BAB I
AQOID IMAN
Ta’rif Aqoid Iman
عَقَائِدُ اْلإِيْمَانِ هِيَ اَلْعَقَائِدُ
الَّتِى تَتَعَلَّقُ بِإِيْمَانِ الْمَرْءِ إِلىَ الْخَالِقِ وَرُسُلِهِ وَمَا
أَوْجَبَ إِلَيْهِ الشَّرْعُ
“ Aqoid Iman yaitu keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan
Iman (kepercayaan) seseorang kepada sang pencipta dan para Rosul-Nya, serta
kepada perkara yang diwajibkan oleh Syara’/agama islam (Allah dan Rosul-Nya)
atasnya “
Mabadi (Dasar-Dasar) Ilmu Tauhid
Bagi seseorang yang akan mempelajari suatu ilmu, maka
harus mengetahui mabadi yang sepuluh dalam disiplin ilmu tersebut. Faidahnya
agar timbul rasa semangat dalam mempelajarinya, dan mempunyai gambaran tentang
apa saja yang akan dibahas nanti dalam disiplin ilmu tersebut.
Sebagaimana
perkataan sebagian ulama:
إِنَّ مَبَـــــادِى كُـــــــلِّ فَنّ
ٍعَشْـــرَةٌ*الْحَــــــــدُّ وَالْمَـــــوْضُــــــــوْعُ ثُمَّ
الثَّــــــــمْرَةُ
وَفَضْـــــــــلُهُ وَنِسْبـــَةٌ
وَالْوَاضِــــــــــــعُ*واُلإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُحُكْمُ الشَّارِعُ
مَسَائِلٌ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْــضِ
اكْتَفَى*وَمَـــــــــنْ دَرَى الْجَمِـــــــيْــعَ حَازَالشَّــــرَفَا
"Sesungguhnya
dasar dasar seluruh disiplin ilmu itu ada sepuluh : 1). definisi 2). sasaran 3). hasil/manfaat 4).
Keutamaannya 5). hubungannya 6). yang mempunyai gagasannya 7). namanