَكَـسُّبِ
وَمَنْ
بِاِنْفَاقٍ مِنَ الزَّوْجِ وَمَنْ · حَتْمًا مِنَ اْلقَرِيْبِ
مَكْفِيُّ اْلمُؤَنْ
Dan tidak mencukupi
atau belun berzakat apabila diserahkan kepada :
1.
Orang kafir
2.
Orang yang tersentuh perbudakan atau
menjadi budak
mereka adalah
orang-orang yang berkecukupan dari nafkah tuannya atau mereka adalah
orang-orang yang tidak memiliki sesuatu (termasuk dirinya)
3.
Orang yang punya dua sifat mustahiq yang padanya terkumpul dua macam sifat dari ashonafuts
tsamaniyah sperti seorang fakir yang juga jadi seorang pejuang.Tetapi hendaknya
dipilih salah satu saja dari kedua sifat tersebut
4.
Bani Hasyim, Bani Mutholib
Sedangkan pada saat ini yang berlaku di Indonesia dan
belahan bumi yang lain, keturunan dan cucu Rosululloh dari Sayyid Hasan dan
Sayyid Husein yang sering disebut dengan sebutan Habib kalau laki-laki atau
Hababah/Syarifah kalau perempuan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi
Al-Jawi :
فَاصْطِلاَحُ بَعْضِ أَهْلِ اْلبِلاَدِ
اِنَّ ذُرِّيَّةَ رَسُوْلِ اللهِ اِذَا كَانَ ذَكَرًا يُقَالُ لَهُ الْحَبِيْبُ
وَاِنْ كَانَتْ أُنْثَى يُقَالُ حَبَابَةٌ وَاصْطِلاَحُ اْلاَكْثَرُ يُقَالُ لَهُ
سَيِّدٌ وَسَيِّدَةٌ.
“Maka istilah sebagai ahli negeri bahwa anak cucu
Rosululloh SAW apabila ia laki-laki disebut Habib dan bila wanita disebut
Hababah.Sedang kebanyakan orang sering dikatakan Sayyid atau Sayyidah”
Al-Allamah Al-Habib Abdulloh bin Umar bin Abi Bakar bin
Yahya dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin yang di sana beliau menandaskan :
“Tidak boleh memberikan zakat kepada ahlul bait secara mutlak
5. Orang kaya sebab banyak hartanya atau
mendapat pekerjaan yang layak yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya.
Sabda Rasulullah
إِنَّهَا
لاَ تَحِلُّ لِغَنِّيٍّ وَلاَلِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ (رواه أبو داود والبيهقي)
“Sesungguhnya
zakat tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang yang mempunyai pekerjaan yang
mencu-kupinya” (HR.Abu Dawud dan al-Baihaqi)
TANGGUNGAN ZAKAT
Orang yang memiliki kelebihan harta
seperti di atas tetapi tidak mencukupi untuk fitrah seluruh keluarganya, maka
dikeluarkan sesuai urutan berikut :
1.
Dirinya
sendiri.
2.
Istrinya
Istri yang sudah ditalak roj’i (istri
yang pernah dikumpuli dan tertalak satu atau dua) dalam masa iddah.
Istri yang ditalak ba’in (talak 3)
apabila dalam keadaan hamil.
3.
Anaknya yang masih kecil tidak memiliki harta
4.
Bapaknya
yang tidak mampu. (mu’sir).
5.
Ibunya
yang tidak mampu.
6.
Anaknya yang sudah besar /baligh namun secara fisik tidak mampu
bekerja seperti lumpuh, idiot, dan sebagainya serta tidak memiliki harta.
7.
Pembantu
istri sukarela (tanpa bayaran).
Istri yang mengeluarkan fitrah dari
harta suami tanpa seizinnya untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak
sah.
Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah
anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas
Adapun bagi pemilik
zakat, sekali-kali tidak boleh untuk memindah-mindahkan zakatnya (Naqluz Zakat)
dari daerah setempat ke daerah berlainan dan zakatnya dinilai tidak sah, selagi
para mustahiq ada di daerah itu. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Al
Allamah Zainuddin Al Malibary dalam Fathul Mu’in:
وَ لاَ يَجُوْزُ لِمَالِكٍ
نَقْلُ الزَّكَاةِ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ وَ لَوْ إِلَى مَسَافَةٍ قَرِيْبَةٍ وَ
لاَ تُجْزِئُ
“Tidak dibolehkan bagi pemilik zakat untuk memindah zakatnya dari daerah
setepat harta itu sekalipun ke daerah yang berlainan, juga zakatnya menjadi
tidak sah
Mendistribusikan zakat ke luar wilayah orang yang membayar zakat
merupakan fenomena masalah yang klasik dan telah terbahas oleh para ulama
lintas madzhab. masalah ini menurut 3 ulama madzhab tidak diperbolehkan selama
dalam wilayah muzakki masih ada yang berhak menerima zakat. Sementara menurut
Imam Hanafi hukum memindah zakat adalah makruh, namun jika ada unsur maslahat
maka diperbolehkan. Penjelasan secara lebih jelas dapat dilihat dalam fatwa
al-Azhar dengan muftinya adalah Syaikh ‘Athiyah Shaqar:
فتاوى الأزهر - (ج 9 / ص 428)
وَاخْتَلَفُوْا فِي نَقْلِهَا
إِلَى بَلَدٍ آخَرَ، بَعْدَ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ نَقْلُهَا إِلَى
مَنْ يَسْتَحِقُّهَا إِذَا اسْتَغْنَى أَهْلُ بَلَدِ الَّزكَاةِ عَنْهَا . فَقَالَ
الْحَنَفِيَّةُ : يُكْرَهُ نَقْلُهَا ، إِلَّا إِذَا كَانَ النَّقْلُ إِلَى
قَرَابَةٍ مُحْتَاجِيْنَ ، لِأَنَّ فىِ ذَلِكَ صِلَةَ رَحْمٍ ، أَوْ إِلَى
جَمَاعَةٍ هُمْ أَشَدُّ حَاجَةً مِنْ فُقَرَاءِ الْبَلَدِ، أَوْ كَانَ النَّقْلُ
أَصْلَحَ لِلْمُسْلِمِيْنَ ، أَوْ كَانَ مِنْ دَارِ حَرْبٍ إِلَى دَارِ إِسْلَامٍ
، أَوْ كَانَ النَّقْلُ إِلَى طَالِبِ عِلْمٍ ، أَوْ كَانَتِ الزَّكَاةُ
مُعَجَّلَةً قَبْلَ أَوَانِ وُجُوْبِهَا وَهُوَ تَمَامُ الْحَوْلِ ، فَفِى
جَمِيْعِ هَذِهِ الصُّوَرِ لَا يُكْرَهُ النَّقْلُ . وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : لَا يَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكَاةِ مِنْ بَلَدٍ
فِيْهِ مُسْتَحِقُّوْنَ إِلَى بَلَدٍ آخَرَ، بَلْ يَجِبُ صَرْفُهَا فِى الْبَلَدِ
الَّذِى وَجَبَتْ فِيْهِ عَلَى الْمُزَكِّى بِتَمَامِ الْحَوْلِ ، فَإِذَا لَمْ
يُوْجَدْ مُسْتَحِقُّوْنَ نُقِلَتْ إِلَى بَلَدٍ فِيْهِ مُسْتَحِقُّوْنَ . وَالْمَالِكِيَّةُ لَا
يُجِيْزُوْنَ نَقْلَهَا إِلَى بَلَدٍ آخَرَ إِلَّا إِذَا وَقَعَتْ بِهِ حَاجَةٌ
فَيَأْخُذُهَا الْإِمَامُ وَيَدْفَعُهَا إِلَى الْمُحْتَاجِيْنَ ، وَذَلِكَ عَلَى
سَبِيْلِ النَّظَرِ وَالْاِجْتِهَادِ كَمَا يُعَبِّرُوْنَ . وَالْحَنَابِلَةُ لَا يُجِيْزُوْنَ نَقْلَهَا إِلَى بَلَدٍ يَبْعُدُ
مَسَافَةَ الْقَصْرِ، بَلْ تُصْرَفُ فِي الْبَلَدِ الَّذِى وَجَبَتْ فِيْهِ وَمَا
يُجَاوِرُهُ فِيْمَا دُوْنَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ .
“Ulama berbeda pendapat
mengenai memindah zakat ke tempat lain, namun mereka sepakat bahwa zakat boleh
dipindah ke tempat lain yang ada mustahiqnya jika di wilayahnya sudah tidak ada
yang membutuhkan zakat. Menurut ulama Hanafiyah: Makruh memindahkan zakat,
kecuali untuk diberikan kepada kerabat yang membutuhkan (sekaligus bernilai
sebagai silaturrahim), atau untuk sekelompok jamaah yang lebih membutuhkan
daripada warga fakir-miskin setempat, atau untuk kemaslahatan umat Islam, atau
dari negara perang ke negara Islam, atau untuk para santri / pelajar, atau
mengeluarkan zakat sebelum waktu wajibnya yaitu satu tahun. Maka dalam contoh
di atas hukumnya tidak makruh. Syafi’iyah berkata: tidak boleh memindah zakat
dari tempat yang ada fakir miskinnya ke tempat lain, bahkan wajib dibagikan
ditempatnya setelah mencapai 1 tahun. Jika tidak ada fakir miskinnya maka
dipindah ke tempat lain yang ada mustahiqnya. Ulama Malikiyah melarang
memindahkan zakat ke tempat lain kecuali jika ada kebutuhan, maka yang
mendistribusikan adalah pemerinta (lembaga yang sah) setelah dilakukan
penelitian. Ulama Hanabilah juga melarang memindahkan zakat ke tempat lain yang
melebihi radius jarak Qashar, tapi wajib diberikan kepada tempat yang ada
mustahiqnya dan wilayah sekitarnya yang tidak melebihi jarak Qashar”
الموسوعة الفقهية - (ج 2 / ص 8287)
«نَقْلُ زَكَاةِ الْفِطْرِ» - اُخْتُلِفَ
فيِ نَقْلِ الزَّكَاةِ مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي وَجَبَتْ فِيْهِ إِلَى غَيْرِهِ ،
وَتَفْصِيْلُهُ يُنْظَرُ فِي مُصْطَلَحِ: «زَكَاةٌ» .
“Ulama berbeda pendapat
mengenai masalah memindah zakat fitrah ke tempat lain, sebagaimana dalam
perincian memindah zakat harta”
WAKTU MENGELUARKAN
ZAKAT
ulama Syafi’iyyah mengatakan
ada lima waktu yang perlu diperhatikan, hal ini dijelaskan oleh As-Sayyid Bakri
Syatho yang uraiannya adalah sebagai berikut:
Pendeknya
bahwasannya zakat fitrah itu ada lima pembagian waktu:
1.
Waktu jawaz (boleh) awal bulan Ramadhan.
Dengan catatan orang yang telah menerima
fitrah darinya tetap dalam keadaan mustahiq (berhak menerima zakat) dan mukim
saat waktu wajib.
Jika saat wajib orang yang menerima
fitrah dalam keadaan kaya atau musafir maka wajib mengeluarkan kembali.
2.
Waktu wujub (wajib) tenggelamnya
matahari
3.
Waktu fadlilah (utama) Yaitu setelah adzan subuh hari raya sampai sebelum, sholat
'ied, kalau tidak bisa maka malam harinya.(
setelah terbitnya fajar hari raya (1 Syawwal) sebelum pelaksanaan shalat ied)
4. Waktu karohah (makruh) yaitu setelah pelaksaan shalat ied hingga terbenamnya matahari
1 Syawwal, kecuali karena menunggu kerabat atau tetangga yang berhak
menerimanya.
5.
Waktu hurmah (harom) Yaitu setelah terbenam matahari di hari raya/1 Syawwal, maka tidak dinamakan zakat Fitrah tetapi sodakoh,kecuali karena udzur seperti tidak didapatkan orang yang
berhak didaerah itu. Namun wajib menggodho’i.
Zakat Fitrah boleh ditunaikan sejak
masuknya bulan Ramadhan. Akan tetapi saat yang paling tepat dan afdhal adalah
antara terbit fajar hari raya sampai shalat 'Idul Fitri. adapun menunaikannya
setelah shalat 'Idul Fitri sampai terbenam matahari hari raya hukumnya makruh.
Dan apabila menunaikannya setelah terbenam matahari hari raya maka hukumnya
haram, dan Zakat Fitrah tetap wajib ia tunaikan. (Kitab Busyral Karim Hal 454)
NIAT ZAKAT
Zakat fitrah untuk
diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah
atas diri saya sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala.
Zakat untuk orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya : niat dilakukan
oleh pelaku tanpa harus mendapatkan izin dari orang yang dizakati
(tanggungjawab nafaqah) semisal seorang suami yang mengeluarkan zakat atas nama
istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku zakat di
perbolehkan memberikan makanan yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri.
Niat zakat
fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan
نوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ
تَعَالَى
Artinya: Saya
niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak
perempuan saya (sebut namanya), fardhu karena Allah Ta’ala.
Niat zakat fitrah
untuk istri
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya
niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, fardhu karena Allah Ta’ala.
Niat zakat
fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ
نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat atas
diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka
secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.
Niat zakat
fitrah untuk orang yang ia wakili
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: Saya
niat mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena
Allah Ta’ala.
Atau juga boleh
dengan niat sebagai berikut :
هذه زكاة الفطر المفروضة عن
نفسى
Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An
Nafsii.
Artinya : Ini adalah Zakat Fitrah yang
fardhu atas diriku.
Atau apabila atas istrinya ia niatkan
sebagai berikut:
هذه زكاة الفطر المفروضة عن
زوجتى
Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An
Zaujatii.
Artinya : Ini adalah Zakat Fitrah yang
fardhu atas istriku.
Atau apabila atas anaknya ia niatkan
sebagai berikut:
هذه زكاة الفطر المفروضة عن
ولدى
Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An
Waladii.
Artinya : Ini adalah Zakat Fitrah yang
fardhu atas anakku (disebut namanya).
Atau apabila atas orang yang ia wakili,
ia niatkan sebagai berikut:
هذه زكاة الفطر المفروضة عن
فلان
Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An
Fulaan....
Artinya : Ini adalah Zakat Fitrah yang
fardhu atas Fulan (disebut namanya).
Demikian pula halnya dengan niat Zakat
Maal. Ia niatkan sebagai berikut:
هذه زكاة مالى المفروضة عن
نفسى
Hadzihi Zakaatul maalii Mafruudhatu An
Nafsi.
Artinya : Ini adalah Zakat Maalku yang
fardhu atas diriku
TUJUAN/HIKMAH ZAKAT
tujuan dari zakat
ini tiada lain adalah untuk mengenyangkan fakir miskin dan mustahiq-mustahiq
lain pada malam dan siang hari raya tersebut. Jadi jelasnya orang yang berada
di daerah Jawa kalau dia hendak mengeluarkan zakat fitrahnya, hendaknya dia
mengeluarkan zakat dalam bentuk makanan pokok penduduk jawa, yaitu beras,
karena inilah yang dijadikan makanan pokok pada lazimnya, walaupun makanan
pokok dari muzakki tersebut bukan beras
Adapun hikmah
diwajibkannya zakat fitrah dalam bulan Romadhon atau di waktu Maghrib pada
tanggal 1 Syawwal itu adalah :
1. Ibadah untuk mencari keridhoan Allah
2.
Menolong, membantu, membina dan
membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidupnya.Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan
kewajibannya terhadap Allah SWT
3. Menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap
fakir miskin. Diharapkan dengan zakat yang diberikan, mereka tercukupi
kebutuhannya pada saat hari raya dan dapat bersuka cita bersama lainnya.Bagi
yang menunaikannya, hal tersebut sebagai pembersih dari kekhilafan-kekhilafan
yang dilakukan saat berpuasa
4. Memberantas
penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya
berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan
tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
5.
Dapat
mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq
mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat
bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin
karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan
selalu melingkupi hati.
6. Dapat
menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas
prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat,
dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti’ma
(tanggung jawab bersama)
7. Zakat
adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau
pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial,
pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam,
pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan
kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara
golongan yang kuat dengan yang lemah
8
Mewujudkan
tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya
menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang
tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi
kekhawatiran akan hidupnya hartanya aman dan bagi yang miskin tidak terjerumus pada paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan
dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan
sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah
SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun
Ghafur.
PERMASALAHAN KLASIK SEPUTAR
HARTA ZAKAT
HUKUM ZAKAT FITRAH
DENGAN WAJIB DENGAN MAKANAN POKOK (SEPERTI BERAS) ATAU BOLEH DENGAN UANG !!
Polemik yang sering diperdebatkan
adalah mengenai zakat dengan uang, dimana dalam hadis-hadis amaliyah Rasulullah
terkait dengan zakat fitrah hanya mengeluarkan komoditas makanan yang waktu itu
biasa dikonsumsi oleh para sahabat, seperti gandum, kurma, anggur, susu dan
sebagainya, yang kemudian para ulama fikih menyimpulkan bahwa yang wajib
dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah al-Aqwat (makanan pokok). Namun,
dalam dekade terakhir ini banyak dari kalangan umat Islam yang mengeluarkan
zakat fitrah dengan nominal uang yang dinilai lebih sesuai dengan
kebutuhan fakir miskin dan lebih praktis.
Oleh karena itu kami sajikan
referensi terhadap masalah ini sehingga kita dengan bijak menghargai perbedaan
tersebut.
a. Pendapat yang melarang pembayaran zakat
fitri (zakat fitrah) dengan uang
Pendapat ini merupakan pendapat yang
dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri
menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di
antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam
Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas
menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut
ini nukilan perkataan mereka.
§ Perkataan Imam Malik
Imam
Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata
uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah
Syahnun)
Imam
Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’
bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran
zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)
§ Perkataan Imam
Asy-Syafi’i
Imam
Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’
dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din
Al-Khash)
§ Perkataan Imam Ahmad
Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang
menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni,
Ibnu Qudamah)
Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya
tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir
zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail
Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)
§ Beberapa perkataan ulama lain:
a)
Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan
bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan
bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
b)
Taqiyuddin
Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab
Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji
(bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam
masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
c)
An-Nawawi
mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat
fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
d) An-Nawawi
mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab
kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
e
Asy-Syairazi
Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat
karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana
yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan
selainnya. Sebagaimana
berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak
boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
f)
Ibnu
Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama
sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa
bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan
nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan)
Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar,
3:860)
g)
Asy-Syaukani
berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak
memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul
Jarar, 2:86)
Menurut madzhab Syafi’i, zakat fitrah harus tetap
diberikan kepada fakir miskin dalam wujud makanan pokok, karena fungsinya
adalah pertolongan kepada para fakir miskin untuk mencukupi kebutuhan makanan
pada hari raya Idul Fitri.
menurut madzhab
Syafi’i zakat fitrah menggunakan uang (qimah) tidaklah sah, sedangkan yang
menganggap sah zakat fitrah dengan uang adalah Madzhab Hanafi dengan ukuran
satu sho’ beras ketika dikonversikan ke hitungan kita yaitu 3,8 Kg, padahal
sebagian orang-orang yang bersikukuh zakat fitrah boleh pakai uang masih menggunakan
ukuran sho’ madzhab Syafi’i yaitu 2,5 Kg.Dalam kitab Fathul Mu’in hal.50
disebut
لاَ
تُجْزِئُ قِيْمَةٌ وَلاَ مَعِيْبٌ وَلاَ مُسَوِّسٌ وَمَبْلُوْلٌ
“Tidak mencukupi zakat fitrah dengan uang atau barang yang cacat, berulat
dan basah”
”Apabila terdapat
beberapa ulama madzhab syafi’i yang menyetujui dibolehkannya mengeluarkan dan
memberikan zakat fitrah dalam bentuk 'nilai pengganti' (uang) maka dapat
dipastikan pendapat ini dimunculkan oleh ulama-ulama syafi’iyyah kholaf
(modern/kontemporer),”
Munculnya
perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan
harga (uang) ini dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami apakah zakat itu
merupakan ibadah atau merupakan suatu hak bagi orang-orang miskin Bagi ulama
yang memahami bahwa zakat itu merupakan ibadah maka tidak boleh mengeluarkannya
kecuali sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Pendapat ini
dianut oleh Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali.
tidak dibenarkan mengeluarkan Zakat
Fitrah dalam bentuk uang sebagaimana yang terjadi di masyarakat kita dewasa
ini. (Kitab Fathul Mu'in Jilid 2 Hal 197, I'anatut Thalibin Jilid 2 Hal 197
disebutkan sebagai berikut: "Tidak sah berzakat dengan qimah (uang)
sebagai ganti dari tiga setengah Liter Fitrah, sebagaimana yang disepakati
seluruh ulama mazhab kami (Madzab A-Syafi'i)". Fathul 'Allam Jilid 3 Hal
302)
b. Pendapat yang membolehkan pembayaran
zakat fitri dengan uang
Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri,
Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri,
bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”
Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu
lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Imam Hanafi memperbolehkan membayar
zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan.
Namun ukuran satu sha' menurut madzhab ini lebih tinggi dari pendapat para
ulama yang lain, yakni 3,8 kg. Sebagaimana tercantum dalam kitab al-Fiqh
al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli : Satu sha' menurut imam Abu
Hanifah dan imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran Irak. Satu Rithl Irak sama
dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg).
Syaikh al-Qulyubi berkata: "Mengeluarkan zakat dengan uang, menurut
saya boleh, tetapi
hal ini tidak
sesuai dengan madzhab Syafii" (Bughyat al Mustarsyidin 207). Dengan
demikian, panitia zakat hendaknya menyediakan beras di lokasi zakat sebagai
antisipasi jika ada muzakki yang membayar zakat dengan uang, dimana terlebih
dahulu muzakki membeli beras kepada panitia zakat, kemudian dibimbing dalam
tatacara zakat fitrah.
بغية المسترشدين (ص: 207)
وأفتى البلقيني بجواز إخراج الزكاة فلوساً عند تعذر
الفضة أو كانت معاملتهم بالفلوس ، لأنها أنفع للمسلمين وأسهل ، وليس فيها غش كما
في الفضة المغشوشة ، فعند ذلك يتضرر المستحق إذا ردت ولا يجد غيرها ولا بدلاً اهـ.
وقال ق ل : أما إخراج الفلوس فإني أعتقد جوازه ولكنه مخالف لمذهب الشافعي اهـ.
kitab Majmu’ karya Imam Nawawi (Syafiiyah) dan kitab al-‘Inayah Syarh
al-Bidayah dan Hasyiah Radd al-Mukhtar (Hanafiyyah).
المجموع
ج 5 ص 402
(فرع) قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اَنَّهُ لَا يَجُوْزُ اِخْرَاجُ
الْقِيْمَةِ فِي شَيْئٍ مِنَ الَّزكَوَاتِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ
وَدَاوُدُ اِلَّا اَنَّ مَالِكًا جَوَّزَ الدَّرَاهِمَ عَنِ الدَّنَانِيْرِ
وَعَكْسَهُ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَجُوْزُ فَإِذَا لَزِمَهُ شَاةٌ فَأَخْرَجَ
عَنْهَا دَرَاهِمَ بِقِيْمَتِهَا أَوْ اَخْرَجَ عَنْهَا مَا لَهُ قِيْمَةٌ
عِنْدَهُ كَالْكَلْبِ وَالثِّيَابِ …. وَاحْتَجَّ الْمُجَوِّزُوْنَ
لِلْقِيْمَةِ بِأَنَّ مُعَاذًا رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لِاَهْلِ الْيَمَنِ
حَيْثُ بَعَثَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاَخْذِ
زَكَاتِهِمْ وَغَيْرِهَا " ائْتُوْنِي بِعَرْضِ ثِيَابِ خَمِيْصٍ أَوْ
لَبِيْسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيْرِ وَالذَّرَّةِ اَهْوَنُ عَلَيْكُمْ
وَخَيْرٌ لِاَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ
" ذَكَرَهُ الْبُخَارِي فِي صَحِيْحِهِ تَعْلِيْقًا بِصِيْغَةِ جَزْمٍ
وَبِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ " فِي خَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ بِنْتُ مَخَاضٍ
فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَابْنُ لَبُوْنٍ " قَالُوْا وَهَذَا نَصٌّ عَلَي دَفْعِ
الْقِيْمَةِ قَالُوْا وَلِاَنَّهُ مَالٌ زَكَوِىٌ فَجَازَتْ قِيْمَتُهُ كَعُرُوْضِ
التِّجَارَةِ وَلِاَنَّ الْقِيْمَةَ مَالٌ فَأَشْبَهَتِ
الْمَنْصُوْصَ عَلَيْهِ وَلِاَنَّهُ لَمَّا جَازَ الْعُدُوْلُ عَنِ الْعَيْنِ
إِلَى الْجِنْسِ بِالْاِجْمَاعِ بِأَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ غَنَمِهِ عَنْ غَنَمِ
غَيْرِهَا جَازَ الْعُدُوْلُ مِنْ جِنْسٍ اِلَي جِنْسٍ
“Telah kami
terangkan bahwa dalam madzhab Syafi’iyah tidak boleh mengeluarkan zakat dengan
nilai mata uang. Imam Malik, Ahmad dan Dawud juga sependapat, hanya saja
menurut imam Malik diperbolehkan mengeluarkan uang dirham untuk zakat dinar dan
sebaliknya. Dan Abu Hanifah memperbolehkan zakat dengan uang, seperti seseorang
yang berkewajiban mengeluarkan zakat berupa kambing kemudian ia mengeluarkan
zakatnya dengan nilai mata uang yang seharga dengan kambing, atau mengeluarkan
benda lain yang juga memiliki nilai harga seperti anjing dan pakaian.... Ulama
yang memperbolehkan zakat dengan uang berdalil dengan perkataan Muadz bin
Jabal, ketika Rasulullah Saw mengutusnya ke negeri Yaman, Muadz berkata kepada
mereka: “Serahkanlah kepada saya harta dagangan baju khomish atau labis sebagai
zakat dari gandum. Cara itu lebih ringan bagi kalian dan lebih berguna bagi
sahabat Nabi Saw di Madinah” Riwayat ini disampaikan oleh al-Bukhari dalam
kitab sahihnya secara mu’allaq dengan redaksi tegas....”.
العناية شرح البداية (الحنفية) ج 2 ص 192-193
(وَيَجُوزُ دَفْعُ الْقِيَمِ فِي الزَّكَاةِ) عِنْدَنَا وَكَذَا
فِي الْكَفَّارَاتِ وَصَدَقَةِ الْفِطْرِ وَالْعُشْرِ وَالنَّذْرِ .وَقَالَ
الشَّافِعِيُّ : لَا يَجُوزُ اتِّبَاعًا لِلْمَنْصُوصِ كَمَا فِي الْهَدَايَا
وَالضَّحَايَا . وَلَنَا أَنَّ الْأَمْرَ بِالْأَدَاءِ
إلَى الْفَقِيرِ إيصَالًا لِلرِّزْقِ الْمَوْعُودِ إلَيْهِ فَيَكُونُ إبْطَالًا
لِقَيْدِ الشَّاةِ وَصَارَ كَالْجِزْيَةِ ، بِخِلَافِ الْهَدَايَا لِأَنَّ
الْقُرْبَةَ فِيهَا إرَاقَةُ الدَّمِ وَهُوَ لَا يُعْقَلُ .وَوَجْهُ الْقُرْبَةِ
فِي الْمُتَنَازَعِ فِيهِ سَدُّ خُلَّةِ الْمُحْتَاجِ وَهُوَ مَعْقُولٌ .
“Dan diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan
nilai mata uang menurut kalangan Hanafiyah. Begitu pula diperbolehkan dalam
kaffarat, zakat fitrah dan nadzar. Sedangkan Syafi’i tidak memperbolehkannya,
karena berdasarkan nash seperti dalam penyembelihan hewan qurban dan hadiyah
(dalam bab haji). Menurut kami, esensi perintah dalam zakat adalah untuk
memberikan rezeki kepada fakir-miskin, sehingga mengeluarkan kambing sebagai
zakat bukanlah sebuah ketentuan sebagaimana dalam jizyah. Hal ini tentu berbeda
dengan penyembelihan hewan, karena tujuannya adalah untuk mengalirkan darah dan
menjadi ibadah yang tidak dapat dinalar. Sedangkan dalam masalah yang
dipertentangkan (seperti zakat) adalah untuk memenuhi kebutuhan dan termasuk
ibadah yang dapat dinalar”
فتاوى الأزهر - (ج 1 / ص 137)
وَنُفِيْدُ أَنَّهُ لَا يَجِبُ عِنْدَ
الْحَنَفِيَّةِ أَنْ تُعْطَى صَدَقَةُ الْفِطْرِ مِنَ الْحُبُوْبِ وَلَا مِنْ
سَائِرِ أَنْوَاعِ الطَّعَامِ بَلْ يَجُوْزُ أَنْ تُعْطَى مِنَ النُّقُوْدِ بَلْ
ذَلِكَ اَفْضَلُ لِمَا قَالُوْهُ مِنْ أَنَّ دَفْعَهَا نُقُوْدًا أَعْوَنُ عَلَى
دَفْعِ حَاجَةِ الْفَقِيْرِ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ يَحْتَاجُ غَيْرَ الْحِنْطَةِ
مَثَلًا مِنْ ثِيَابٍ وَنَحْوِهَا . هَذَا وَلَا مَانِعَ أَنْ
يَأْخُذَ النَّاسُ فِى هَذَا الْمَوْضُوْعِ بِمَذْهَبِ أَبِى حَنِيْفَةَ لِمَا
فِيْهِ مِنَ التَّيْسِيْرِ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَأَرْبَابِ الْحَاجَاتِ
“Menurut
Hanafiyah tidak wajib memberikan zakat fitrah berupa biji-bijian atau makanan
yang lain, bahkan boleh memberikan dalam bentuk mata uang, bahkan hal ini lebih
utama. Alasan yang dikemukakan oleh para ulama adalah, memberikan zakat dalam
bentuk uang lebih tepat untuk menolong kebutuhan orang fakir, sebab boleh jadi
mereka tidak hanya butuh beras, tetapi butuh pada pakaian dan lain-lain. Dalam
hal ini tidak ada larangan bagi seseorang untuk mengamalkan madzhab Abu
Hanifah, karena lebih meringankan kepada orang-orang fakir dan yang
membutuhkan.”
Munculnya perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya mengeluarkan zakat
fitrah dengan harga (uang) ini dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami
apakah zakat itu merupakan ibadah atau merupakan suatu hak bagi orang-orang
miskin. Mereka juga
berbeda pendapat di dalam memahami maksud nash (teks hadits)
Perintah ini dinilai
sebagai perintah yang ta’abbudi, harus dilaksanakan sebagaimana mestinya
sebagai ibadah yang tak boleh ditawar-tawar. Pendapat ini dianut oleh mayoritas
ulama seperti Imam Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Bagaimana sikap
kita dengan adanya perbedaan pendapat tersebut? Kita harus menghargai pendapat
para ulama yang memang memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad. Kita
tidak boleh meremehkan salah satu dari pendapat-pendapat yang ada. Jika kita
setuju dengan salah satu pendapat tersebut, hendaklah kita mengamalkan
sebagaimana mestinya. Adapun terhadap pendapat lain yang tidak kita setujui,
kita tetap harus menghargai dan menghormatinya
Adapun solusi dari pada masalah diatas
yang telah mengakar dimasyarakat adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya panitia Zakat menyiapkan bahan
makanan pokok (yang dalam hal ini adalah beras), sehingga setiap orang yang
akan berzakat dengan uang disarankan membeli beras yang telah disediakan dengan
uang yang mereka bawa untuk berzakat, kemudian berniat.
2. Hendaknya panitia memberikan pengarahan
kepada mereka yang datang membawa uang agar ketika mereka menyerahkan uang
kepada panitia untuk mewakilkan panitia membeli beras dan menyerahkannya kepada
mustahik (orang yang berhak), dan mereka berniat.
BOLEHKAH HARTA
ZAKAT DI BERIKAN KEPADA SELAIN 8 ASNAF TAPI DIBERIKAN UNTUK MASJID,MADRASAH KIAI,YAYASAN
SOSIAL DLL
a.
Fatwa yang melarang
Sebagian besar ulama klasik dan
kontemporer berpendapat bahwa dana zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah,
tidak boleh digunakan untuk pembangunan masjid.
Seperti dalam
permasalahan mentasarufkan zakat kepada masjid, madrasah, pondok pesantren,
panti asuhan, guru ngaji atau (kyai), yayasan sosial atau keagamaan dan yang
lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari perbedaan pendapat di
kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam memaknai kata sabilillah dalam al-Qur’an
(at-Taubah :30).
Disebabkan karena golongan
penerima zakat itu sudah dijelaskan secara tegas dalam firman Alloh subhanahu
wata’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubat
:60)
Jadi, tidak diperbolehkan memberikan
zakat kepada selain 8 golongan (ashnaf tsamaniyah) tersebut.
Pendapat pertama:
menyatakan, bahwa maksud dari “sabilillah” adalah orang – orang yang sedang
berperang, jihad untuk membela agama Alloh dan tidak mendapatkan gaji dari
pemerintah, karena itu tidak diperbolehkan memberikan zakat untuk masjid,. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama’ 4 madzhab
fiqih, pendapat ini juga merupakan pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama’
kontemporer
Pendapat yang membolehkan
adalah pendapat yang lemah dan hal ini sesuai dengan pernyataan kitab Rohmatul
Ummah yang menyatakan
وَ
اتَّفَقُوْا عَلَى مَنْعِ اْلإِخْرَاجِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ وَ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ
“Dan seluruh ulama’ bersepakat atas tercegahnya/dilarangnya mengeluarkan
zakat untuk pembangunan masjid dan mengkafani mayit”.
b.
Fatwa yang membolehkan:
Imam Syihabuddin al-Qasthalani misalnya berpendapat bahwa Ahli Sabilillah
adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka
itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah
adalah para penuntut ilmu atau pelajar yang mempelajari ilmu syara' ,
orang-orang yang mencari kebenaran, orang yang menuntut keadilan, menegakkan
kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang
yang membela agama yang lurus
Imam Kasani memaknai sabililah dengan semua jalan ibadah, termasuk pula
orang-orang yang berjuang dalam ketaatan kepada Allah, dan menegakan kebaikan
dengan catatan apabila memang membutuhkan pembagian zakat, karena makna
sabilillah mencakup semua sektor kebaikan. Sebagian ulama
Hanafiyah juga
ada yang memaknai sabilillah adalah orang-orang yang mencari ilmu walaupun kaya
Imam al-Qaffal menukil
dari sebagian ahli fiqih, bahwa mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat
kepada segala sektor kebaikan (wujuh al-Khair) seperti mengkafani mayat,
membangun pertahanan, membangun masjid dan sebagainya, Karena kata-kata
sabilillah dalam Al-Qur'an (at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya)
dinuqil oleh Imam al-Qaffal dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa kata
sabilillah itu bisa bermakna luas mencakup seluruh jalur sektor kebaikan (wujuh
al-Khair).
demikian pula para ahli fiqih menyatakan boleh menyalurkan
zakat kepada segala macam sektor sosial yang positif seperti membangun masjid,
madrasah, mengurus orang mati dan lain sebagainya.
تفسير المنير ج 1 ص 344
وَنَقَلَ الْقَفَّالُ مِنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ
أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ،
مِنْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ وَبِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ،
لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى "فِى سَبِيْلِ اللهِ" فِى الْكُلِّ. اهـ
“Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fikih
bahwa mereka memperbolehkan mengalokasikan zakat ke sektor-sektor kebaikan,
seperti mengkafani mayat, membangun benteng pertahanan dan membangun masjid.
Sebab firman Allah yang berbunyi ‘Fi Sabilillah’ mencakup keseluruhan
Imam Quffal dalam
kitab tafsirnya menyatakan bahwa sebagian fuqoha’ memperbolehkan memberikan
zakat untuk semua kebaikan, seperti mengkafani mayit, membangun benteng dan
membangun masjid dengan alas an bahwa kriteria “sabilillah itu mencakup semua
hal tersebut, pendapat ini juga dituturkan oleh Imam Al-Kasani dalam kitab Bada’ius
Shonai’.
Adapun ucapan
sebagian ulama termasuk Imam Qoffal bahwa maksud dari lafadz Fi Sabilillah
adalah “Sabilil Khoir” ( jalan kebaikan apa pun), sehingga zakat boleh
diberikan untuk pembangunan masjid, pembangunan pondok, membeli kain kafan untuk
mayyit dan sebagainya.
Pendapat ini dikuatkan juga oleh Syekh Alwi Al Maliky
dalam kitabnya “Qurrotul Aini” hal 73, beliau menyatakan:
فتوى الشيخ العلامة محمد على المالكى فى كتابه قرة العين ص 73 ونصه:
اِنَّ الْعَمَلَ الْيَوْمَ بِالْقَوْلِ الْمُقَابِلِ لِلْمَجْهُوْلِ
الَّذِى ذَهَبَ اِلَيْهِ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ وَاِسْحَاقُ بْنُ رَهُوَيْهِ فِى اَخْذِ سَهْمِ سَبِيْلِ اللهِ مِنَ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ عَلَى
اَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ لِلْاِسْتِعَانَةِ بِهِ عَلَى تَأْسِيْسِ
الْمَدَارِسِ وَالْمَعَاهِدِ الدِّيْنِيَّةِ الْيَوْمَ مِنَ الْمُتَعَيَّنِ. اهـ
“Pada hari ini
mengamalkan pendapat ulama yang berseberangan terhadap pendapat yang belum
jelas sebagaimana dipilih oleh Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah dalam
persoalan memungut bagian sabilillah dari zakat yang wajib atas orang-orang
muslim yang kaya guna membantu pembangunan madrasah dan pesantren-pesatren
Islam, adalah suatu keharusan”
otoritas ahli fatwa dari universitas al-Azhar Kairo
juga memutuskan, bahkan menguatkan pendapat Imam Qaffal yang memperbolehkan
zakat untuk sektor sarana-prasarana, sosial dan sebagainya.
فتاوى الأزهر - (ج 1 / ص 139)
وَظَاهِرٌ أَنَّ أَنَسًا وَالْحَسَنَ يُجِيْزَانِ
صَرْفَ الزَّكَاةِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ لِصَرْفِهَا فِى عَمَلِ الطُّرُقِ
وَالْجَسُوْرِ وَمَا قَالَهُ ابْنُ قُدَامَةَ فِى الرَّدِّ عَلَيْهِمَا غَيْرُ
وَجِيْهٍ لِأَنَّ مَا أُعْطِىَ فىِ الْجَسُوْرِ وَالطُّرُقِ مِمَّا أَثْبَتَتْهُ
الْآيَةُ لِعُمُوْمِ قَوْلِهِ تَعَالَى { وَفِى سَبِيْلِ اللهِ } وَتُنَاوِلُهُ
بِكُلِّ وَجْهٍ مِنْ وُجُوْهِ الْبِرِّ كَبِنَاءِ مَسْجِدٍ وَعَمَلِ جَسْرٍ
وَطَرِيْقٍ ... وَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الَّذِى يَظْهَرُ لَنَا هُوَ
مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ جَوَازِ صَرْفِ
الزكَّاَةِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَنَحْوِهِ فَإِذَا صَرَفَ الْمُزَكِّى
الزَّكَاةَ الْوَاجِبَةَ عَلَيْهِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ سَقَطَ عَنْهُ
الْفَرْضُ وَأُثِيْبَ عَلَى ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ
“Secara dzahir, Anas (bin Malik) dan Hasan
(al-Bashri) memperbolehkan penggunaan zakat untuk membangun masjid, membangun
jalan atau jembatan. Sedangkan bantahan dari Ibnu Qudamah (Hanabilah) terhadap
pendapat di atas, tidak kuat. Sebab penggunaan dana untuk jembatan dan jalan
termasuk dalam lingkup keumuman ayat ‘Fi Sabilillah’, sebagaimana membangun
masjid, pengadaan jembatan dan jalan.... Kesimpulannya, kami sependapat dengan
sebagian ulama yang memperbolehkan alokasi zakat untuk pembangunan masjid dan
lainnya. Jika seorang muzakki menyerahkan zakat wajibnya untuk membangun
masjid, maka kewajibannya telah gugur dan akan mendapatkan pahala.”
Selain itu pendapat ini juga didukung dan difatwakan oleh beberapa ulama’ kontemporer, seperti
Sayyid Shodiq Hasan Khon, Syekh jamaludin Al-Qosimi,. Syekh Rosyid Ridho, Syekh
Mahmud Syaltut dan Syekh Husain Mahluf
Demikianlah
saudaraku yang bisa kami sampaikan mudah – mudahan yang sedikit ini bisa
bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar