BID’AH HASANAH
MENURUT PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
A. Iftitah
Para ulama
sepakat bahwa agama Islam yang mulia ini sudah sempurna dan tidak ada
kekurangan sesuatu apapun, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Q.S. Al-Maidah : 3)
Berdasarkan
ayat di atas, nyatalah bagi kita bahwa setiap ketetapan hukum yang dinisbahkan
kepada agama Islam haruslah berdasarkan dalil syara’ yang diakui dalam agama
dan setiap ketetapan hukum yang tidak berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka
harus ditolak dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang tercela. Rasulullah
SAW bersabda :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم
بهما كتاب الله وسنة نبيه
Artinya : Aku tinggalkan padamu dua perkara, niscaya kamu
tidak akan tersesat selama kamu memegangnya, yaitu Kitab Allah dan al-Sunnah
Nabi-Nya.(H.R. Malik)
Namun
demikian kesempurnaan agama Islam ini bukan berarti semua masalah kehidupan di
dunia ini sudah di atur sedemikian rupa. Seandainya semua urusan di dunia ini
sudah diatur secara terinci dalam sebuah kitab suci, sungguh tidak cukup kertas
dan tinta yang ada di dunia ini untuk menulis semua persoalan hidup karena
tentunya banyak sekali persoalan-persoalan yang muncul yang mengharuskan adanya
jawaban hukum. Kesempurnaan Islam, pengertiannya adalah Islam mempunyai
norma-norma atau aturan-aturan dalam bentuk garis-garis besar yang menjawab persoalan-persoalan
yang muncul dari masa kemasa. Norma-norma atau aturan-aturan dalam bentuk
garis-garis besar tersebut dijadikan
acuan oleh ulama guna menjawab sebagian persoalan-persoalan yang muncul yang
belum ada jawaban dari nash sharih dari syara’.
Imam
an-Nawawi dalam komentar beliau terhadap Q.S. Al-Maidah : 3 di atas, mengutip
hadits :
إِذَا اِجْتَهَدَ الْحَاكِم فَأَصَابَ
فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا اِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
Artinya :
Seorang hakim apabila berijtihad, ternyata ijtihadnya benar, maka
mendapat dua pahala dan kalau berijtihad, ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat
satu pahala.(H.R. Bukhari dan Muslim )
Kemudian beliau mengatakan :
“Ini
merupakan dalil bahwa sebagian hukum diserahkan kepada ijtihad ulama dan mereka
mendapat pahala atas ijtihadnya”.
Namun dalam
upaya ijtihad ini, para ulama disamping mempedomani kepada nash syari’at (al-kitab
dan al-sunnah) secara khusus, juga mempedomani kepada nash-nash yang
bersifat umum, meskipun kadang-kadang produk ijtihad tersebut tidak ada contoh
secara khusus dari perbuatan Rasulullah SAW (al-sunnah al-fi’li). Dalam
konteks inilah munculnya pembahasan apa yang sering disebut oleh ulama sebagai
bid’ah hasanah.
B. Hadits-hadits yang mencela bid’ah
Hadits-hadits
yang mencela bid’ah banyak tersebar dalam kitab-kitab hadits. Berikut beberapa
hadits saja yang dianggap memadai untuk memahami hukum melakukan perbuatan
bid’ah, yaitu antara lain :
1. Hadits dari Jabir r.a., Nabi SAW
bersabda :
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : Seburuk-buruk perkara adalah
perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R.
Muslim)
2. Sabda Nabi SAW :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : Jauhkanlah mengada-adakan suatu perkara agama.
Karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah)
3. Sabda Nabi SAW :
وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل
ضلالة في النار
Artinya : Seburuk-buruk perkara adalah
mengada-adakan suatu perkara agama. Setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat dan
setiap yang sesat masuk dalam neraka (H.R.al-Nisai)
4. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW
bersabda :
من
أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan)
dalam urusan (agama) kami yang bukan
dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.
(H.R. Bukhari dan
Muslim)
5. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan
sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim)
6. Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله
ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa yang melakukan
bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan merestuinya dan ia akan
ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut melakukannya dengan tidak
mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini
hadits hasan)
C. Pengertian bid’ah
Perkataan bid’ah secara lughawi (bahasa) menunjukkan
arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya.
Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah disebutkan,
“abda’a al-syai’, artinya mengadakan sesuatu tanpa ada
contoh sebelumnya”.
Ibnu Faris dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lughat mengatakan :
“Huruf baa’ daal dan ‘ain ada dua asal, salah satunya memulai
dan menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Pengertian tersebut di atas
didapati pada antara lain :
1.
Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ
صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta
langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai
isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
Lafazh
“Badii’” pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai
pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Firman Allah, Q.S. al-Ahqaf : 9 ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama
di antara Rasul-rasul
(Q.S. al-Ahqaf; 9)
Lafazh “bid’an minarrasul” pada ayat di atas,
mengandung arti yang pertama dari rasul-rasul. Artinya, tidak ada rasul
sebelumnya. Jadi, maksud ayat di atas adalah Muhammad bukanlah rasul yang
pertama yang pernah diturunkan Allah, tetapi pernah ada rasul-rasul yang
diutus-Nya sebelumnya.
3. Perkataan orang Arab ;
ابتدع فلان بدعة
Artinya : Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah).
Dengan arti ia membuat suatu tatanan
(cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya.
4.Perkataan orang Arab ;
هذا أمر بديع
Artinya : Ini adalah perkara yang
mengagumkan
Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk
sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan
seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa
dengannya.
Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru yang belum
pernah ada sebelumnya, dinamakan sebagai bid'ah secara bahasa.
Adapun
dalam pembahasan fiqh, berdasarkan keterangan para ulama setelah ini, dapat
disimpulkan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu :
a.
Bid’ah hasanah,
Yaitu :
Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum
atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya.
b.
Bid’ah dhalalah,
Yaitu :
Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau
qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini tidak diterima amalannya
D. Pendapat ulama mengenai amalan yang
tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Berikut keterangan ulama mengenai
kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya amalan ini
disebut dengan bid’ah, antara lain :
Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua
macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian
dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan
setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari
demikian adalah bid’ah terpuji”.
Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada
sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat
dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).
Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id
membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah
dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di
atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib :
membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram :
bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh :
menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh
mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun
perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah
Shalat Subuh dan Ashar. Pembagian model
Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib,
sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita perkecilkan, maka
kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok bid’ah dhalalah. Sedangkan
kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib, masuk kelompok bid’ah hasanah.
Intinya, pembagian ini mengakui adanya bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
Pembagian bid’ah seperti yang dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan
Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim.
Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan
yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil
syara’ yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang
didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya,
bahkan amalannya diterima”.
Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah
pendapat Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau
qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun
seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”
Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
“Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan
jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji)
Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal
pada zaman sekarang) mengatakan :
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas
dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika
ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan
Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji,
meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk
dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan
ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya
sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah
ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori
terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah
dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar.
E. Dalil bid’ah terbagi kepada hasanah dan dhalalah
Firman Allah
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا
عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ
رِعَايَتِهَا فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ
مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya : Dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang dan mereka mengada-adakan
rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka
sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka
tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan
kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara
mereka orang-orang fasik.(Q.S. al-Hadid : 27)
Rahbaniyah
adalah sikap meninggalkan kehidupan dunia dengan menjauhi perempuan dan menetap
dalam gereja. Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada
orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah
dengan melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya.
Penafsiran seperti ini dapat kita lihat antara lain dalam Tafsir al-Shawy,
beliau mengatakan :
“Firman Allah
Ta’ala “rahbaniyah ibtatada’uuha” maksudnya adalah orang-orang yang shaleh
diantara mereka melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah. “Lalu mereka
tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”, yakni orang lain yang
datang setelah mereka. “Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di
antara mereka pahalanya”, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah rahbaniyah
karena mencari keredhaan Allah. “Dan banyak di antara mereka orang-orang
fasik”, yakni orang-orang yang datang setelah mereka.
Menurut
penjelasan Tafsir al-Shawy di atas, bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang
Nashrani yaitu bid’ah rahbaniyah justru mendapat pahala dari Allah Ta’ala
karena dilakukan dengan keikhlasan mencari redha dari Allah. Ta’ala. Allah
Ta’ala hanya mencela sekelompok orang dari mereka yang tidak memelihara bid’ah
itu dengan pemeliharaan yang semestinya, yaitu menambahnya dengan trinitas,
kekufuran dan lain-lain. Penafsiran yang serupa dapat kita perhatikan dari
penafsiran yang dikemukakan oleh Abubakar al-Jashas, yaitu :
“Allah memberitakan
tentang bid’ah yang mereka lakukan yaitu qurbah dan rahbaniyah, kemudian Allah
mencela mereka karena meninggalkan pemeliharaan bid’ah itu dengan semestinya
melalui firman Allah “Famaa ra’auha haqqa ri’ayatiha”.
Selanjutnya Abubakar al-Jashas mengutip sebuah hadits sebagai
pendukung penafsirannya tersebut, yaitu riwayat dari Abi Umamah
al-Bahily, beliau berkata :
“Orang-orang Bani Israil melakukan bid’ah yang tidak
diwajibkan oleh Allah atas mereka hanya
karena mereka mencari keredhaan Allah. Lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya, maka Allah mencela mereka dengan sebab
meninggalkan pemeliharaan bid’ah tersebut.”
Berdasarkan penafsiran ahli tafsir di
atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah itu tidak selamanya
tercela, tetapi sebagiannya justru ada yang dianggap baik, bahkan mendapat
pahala dari Allah Ta’ala sebagaimana kisah Bani Israil yang termaktub dalam
firman Allah Surat al-Hadid di atas.
Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من
أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan)
dalam urusan (agama) kami yang bukan
dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R.
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar
al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan
dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak
didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam
uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang
didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya,
bahkan amalannya diterima”.
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy
dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah dalam pembahasan
di sini. Dengan demikian, hadits di atas dapat menjadi dalil adanya bid’ah
hasanah. Penjelasan serupa tentang pengertian perkataan “maa laisa minhu”
pada hadits di atas, juga disampaikan Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Artinya adalah suatu pemikiran yang tidak ada ‘azhid
(sokongan) yang dhahir atau tersembunyi dari al-Kitab atau as-Sunnah, baik
dalam bentuk lafazh maupun hasil
istinbath”.
Selanjutnya beliau
berkata :
“ Adapun yang ada azhid-nya yakni didukung oleh dalil atau
qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun
seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”
Ibnu al-Mulaqqan dalam memaknai hadits di atas mengatakan :
”Makna hadits adalah barangsiapa yang
mengada-adakan pada syara’ sesuatu yang tidak didukung oleh dalil dari
dalil-dalil agama, maka tidak boleh diamalkannya dan tidak melihat kepadanya.”
Dipahami dari penafsiran Ibnu Mulaqqan
di atas, maka bid’ah yang ditolak adalah bid’ah yang tidak ada dalil dari
dalil-dalil agama. Adapun bid’ah yang didukung oleh dalil agama, maka tidak
ditolak berdasarkan hadits tersebut, bahkan dapat diterima jika dipahami dari
mafhum mukhalafahnya.
Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan
sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim)
Pengertian hadits ini sama dengan
pengertian hadits tersebut pada point kedua di atas.
Pemahaman adanya bid’ah hasanah dari
mafhum mukhalafah dua hadits di atas, juga didukung oleh hadits tersebut
dibawah ini.
Sabda Rasulullah SAW
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بعده مِنْ غَيْرِ اَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئ
Artinya : Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam
Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR Muslim)
Dalam mengomentari hadits di atas,
Imam Nawawi mengatakan :
“Pada hadits
tersebut ada ajakan sungguh-sungguh memulai melakukan perbuatan kebaikan,
melakukan sunnah yang baik dan menjauhi mengada-ada yang bathil dan keji.”
Selanjutnya
beliau berkata :
“Hadits ini
mengkhususkan sabda Rasulullah SAW ;
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
dan pengertian
hadits tersebut adalah muhdats yang bathil dan bid’ah yang tercela.”
Al-Nawawi
telah menjadikan hadits riwayat Muslim yang tersebut pada dalil keempat di
atas, sebagai pen-takhshis (yang mengkhususkan) hadits “semua bid’ah
adalah sesat”. Dengan demikian, beliau telah menafsirkan perkataan “sunnah
hasanah” pada hadits riwayat Muslim tersebut sebagai bid’ah hasanah.
Al-Sanadi,
salah seorang tokoh ulama Mazhab Hanafi, setelah menjelaskan bahwa pengertian “sunnah
hasanah” dalam hadits tersebut
adalah jalan yang diridhai serta dijadikan sebagai pedoman, beliau membedakan
antara sunnah yang baik dengan sunnah yang keji dengan mengatakan :
Perbedaan
antara yang baik dengan yang keji adalah sesuai dengan ushul syara’ atau tidak
sesuai”
Dengan
kata lain, al-Sanadi ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”sunnah
hasanah” dalam hadits tersebut adalah bid’ah hasanah. Karena pengertian
bid’ah hasanah adalah sesuatu yang sesuai dengan ushul syara’, meskipun detilnya
tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sedangkan bid’ah dhalalah adalah sesuatu
yang tidak sesuai dengan ushul syara’.
Namun
demikian, ada sekelompok umat Islam, dalam rangka menolak bid’ah hasanah,
mereka mengartikan “sunnah” pada hadits
tersebut adalah sunnah Nabi SAW yang sudah pernah dilupakan ummat. Sehingga makna hadits tersebut lengkapnya adalah :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku
yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi
pahala mereka sedikitpun”
Jadi,
pengertian hadits tersebut bukanlah membuat bid’ah yang baru, tetapi hanya
menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang. Pemahaman
seperti ini jelas nampak keliru apabila ada keinginan memperhatikan dengan
sebaik-baiknya argumentasi di bawah ini, antara lain :
Pemahaman tersebut khilaf dhahir hadits.
Memahami nash syara’ menurut dhahirnya adalah wajib sebagaimana dimaklumi dalam
ushul fiqh, kecuali ada qarinah (keadaan) yang memalingkannya
Pemahaman tersebut bertentangan dengan
dalil-dalil yang telah disebut sebelum dan sesudah ini
Pemahaman tersebut akan menjadi rancu
apabila dihadapkan kepada penggalan kedua dari hadits tersebut. Lengkapnya
hadits tersebut dengan penggalan keduanya sebagaimana terdalam Shahih Muslim
adalah sebagai berikut :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Apabila kita mengikuti pemahaman bahwa
maksud hadits tersebut adalah menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah
dilupakan orang, maka makna “sunnah” pada penggalan kedua dari hadits
tersebut juga bermakna sama. Sehingga makna hadits tersebut, lengkapnya kurang
lebih sebagai berikut :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku
yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi
pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang keji
dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun
Ini
tentunya sama halnya dengan menuduh Nabi SAW mempunyai dua sunnah, yaitu sunnah
yang baik dan sunnah yang keji. Padahal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi
SAW. Oleh karena itu, berdasarkan ini dan dalil-dalil sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa pemahaman sekelompok umat Islam tersebut terhadap hadits
tersebut adalah keliru.
Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله
ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa yang melakukan
bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan merestuinya dan ia akan
ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut melakukannya dengan tidak
mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini
hadits hasan)
Yang dicela dalam hadits ini adalah
bid’ah yang disebut dengan sifat dhalalah. Mafhum mukhalafah-nya, bid’ah
yang tidak bersifat dengan dhalalah, yaitu bid’ah hasanah merupakan perbuatan
tidak tercela.
Pengakuan Rasulullah SAW terhadap
perbuatan atau perkataan sahabat yang dilakukan atau dikatakan oleh sahabat
tanpa bersandar kepada dalil khusus dari al-Kitab atau al-Sunnah.
Penjabaran pernyataan di atas adalah
seorang sahabat Rasulullah SAW melakukan (meng-ihdats) suatu tindakan dalam
ibadah tanpa menyandarkan kepada dalil khusus, baik dari al-Qur’an maupun dari
hadits, kemudian Rasulullah SAW mengetahui kasus tersebut, beliau diam atau
mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau merestui tindakan tersebut.
Pengakuan Rasulullah SAW ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah, karena tindakan
sahabat yang direstui oleh Rasulullah SAW tersebut meskipun tanpa mempunyai
dalil khusus, tetapi didukung oleh dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Tindakan
sahabat Nabi SAW yang termasuk katagori ini antara lain :
1). Hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’
al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما
رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا
طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا
يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah
bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang
Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata :
“Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau :
“Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah
selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu
menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih
malaikat yang berebutan pertama kali
menulis amalnya”. (H.R. Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan
mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada contoh sebelumnya) zikir yang tidak
ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang
ma’tsur”.
Mendatangkan dalam shalat zikir yang
tidak bertentangan dengan yang ma’tsur merupakan bid’ah hasanah. Sebaliknya
zikir yang bertentangan dengan yang ma’tsur,
termasuk bid’ah dhalalah. Karena bid’ah dhalalah merupakan sesuatu yang
diada-adakan serta bertentangan dengan dalil-dalil agama.
2). Hadits Anas, beliau berkata :
أن رجلا جاء فدخل الصف وقد حفزه النفس. فقال:الحمد
لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته
قال: "أيكم المتكلم بالكلمات؟" فأرم القوم. فقال "أيكم المتكلم
بها؟ فإنه لم يقل بأسا" فقال رجل: جئت وقد حفزني النفس فقلتها. فقال
"لقد رأيت اثني عشر ملكا يبتدرونها. أنهم يرفعها".
Artinya : Dari Anas,
beliau berkata : “Seorang laki-laki tiba
memasuki shaf (shaf shalat) dengan tersengal-sengal napasnya, lalu berkata :
“Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi. Manakala Rasulullah
SAW selesai dari shalatnya, beliau bertanya : “Siapakah diantara kamu yang
berbicara dengan beberapa kalimat ?” semua orang terdiam. Rasulullah bertanya lagi : “Siapakah
diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?”. Tidak ada yang
menjawab seorangpun. Maka berkata seorang laki-laki : “Aku tiba dengan
tersengal-sengal napasku, karena itu aku katakan kalimat itu”. Maka Rasulullah
SAW bersabda : “Sesungguhnya aku telah melihat dua belas orang malaikat berebutan
mengangkatnya (pahalanya)”. (H.R. Muslim)
Rasulullah
SAW tidak mencela sahabatnya mengucapkan Alhamdulillah hamdan katsiran
thayiban mubaarakan fiihi dalam shalatnya, bahkan beliau memujinya, padahal
ucapan tersebut tidak disandarkan kepada dalil khusus, baik al-Qur’an maupun
al-Sunnah pada saat itu. Hal ini karena tindakan sahabat tersebut
masuk dalam dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Ini menunjukkan adanya
bid’ah hasanah.
3). Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بينما نحن نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ
قال رجل من القوم: الله أكبر كبيرا. والحمد لله كثيرا. وسبحان الله بكرة وأصيلا.
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من القائل كلمة كذا وكذا؟" قال رجل
من القوم: أنا. يا رسول الله! قال "عجبت لها. فتحت لها أبواب السماء".قال
ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك
Artinya : Dari Ibnu
Umar, beliau berkata : “Manakala kami shalat bersama Rasulullah SAW, berkata
seorang laki-laki yang berasal dari suatu kaum : “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah
katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, Rasulullah SAW bertanya : “Siapa
yang mengatakan kalimat seperti ini dan seperti ini ?. laki-laki dari kaum itu
menjawab : “Aku Ya Rasulullah” Rasulullah bersabda : “Aku kagum karenanya,
mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”. Ibnu Umar berkata : “Aku tidak
meninggalkannya selama setelah aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan yang
demikian”.(H.R. Muslim)
Ucapan “Allahu
Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, diucapkan
oleh seorang sahabat Rasulullah SAW dalam shalat tanpa menyandarkan kepada
al-Kitab dan al-Sunnah. Namun ucapan tersebut mendapat pujian dari Rasulullah
SAW, beliau mengatakan :
“Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit
untuknya”
Dengan demikian, peristiwa yang tersebut dalam hadits di atas
menunjukkan kepada adanya bid’ah hasanah.
4) Kisah Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW yang selalu
melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci sebagaimana disebut dalam Shahih
Bukhari. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar
gembira sebagai orang-orang yang lebih dahulu masuk surga, padahal perbuatan
tersebut tidak ada contoh dari Nabi SAW sebelumnya. Riwayat tersebut adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ : لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى
عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ
يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ
أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ ، أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ
بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah
bersabda kepada Bilal pada waktu Shubuh: "Hai Bilal, coba ceritakan
kepadaku apa amalan yang paling disukai
yang kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di
hadapanku di sorga.'' Bilal berkata; "Tidak ada amal yang paling di sukai
di sisiku melainkan aku tidak bersuci (berwudhu’) pada satu sa’atpun pada malam
atau siang kecuali aku shalat dengan kesucian itu sebagaimana telah
ditentukan untukku."(H. R. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Dipahami
dari hadits tersebut kebolehan ijtihad mengenai waktu ibadah, karena Bilal
telah melakukan apa yang telah kita sebutkan dengan istinbath beliau. Kemudian
Nabi SAW membenarkannya.”
5). Hadits riwayat Bukhari tentang
sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati
oleh kaum kafir Quraisy, padahal shalat ini tidak ada contoh sebelumnya dari
Nabi SAW sebagaimana digambarkan dalam riwayat di bawah ini :
فَلَمَّا خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْحَرَمِ
لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنْ تَحْسِبُوا
أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَزِدْتُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا
وَاقْتُلْهُمْ بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ. فَلَسْتُ
أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَىِّ جَنْبٍ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي ،
وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ
مُمَزَّعِ. ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ أَبُو سِرْوَعَةَ عُقْبَةُ
بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ ، وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
قُتِلَ صَبْرًا الصَّلاَةَ
Artinya : Ketika mereka keluar dari daerah Haram untuk membunuhnya
di daerah Halal, Khubaib berkata kepada mereka: "Biarkanlah aku hendak
shalat dua rakaat". Mereka membiarkan Khubaib dan dia shalat dua rakaat,
kemudian berkata: "Seandainya kalian tidak menaruh sangkaan bahwa diriku
tidak gelisah, niscaya aku berlama-lama shalat. Ya Allah, hitunglah mereka,
dengan bilangan (yakni binasakanlah mereka semuanya). Aku tidak peduli, ketika
aku terbunuh sebagai muslim, di lambung mana saja, di mana tergeletakku adalah
karena Allah. Dan (pembunuhan) demikian adalah dalam Dzat Allah. Dan Bila Dia
berkehendak niscaya Dia memberkati sendi-sendi badan yang
terpotong-potong."Lalu Khubaib dibunuh oleh (Ugbah bin Harits). Dan adalah
Khubaib (orang pertama) yang membuat sunah (amalan) shalat dua rakaat bagi
setiap orang Islam yang hendak dibunuh dengan penahanan (diberi kesempatan).
Khubaib
r.a. seorang sahabat Nabi SAW, tentu tidak mungkin melakukan suatu amalan kalau
memang amalan tersebut diharamkan. Bahkan beliau wafat sebagai seorang syuhada
sebagaimana riwayat di bawah ini ;
Rasulullah SAW bersabda :
هو سيد الشهداء وهو رفيقي في الجنة
Artinya : Khubaib adalah penghulu
syuhada dan kawanku dalam syurga”.
Namun demikian, tidak semua ihdats
(bid’ah) sahabat diterima oleh Rasulullah SAW, tetapi ada juga yang beliau
ingkarinya. Hal ini karena
bertentangan dengan ruh dan qawaid agama yang bersifat umum. Ini dapat kita
simak dari peristiwa antara lain :
1). Perkataan Abdullah bin ’Amr :
قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو بَلَغَنِى أَنَّكَ تَصُومُ
النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ
حَظًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda
kepadaku : ”Hai Abdullah bin ’Amr, telah sampai berita kepadaku, bahwa kamu
berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam, maka jangan kamu lakukan
itu, karena tubuh, dua mata dan isterimu
ada hak atasmu” (H.R. Muslim)
Rasulullah
SAW mengingkari tindakan sahabat di atas, karena puasa dan shalat sepanjang
masa bertentangan dengan sifat agama Islam yang hanif, tidak memberatkan
dan lemah lembut.
2). Utsman bin Math’un pernah mencoba
hidup dengan tabattul (membujang), tetapi Rasulullah melarangnya, sebab
bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa manusia diciptakan
berpasang-pasangan dan qawaid agama yang menganjurkan mempunyai keturunan.
Larangan Rasulullah SAW dapat disimak dalam hadits di bawah ini :
سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ
رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ
التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا.
Artinya : Sa’ad bin Waqash berkata :
Rasulullah SAW menolak permintaan Utsman bin Math’un melakukan tabattul
(membujang). Seandainya Rasulullah SAW mengizinkannya, maka kami akan
mengibiri. (H.R. Bukhari)
Beberapa
perbuatan sahabat Nabi SAW yang lain yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah, antara lain :
Tindakan Utsman bin Affan menambah azan
pada shalat Jum’at menjadi dua kali sebagaimana tersebut dalam Kitab Shahih
al-Bukhari
Tindakan Ibnu Umar menambah zikir pada
tasyahud dalam shalat sebagaimana riwayat Abu Daud di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ
الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُه" قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا
وَبَرَكَاتُهُ."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا
وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ"
Artinya : Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW
tentang tasyahud ;
"التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ"
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan وَبَرَكَاتُهُ “
."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ".
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ”
."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
(H.R. Abu
Daud)
Al-‘Ainy dalam syarah Sunan Abu Daud mengatakan : “sanad ini shahih”
Dengan memahami uraian di atas, maka
semua hadits yang dhahirnya menunjukkan kepada keumuman tercela bid’ah, harus
dipahami bahwa yang tercela itu hanya sebagian bid’ah saja, karena keumuman hadits tersebut sudah dikhususkan
dengan dalil-dalil tersebut di atas. Termasuk
yang dikhususkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat (H. R. Muslim)
Dengan demikian, makna hadits ini adalah sebagian bid’ah
adalah tercela, bukan semuanya. Kesimpulan ini juga didukung oleh keterangan
ulama sebagaimana disebut di bawah ini :
1). Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits Nabi SAW, ”Setiap bid’ah
adalah sesat” , ini termasuk ‘am makhshus (lafazh umum yang dikhususkan),
karena bid’ah adalah setiap amalan yang tidak ada contoh sebelumnya.”
An-Nawawi
menjelaskan, bahwa tidak setiap bid’ah merupakan amalan yang sesat, karena
keumuman pada hadits tersebut dikhususkan hanya kepada sebagian bid’ah, yaitu
bid’ah dhalalah, amalan yang yang tidak didukung dalil umum dan khusus dari
syara’.
2). Dalam mengomentari hadits di atas,
Ibnu Syaraf al-Nawawi mengatakan :
”Sesungguhnya
lafazh muhdats dan lafazh bid’ah tidak dicela karena namanya, tetapi karena
makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan dan tidak dicela yang
demikian itu secara mutlaq.”
Bid’ah
tidak dicela secara mutlak, tetapi hanya yang mengandung makna menyalahi sunnah
dan mengarah kepada kesesatan saja. Komentar di atas, mafhumnya mengakui adanya
bid’ah hasanah.
Namun
demikian, ada juga ulama yang menafsirkan perkataan ”kullu bid’ah” pada
hadits di atas bermakna mutlaq, yakni dengan makna ”semua bid’ah”, tidak
dikhususkan hanya sebagian bid’ah saja. Tetapi berdasarkan pemahaman ini,
perkataan bid’ah dipahami sebagai setiap perkataan atau perbuatan ataupun
keadaan yang tidak dukung sama sekali oleh dalil syari’at yang sah, baik dalil yang umum
maupun yang sifatnya khusus. Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna
sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan
makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang
membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama
yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak
ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan
uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama
ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini
sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung
oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan
yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya
saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok
kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah.
Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada
hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan.
Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa
sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW,
“setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada
dalil secara khusus atau umum dari syara’.”
Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf,
setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh
dalil syari’at yang sah adalah bid’ah
yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah
menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi
dalam hukum yang lima, yaitu :
wajib kifayah seperti belajar ilmu
Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu,
Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf
sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’
hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan
yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu
wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed
Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian
bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
Ibnu Katsir membagi
bid'ah menjadi dua, yaitu :
Bid'ah menurut syar'i , seperti sabda Nabi SAW :
"Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap
bid'ah adalah sesat."
Bid'ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan
dengan shalat taraweh berjama'ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
"Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini.”
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang
diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf
syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’
atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh
karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda
halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh
dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela.
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW,
“setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada
dalil secara khusus atau umum dari syara’.”
F. Contoh-contoh bid’ah hasanah
1. Melaksanakan shalat Tarawih dengan
berjama’ah. Izzuddin Abdussalam telah memasukkan shalat Tarawih secara
berjama’ah ini dalam kelompok ibadah katagori bid’ah hasanah, yakni kelompok
bid’ah mustahabbah. Pada masa Rasulullah Shalat malam pada
bulan Ramadhan, keadaannya adalah sebagaimana riwayat Aisyah r. a. di bawah ini
:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى
فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا
فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ
فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ
فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا
بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ
أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ
عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ
عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا
عَنْهَا
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW mengerjakan shalat pada suatu malam didalam
masjid , lalu diikuti banyak orang .Keesokan malamnya Rasulullah SAW melakukan
hal yang serupa , ternyata orang-orang yang mengikuti beliau bertambah banyak.
Kemudian pada malam ketiga atau keempat mereka kembali berkumpul sebagaimana biasanya
, namun Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka hingga datang waktu
shubuh.Kemudian beliau keluar dan berkata
:"Aku
telah melihat apa yang kalian lakukan.Tidak ada yang menghalangiku keluar
menemui kalian melainkan kekhawatiranku hal ini akan diwajibkan atas
kalian.Yaitu shalat malam pada bulan Ramadhan."(HR. Bukhari)
Setelah kejadian sebagaimana digambar pada hadits di atas,
Rasulullah SAW tidak lagi keluar shalat
tarawih berjama'ah saat itu , karena kekhawatiran beliau shalat tersebut
diwajibkan atas mereka. Tetapi kemudian Umar bin Khathab pada masa kekhalifahan
beliau, memerintah kaum muslimin untuk melaksanakan shalat malam pada bulan
Ramadhan dengan berjama’ah dengan mengikuti seorang imam saja. Dan beliau
mengatakan : “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana riwayat di bawah ini
:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ
أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ
فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ
هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ
عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Artinya : Dari Abd
al-Rahman bin Abdul Qaari, beliau berkata : “Aku keluar bersama Umar bin
Khattab r.a. pada suatu malam di bulan Ramadan ke masjid dan orang-orang
tersebar berserakan, seorang laki-laki shalat untuk dirinya sendiri dan
laki-laki lain shalat dengan beberapa orang mengikutinya. Berkata Umar : “Aku
berpendapat bahwa jika mereka berkumpul dengan satu imam, tentu akan lebih
baik. Maka Umar bercita-cita untuk menyatukan mereka di belakang Ubay bin
Ka’ab. .Kemudian aku pergi bersamanya malam lain dan orang-orang sedang shalat
mengikuti imamnya, maka berkata Umar : sebaik-baik bid’ah adalah ini. (H.R.
Bukhari)
Menurut as-Suyuthi, yang dimaksud dengan
bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah hasanah.
2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar
ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab. Sebelumnya, usulan Umar ini sempat ditolak
oleh Abu Bakar dengan perkataan beliau :
“Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW sebelumnya”.
Namun kemudian Allah membuka cahaya hati Abu Bakar sehingga
beliau menyetujui usulan Umar ini. Izzuddin Abdussalam memasukkan pembukuan al-Qur’an
dalam katagori bid’ah hasanah, yakni
kelompok bid’ah wajib.
3. Sayyidina Utsman
ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari
meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya, yaitu :
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ
أَنَّ الَّذِي زَادَ التَّأْذِينَ الثَّالِثَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عُثْمَانُ بْنُ
عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ كَثُرَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ وَلَمْ يَكُنْ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنٌ غَيْرَ وَاحِدٍ وَكَانَ
التَّأْذِينُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَعْنِي عَلَى
الْمِنْبَرِ
Artinya : Dari al-Sa-ib bin
Yazid, sesungguhnya orang yang (yang pertama) menambah azan ketiga (disebut
tiga kali azan karena termasuk iqamah) pada hari Jum’at adalah Usman bin Affan
r.a. karena bertambah banyak penduduk Madinah. Pada masa Nabi SAW tidak ada
muazzin kecuali satu orang dan azan pada hari Jum’at adalah pada ketika imam
duduk atas mimbar. (H.R. Bukhari)
Isa bin Abdullah al-Humairy telah memasukkan ini dalam
katagori amalan yang dilakukan para sahabat, sedangkan Rasulullah SAW tidak
pernah melakukannya, yakni dengan kata lain termasuk katagori bid’ah hasanah.
Membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan berjabatan
tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar. Contoh-contoh ini telah disebut oleh
Izzuddin Abdussalam. Imam ar-Ramli mengatakan :
“Berjabatan tangan yang biasa dilakukan manusia setelah
shalat tidak ada ashalnya, tetapi tidak mengapa melakukannya”.
4. Belajar ilmu Bahasa
Arab yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, lughat, setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan
pembahasan yang mendalam dalam ilmu Tasauf. Contoh ini telah disebut oleh
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf .
5. Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Imam Abu Syamah,
guru Imam an-Nawawi dan Imam as-Suyuthi telah menyebutnya sebagai ibadah katagori
bid’ah hasanah. Menurut Imam as-Suyuthi, yang pertama sekali melakukan perayaan
maulid Nabi Muhammad SAW adalah Shahib Arbil al-Muluk al-Mudhaffir Abu Sa’id
Kaukabary bin Zain al-Abidin ‘Ali bin Baktakiin, salah seorang raja al-Amjad
dan pembesar al-Ajwad. Berkata Ibnu Hajar :
“Telah
muncul kenyataan padaku mempedomani perayaan maulid Nabi kepada dalil yang
shahih, yaitu hadits shahih dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, berkata :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَسُئِلُوا عَن ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ
مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا
لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم نَحْنُ
أَوْلَى بِمُوسَى مِنكُمْ. فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ
Artinya : Rasulullah SAW tiba di Madinah,
didapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ditanya kepada Yahudi, kenapa
mereka melakukan itu?. Hari ini adalah hari dimenangkan Musa dan Bani
Israil oleh Allah atas Fir’un. Karena
itu, kami berpuasa sebagai perhormatan baginya. Lalu Nabi SAW bersabda : “Kami
lebih patut dengan Musa dibandingkan kamu. Maka Nabi SAW memerintah untuk
berpuasa.
Dipahami dari hadits tersebut, dilakukan
perbuatan bersyukur kepada Allah atas balasan nikmat atau terlepas dari
malapetaka pada hari tertentu dan diulang-ulang yang demikian itu pada hari
yang sama pada setiap tahun.”
Ibnu Hajar telah menjadikan amalan Maulid Nabi SAW diqiyaskan
kepada puasa hari ‘Asyura. Dengan demikian, amalan maulid Nabi SAW sebagaimana
yang dikenal sekarang, meskipun tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi SAW dan
para sahabat adalah sunnat, karena ada dalil yang mendukungnya. Karena ia tidak
pernah dilakukan pada Nabi SAW dan sahabat, maka disebut sebagai bid’ah
hasanah.
6. Shalat Tasbih dengan berjama’ah. Berkata al-Kurdy r.m. di
dalam al-Fatawa:
“ Shalat Tasbih tidak termasuk shalat
yang disunat berjama’ah. Menurut Mazhab Syafi’i, shalat sunat yang disyari’at
berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan diberikan pahala karenanya dan yang
tidak disyari’atkan jama’ah maka tidak disunatkan berjama’ah dan tidak
mendapatkan pahala jama’ah karena tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala
shalat sunat tetap ada dan tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak
makruh. Karena tidak didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh
berjama’ah sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan
berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas
cahaya”.
Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat jenazah. Sa’id bin Abi Sa’id berkata :
صلى بنا ابن عباس على جنازة
فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم
Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas.
Beliau membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya
saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal itu
adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas syarat Muslim”.
(H.R. Hakim)
7. Membaca shadaqallahuh
‘adhim setelah selesai membaca al-Qur’an. Perbuatan ini telah terjadi di
lingkungan kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak ada dalil
khusus dari syara’ , tetapi secara umum termasuk dalam maksud firman Allah
Ta’ala :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya : Katakanlah: "Benarlah (apa
yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia
bukanlah termasuk orang-orang yang
musyrik.(Q.S. Ali Imran
: 95)
Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi
……dst sebelum khutbah Jum’at. Disebut dalam Fatawa al-Ramli :
“ Imam Ar-Ramli ditanyai tentang seorang yang maju keluar
didepan khatib, berkata ayat; Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi,
apakah itu asal pada sunnah dan ada diperbuat dihadapan Nabi SAW sebagaimana
dilakukan sekarang atau ada diperbuat oleh salah seorang Sahabat Nabi atau
Tabi’in semoga ridha Allah untuk mereka, dengan sifat-sifat tersebut ? Imam
Ar-Ramli menjawab : “Bahwa yang demikian itu tidak asal pada sunnah dan tidak
diperbuat dihadapan Nabi SAW bahkan Rasulullah tidak terburu-buru ke mesjid
pada hari Jum’at sehingga berkumpul manusia. Maka apabila manusia telah
berkumpul, Beliau keluar sendiri tanpa orang yang ribut bersuara keras
dihadapannya. Apabila masuk mesjid, beliau memberi salam kemudian apabila naik
mimbar, beliau menghadap manusia dengan wajahnya seraya memberi salam, kemudian
duduk dan Bilalpun melakukan azan. Apabila sudah selesai dari azan, Beliau
berdiri berkhutbah tanpa pemisahan antara azan dan khutbah, tidak dengan atsar
dan tidak dengan khabar dan juga tidak dengan lainnya. Demikian juga keadaan
para khalifah yang tiga sesudahnya. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa
sesungguhnya ini adalah bid’ah tetapi bid’ah hasanah. Maka pembacaan ayat yang
mulia merupakan pemberitahuan dan menggemarkan mendatangkan shalawat kepada
Nabi SAW pada ini hari (jum’at) hari
yang mulia yang dituntut memperbanyak shalawat. Membaca khabar sesudah
azan dan sebelum khutbah dapat mengingatkan mukallaf untuk menjauhi kalam yang
haram atau makruh pada ini waktu berdasarkan ikhtilaf ulama tentang ini.
Sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan khabar ini atas mimbar pada saat
khutbahnya”
Senada dengan di atas juga disebut dalam
Tuhfah al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj
Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan.
Menurut Muhammad ‘Ilauddin al-Hashkafi, pengarang al-Dar al-Mukhtar dari
kalangan Mazhab Hanafi, tradisi
pembacaan tersebut terjadi mulai tahun 781 H.
Keterangan Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan
merupakan bid’ah hasanah juga disebutkan oleh pengarang al-Mawahib al-Jalil
dari kalangan Mazhab Maliki. dan al-Dusuqi juga dari kalangan Mazhab Maliki
Menulis nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan lainnya
dalam mashaf al-Qur’an sebagaimana disebut oleh Muhammad ‘Ilauddin al-Hashkafi.
Berkumpul manusia bukan di Arafah pada hari Arafah setelah
’Ashar untuk berdo’a. Menurut Syarwany, ini telah dilakukan oleh Ibnu Abbas,
Hasan Basri dan satu jama’ah. Al-Wana-i mengatakan termasuk bid’ah hasanah. Ali
Syibran al-Malusi mengatakan, tidak makruh. Imam an-Nawawi, juga telah
memasukkannya dalam katagori bid’ah hasanah
Menggunakan sendok pada saat makan Menurut Isa bin Abdullah
al-Humairy, menggunakan sendok pada saat makan tidak termasuk bid’ah, karena
masuk dalam perbuatan ‘adiyah dan duniawiyah.
Shalat hari raya lebih dari satu tempat
dalam satu misr (kota). Menurut Ibnu Taimiyah ini pertama sekali
dillakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Sunnah yang ma’ruf pada zaman Nabi SAW, Abu
Bakar, Umar dan Usman, mereka tidak shalat pada satu kota kecuali satu jum’at
dan tidak shalat hari raya qurban dan fithrah kecuali satu shalat ‘Id.
Al-Suyuthi memasukkan talqin mayat dalam katagori bid’ah hasanah.
Menurut beliau tidak ada hadits shahih atau hasan yang menganjurkan talqin.
Namun Imam Nawawi dalam al-Raudhah mengatakan :
“Hadits tersebut (hadits mengenai talqin) meskipun dha’if,
tetapi didukung oleh beberapa penyokong dari hadits-hadits shahih dan
senantiasa manusia mengamalkannya mulai masa awal pada zaman orang-orang yang
diikuti.
Berdasarkan
pendapat Imam Nawawi di atas, talqin
tidak termasuk bid’ah.
Membasuh tangan saat mau makan. Al-Shawy dari kalangan Maliki menyebutnya sebagai bid’ah
hasanah
Menambah wasiat dengan bahasa selain Bahasa Arab sebelum
membaca khutbah Jum’at. Misalnya Bahasa Indonesia, supaya pesan khatib dalam
khutbah dapat dipahami oleh jama’ah dengan baik.
Memperingati hari-hari besar Islam seperti Isra’ dan Mi’raj,
1 Muharram, Nuzulul Qur’an dan lain-lain
Dan lain-lain
G. Kriteria bid’ah hasanah
Isa bin Abdullah al-Humairy menyebutkan syarat-syarat sesuatu
disebut sebagai bid’ah hasanah, yaitu :
termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah,
bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah.
Ini sesuai dengan manthuq dan mafhum hadits :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan)
dalam urusan (agama) kami yang bukan
dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak”..(H.R. Bukhari dan Muslim)
Makna urusan agama dalam hadits tersebut
adalah urusan yang bersifat ibadah. Oleh karena itu, tidak disebut sebagai
bid’ah perbuatan seperti memakai mobil, sepeda motor dan lainnya, meskipun
tidak ada contoh sebelumnya pada masa Nabi SAW
masuk di bawah pokok-pokok, maqashid
syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan
maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir
kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
tidak bertentangan dengan nash-nash
syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu
yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
dianggap oleh kaum muslimin sebagai
perbuatan yang baik. Menurut Isa bin Abdullah al-Humairy, syarat terakhir ini
telah disebut oleh Badruddin al-’Ainy. Persyaratan ini sesuai dengan hadits :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa saja yang dianggap oleh kaum
muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik.
Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad dalam Musnadnya.
Menurut al-‘Ilaiy, hadits ini mauquf, yaitu perkataan Abdullah bin Mas’ud
H. Bantahan terhadap syubhat yang dikemukakan
oleh orang yang menolak adanya bid’ah hasanah
Syubhat pertama,
Sekelompok
umat Islam yang menolak adanya bid’ah hasanah. Mereka mengatakan, agama
Islam sudah sempurna dengan turunnya Q.S. al-Maidah : 3 ;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. al-Maidah : 3)
Dengan demikian, agama yang sempurna ini tidak
boleh ditambah-tambah lagi dengan apapun bentuknya, baik dengan apa yang
disebut sebagai bid’ah hasanah atau lainnya.
Bantahan
Adanya pemahaman adanya bid’ah hasanah, tidak
berarti dengan demikian ada anggapan ketidaksempurnaan agama Islam. Karena
kesempurnaan agama Islam tentunya bukan dengan adanya semua peraturan yang
detil yang mengatur jalan hidup manusia. Namun kesempurnaannya itu datang
dengan adanya aturan-aturan atau norma secara garis besar yang menjadi acuan
ijtihad para ulama sebagai pewaris Nabi SAW. Pemahaman adanya bid’ah hasanah
yang didasarkan kepada dalil-dalil atau qawaid yang bersifat umum merupakan
penjabaran dari pemahaman kesempurnaan agama Islam dengan adanya aturan-aturan
atau norma secara garis besar. Dengan demikian, ayat di atas tidak relevan
dijadi dalil untuk menolak adanya bid’ah hasanah.
Lagi pula apabila yang dimaksud Q.S. al-Maidah : 3 di atas, adalah tidak ada lagi
penetapan hukum setelah turun ayat ini, maka pendapat itu keliru, karena masih
ada ayat al-Qur’an yang turun setelah ayat ini, yakni antara lain yang turun
terakhir kalinya, yaitu :
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ
يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ
فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا
إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. an-Nisa’ :
176)
Menurut riwayat dari al-Bara’ bin ’Azib, ayat ini
merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turunnya. Riwayat ini juga telah
diriwayat oleh al-Syaikhani dari al-Bara’ bin ‘Azib sebagaimana dijelaskan
al-Suyuthi dalam al-Itqan Dalam kitab al-Itqan juga disebut beberapa pendapat
lain mengenai ayat al-Qur’an yang terakhir diturunkan, seperti ayat riba dan
lainnya, tetapi tidak disebutkan ada yang berpendapat bahwa ayat Q.S. al-Maidah : 3 merupakan ayat yang terakhir
diturunkan Allah. Dengan demikian, Q.S. al-Maidah : 3 bukanlah merupakan ayat
yang terakhir yang diturunkan Allah SAW. Berdasarkan kesimpulan ini, al-Thabari
mengutip pendapat Abu Ja’far yang mengatakan bahwa pengertian Q.S. al-Maidah : 3 di atas adalah bermakna Makkah
al-Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya
orang muslim. Mulai kejadian turunnya ayat ini, maka Allah mengabarkan bahwa
Nabi SAW dan orang-orang yang beriman kepadanya telah disempurnakannya dengan
sebab orang-orang musyrikin tidak dapat lagi memasuki masjidil haram.
Syabhat kedua,
Ada yang mengatakan, kalau dibolehkan apa yang
dinamakan dengan bid’ah hasanah, maka tentu dibolehkan menambah misalnya raka’at
shalat dhuhur menjadi lima raka’at
dengan beralasan sebagai bid’ah hasanah. Padahal menambah raka’at shalat
wajib seperti dhuhur telah disepakati para ulama tidak dibolehkan.
Bantahan
Pernyataan, kalau dibolehkan apa yang dinamakan
dengan bid’ah hasanah, maka tentu dibolehkan menambah misalnya raka’at shalat
dhuhur menjadi lima raka’at dengan
beralasan sebagai bid’ah hasanah, merupakan pernyatan yang sangat keliru.
Karena menambah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam seperti dhuhur
bertentangan dengan dalil agama yang melarangnya. Sedangkan suatu amalan
disebut sebagai bid’ah hasanah sebagaimana yang telah dijelaskan haruslah
merupakan amalan yang didukung oleh dalil atau qawaid agama yang sifatnya umum.
Oleh karena itu, amalan yang bertentangan dengan dalil agama, tidak dapat
dikatagorikan sebagai bid’ah hasanah, bahkan ini dimasukkan dalam katagori
bid’ah dhalalah.
Ketidakbolehan menambah jumlah raka’at shalat
wajib lima kali sehari semalam adalah berdasarkan qaidah ushul fiqh, berbunyi :
ان السكوت عن البيان بعد تحقق الحاجة
دليل النفي
Artinya : Sesungguhnya diam dari penjelasan
sesuatu sesudah adanya kepastian kebutuhan kepadanya adalah merupakan dalil
dinafikannya.
Berdasarkan qaidah ini, dapat dipahami bahwa
diamnya Rasulullah SAW dengan tidak menjelaskan apakah boleh menambah jumlah
raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam pada sa’at dibutuhkan
penjelasannya, merupakan dalil dan penjelasan tidak dibolehkan menambah jumlah
raka’atnya. Dengan demikian penundaan penjelasan pada waktu dibutuhkan
penjelasannya merupakan penjelasan tidak dibolehkannya sesuatu perbuatan.
Karena menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak dibolehkan dengan
ijmak ulama sebagaimana diterangkan oleh al-Amady. Al-Bazdawi mengatakan :
ان السكوت في موضع الحاجة إلى البيان
بيان
Artinya : Sesungguhnya diam pada waktu dibutuhkan
kepada penjelasan adalah merupakan suatu penjelasan.
Maksudnya, diam tersebut merupakan penjelasan
tidak boleh dikerjakan perbuatan yang didiamkan itu, sebagaimana qaidah yang
disebut oleh al-Sharkhasi di atas.
Syabhat ketiga,
Ada juga yang berargumentasi dengan hadits shahih, yaitu
:
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat (H. R. Muslim)
Mereka mengatakan hadits ini
secara terang dan gamblang menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Lafadh
”kull” secara terang dan gamblang menunjukkan kepada makna umum
(semua), maka tidak boleh
ditakwil-takwil kepada makna sebagian. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya
bid’ah hasanah
Bantahan
Dalam Ushul Fiqh, mengenai lafadh yang bermakna umum,
dikenal istilah al-’am, yaitu lafadh yang mencakup semua satuannya tanpa
batas. Lafadh al-’am ini kemudian terbagi tiga, yaitu a’-am yang
maksudnya kulliah (semua satuannya) dan sifatnya adalah dhanni, al-’am al-murad bihi al-khusus
(maksudnya khusus) dan al-’am al-makhshus (al-’am yang
dikhususkan satuannya). Sedangkan lafadh ”kull” merupakan lafadh yang
dhahirnya menunjukkan kepada umum. Berangkat dari penjelasan ini, maka pengertian hadits di atas memungkinkan
berkisar diantara tiga katagori di atas. Tafshilnya adalah :
Apabila ditempatkan hadits
tersebut sebagai al-’am yang maksudnya umum, maka pengertian hadits itu
: ”Semua bid’ah adalah sesat”. Pengertian ini jelas bertentangan dengan
hadits-hadits lain yang menjelaskan kebolehan melakukan bid’ah hasanah
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, menempatkan hadits
ini dalam katagori ini tidak tepat. Tidak menggunakan lafadh al-’am
bermakna semua satuannya merupakan pemahaman yang dimungkinkan, karena lafadh al-’am
bermakna semua satuannya (kulliyah), sifatnya adalah dhanni, bukan
qath’i. Dengan demikian, hadits di atas, kemungkinannya masuk dalam dua
katagori selanjutnya.
Berdasarkan keterangan
dalil-dalil bid’ah hasanah di atas, kemungkinan hadits di atas masuk dalam
katagori al-’am al-murad bihi al-khusus (maksudnya khusus). Jadi yang
dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid’ah, yaitu
bid’ah yang tidak berdasarkan dalil atau qawaid yang umum. Disebut sebagian
bid’ah dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan umum bid’ah adalah majaz. Dengan
menempatkan sebagian bid’ah pada posisi semua bid’ah, Rasulullah SAW ingin
menjelaskan bahwa bid’ah dhalaalah sangat dimurkai Allah.
Mungkin juga lafadh hadits
di atas ditempat dalam katagori al-’am al-makhshus (al-’am yang
dikhususkan satuannya) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Nawawi di atas. Berdasarkan ini, maka
lafadh ”kull” pada hadits di atas, bermakna semua satuannya secara
hakikat, namun keumumannya ini telah dikhususkan oleh dalil-dalil lain
sebagaimana disebut di atas. Maka makna haditsnya ”Semua bid’ah adalah sesat
kecuali bid’ah hasanah’. Contoh lain dalam al-Kitab dan al-Sunnah, lafadh ”kull”
bermakna al-am al-makhshus, antara lain QS. al-Anbiya', 30:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ
شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya : Dan Kami telah menjadikan
setiap sesuatu yang hidup dari air (Q.S. al-Anbiya : 30)
Bukan berarti ayat tersebut difahami
bahwa semua makhluk hidup dijadikan oleh Allah dari air, karena makhluk jin
dijadikan dari api, sebagaimana firman Allah dalam QS. ar-Rahman :15:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ
نَارٍ
Artinya : Allah telah menjadikan jin
dari nyala api (Q.S. ar-Rahman : 15)
Contoh lain adalah QS. al-Kahfi; 79
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ
إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat
yang) demikian itu ialah Allah, Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia;
Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah pemelihara segala
sesuatu.(Q.S. al-An’am : 102)
Menurut Zakariya al-Anshari firman Allah
” Pencipta segala sesuatu” dikhususkan oleh akal pada bukan selain
Allah, karena tidak mungkin Allah mencipta diri-Nya sendiri.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipastikan bahwa
dakwaan hadits ”Setiap bid’ah adalah sesat” adalah sharih dan harus dimaknai
kepada semua bid’ah merupakan dakwaan keliru. Tetapi yang benar adalah hadits
tersebut bermakna sebagian bid’ah adalah sesat, baik dengan menjadikannya
sebagai al-’am maksudnya
khusus atau al-’am al-makhshus.
Syubhat keempat,
Dalil lain yang sering digunakan untuk menolak bid’ah
hasanah adalah hadits ;
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : Shalatlah
sebagaimana kamu melihat aku shalat
Mereka
mengatakan berdasarkan hadits ini, wajib melakukan shalat sebagaimana shalat
Nabi SAW. Menambah sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW adalah bid’ah yang
tidak boleh dikerjakan. Kalau dalam ibadah seperti shalat tidak dibolehkan
melakukannya, maka dalam ibadah-ibadah lainnya tentu juga tidak dibolehkan.
Bantahan
Lengkapnya
hadits ini adalah dari Abu Qilabah
حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا
عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ
قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ -
وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ
أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami
datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami
semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah
dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada
keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami
tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami,
”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka,
ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”.
Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku
lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan
apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan
orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R.
Bukahri dan Syafi’i)
Sebagaimana
dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW
tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan
kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian
berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW
bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Sabda
Rasulullah SAW ini menggunakan fi’l al-amar (kata kerja perintah), maka
dhahirnya menunjukan kepada wajib. Berdasarkan ini, maka wajib melakukan apa
saja yang perbuat oleh Rasulullah SAW dalam shalat beliau. Ini tentu saja
bertentangan dengan kesepakatan ulama, bahwa dalam shalat Rasulullah SAW ada
perbuatan wajib dan ada juga perbuatan yang hanya sunat dilakukan. Untuk
menjawab ini, Al-Nawawi menjelaskan bahwa hadits tersebut mengecualikan
perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW yang diannggap sebagai sunat karena ada dalil lain yang menerangkannya.
Lalu
sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat
mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui
Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW
tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam
shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut
mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau,
apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
Mafhum
mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak
dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam
shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum
mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku
shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam
arti wajib ini, tentunya tidak berarti
haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda
Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak adanya bid’ah
hasanah.
Berdasarkan penjelasan nomor satu dan
dua di atas, serta dalil-dalil adanya bid’ah hasanah yang telah dikemukakan
sebelum ini, maka perbuatan dalam shalat yang tidak diketahui Rasulullah SAW
pernah melakukannya, selama termasuk dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah
dapat dipastkan boleh dikerjakan dan bahkan dianjurkan melakukannya.
Syubhat kelima,
Kalau
dibolehkan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah itu, tentu Rasulullah SAW dan
sahabat beliau tidak akan meninggalkannya. Bukankah Rasulullah SAW dan
sahabatnya lebih taqwa dan ta’at kepada Allah dan sangat menggemari ibadah
kepada Allah dibanding ummat sesudahnya ? Ini menunjukan bahwa tidak ada yang
namanya bid’ah hasanah dan semua bid’ah adalah sesat.
Bantahan
Syubhat
kelima ini merupakan pemahaman yang berangkat dari asumsi bahwa apa yang
ditinggalkan (tidak melakukannya) oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang
dilarang. Padahal asumsi ini sangat
keliru, karena tidak selamanya Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan
dapat berarti perbuatan tersebut dilarang. Karena Rasulullah SAW meninggalkan
suatu perbuatan, sebagaimana karena perbuatan tersebut diharamkan seperti
beliau tidak minum khamar, tidak berzina dan lain-lain, juga adakalanya karena
faktor-faktor lain bukan karena faktor haram. Jadi dengan demikian, syubhat yang kelima ini tidak tepat menjadi
dalil untuk menolak bid’ah hasanah.
Faktor-faktor
lain yang bukan karena faktor haram yang menjadi alasan Rasulullah SAW
meninggalkan suatu perbuatan, antara lain :
Meninggalkannya karena tidak ada
faktor-faktor yang menggerakkan beliau melakukannya, seperti meninggalkan
memerangi orang-orang yang enggan
membayar zakat. Rasulullah SAW tidak melakukannya karena tidak wujud orang yang
enggan membayar zakat pada zamannya dan sebaliknya, Abu Bakar r.a.
melakukannya, karena wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya.
Contoh lain adalah Rasulullah SAW meninggalkan menghimpun al-Qur’an dalam satu
mashaf, karena tidak muncul kekuatiran pada zamannya bahwa al-Qur’an akan
bercampur dengan lainnya dan dapat hilang dari hafalan-hafalan manusia.
Kekuatiran tersebut muncul pada zaman sahabat Nabi karena penghafal-penghafal
al-Qur’an banyak yang sudah wafat, maka para Khulafaurrasyidin sesudah
Rasulullah SAW membukukan al-Qur’an
dalam bentuk suatu mashaf sebagaimana Mashaf Usmany yang ada sekarang.
Meninggalkannya karena ada hal yang
menghalanginya, sedangkan faktor yang menggerakkan melakukannya wujud. Hal yang
menghalanginya itu yaitu :
kuatir difardhukan kepada umatnya,
seperti Rasulullah SAW meninggalkan keluar berjama’ah shalat Tarawih ke mesjid
sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut
أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي
الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ
النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي
مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat
dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau keluar untuk shalat pada malam berikutnya,
maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat
manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka.
Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa
yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian
kecuali kekuatiranku difardhukan shalat
itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H R. Bukhari, Muslim dan Malik)
Kekuatiran ini hilang dengan sebab
terputusnya turun wahyu sesudah wafat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Umar bin
Khatab memerintahkan Ka’ab shalat Tarawih dengan cara berjama’ah dengan satu
imam. Beliau berkata :
إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ
وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ
Artinya : Sesungguhnya aku berpendapat
kalau mereka ini dikumpulkan pada satu qarii, maka sungguh suatu yang lebih
baik.(H.R. Bukhari)
mafsadah (kerusakan) yang lebih besar, seperti
Rasulullah SAW meninggalkan memugar ka’bah karena kuatir tersinggung kaum
Quraisy sebagaimana digambarkan dalam hadits di bawah ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ
لأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ
Artinya : Bahwasanya Nabi SAW Bersabda :
" Seandainnya tidak karena kaummu baru saja dari masa jahiliyah, niscaya
aku perintahkan untuk roboh Baitullah
(untuk dipugar kembali), lalu aku masukkan apa yang telah mereka keluarkan dari
padanya” (H.R. Bukhari)
Jadi, kalau mafsadah ini tidak
ada lagi, maka keharusan meninggalkannya itu tidak berlaku lagi.
Meninggalkannya, karena tabi’at
Rasulullah SAW tidak menyukainya, seperti beliau tidak makan binatang dhabb
(sejenis biawak) karena tabi’at beliau tidak menyukainya sebagaimana dikisahkan
dalam hadits di bawah ini :
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ
أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ
لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ
أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي
أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.
Artinya : Dari Khalid bin AI Walid, beliau berkata:
"Satu hari Nabi SAW disuguhi daging panggang dhabb (sejenis biawak) ketika Nabi SAW hendak memakannya, tiba-tiba ada yang
bilang kepada beliau bahwa itu adalah daging dhabb. Seketika itu beliau menarik
kembali tangannya. Maka Khalid bertanya: "Haramkah daging binatang
itu?". Beliau menjawab: "Tidak, hanya saja ia tidak terdapat di tanah
kaumku. Maka aku berusaha menjaga darinya". Khalid lalu memakannya,
sementara Rasululiah SAW hanya memandangi saja.(H.R. Bukhari)
Ini
tidak menjadi syari’at bagi umatnya dan tidak dapat menunjukkan kepada haram
makan dhabb, tetapi hanya masalah tabi’at saja.
Apabila
Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan secara mutlaq, artinya tidak ada
faktor-faktor tertentu yang menyebabkan Rasulullah SAW meninggalkannya, ini
hanya menunjukkan kepada tidak wajib, tidak lebih dari itu. Untuk menunjukkan
kepada haram, perlu dalil lain yang menunjukinya. Dan kalau perbuatan tersebut
memenuhi kriteria bid’ah hasanah, yaitu dianggap baik oleh kaum muslim dan
mempunyai dalil yang bersifat umum yang mendukungnya, maka perbuatan tersebut
menjadi suatu perbuatan yang dianjurkan dalam syari’at.
Sayyid
Abdullah al-Ghumary, salah seorang ulama lepasan Universitas al-Azhar Mesir,
menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan suatu perbuatan
oleh Rasulullah SAW tidak dapat menjadi dalil sesuatu itu adalah haram, antara
lain :
Yang menunjuki kepada haram hanyalah
tiga perkara, yaitu :
lafadh nahi, seperti :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati
zina (Q.S. al-Isra’ : 32)
lafadh al-tahrim, seperti :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Artinya : diharamkan bagimu (memakan)
bangkai (Q.S. al-Maidah :
3)
c. perbuatan tersebut dicela atau
diancam dengan siksaan, seperti sabda Nabi SAW :
من غش فليس منا
Artinya : Barangsiapa yang menipu, maka
ia bukanlah dari kami (H.R. Turmidzi)
Meninggalkan
suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak termasuk dalam salah satu katagori
ini.
Firman Allah Ta’ala :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Q.S. al-Hasyr : 7)
Allah SWT tidak berfirman : “Apa yang
ditinggalkannya (tidak dikerjakannya), maka tinggalkanlah”. Oleh karena
itu, meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat menjadi dalil
haramnya perbuatan tersebut.
Sabda Nabi SAW :
ما أمرتكم به فائتوا منه مااستطعتم وما نهيتكم عنه
فاجتنبوه
Artinya : Apa yang aku perintah kepadamu, maka kerjakanlah
menurut kemampuanmu dan apa yang aku larang darinya, maka jauhkanlah (H.R. Ibnu
Majah)
Rasulullah SAW tidak bersabda : “Apa yang aku tinggalkan,
maka jauhkanlah”. Maka bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan yang
ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, secara otomatis menjadi dalil haram perbuatan
itu ?.
Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan secara mutlaq
hanya menunjukkan kepada tidak wajib. Tidak wajib ini boleh jadi mubah, makruh,
sunnah ataupun haram. Ini merupakan suatu yang ihtimal (boleh jadi).
Qaidah ushul mengatakan :
أن ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
Artinya : Sesungguhnya sesuatu yang masuk ihtimal, maka
gugurlah ia sebagai dalil
5. Para ulama Ushul mendeviniskan Sunnah
dengan perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi SAW. Meninggalkan suatu
perbuatan tidak termasuk dalam definisi Sunnah. Dengan demikian, meninggalkan
suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat dijadikan hujjah sebagai suatu
yang wajib ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar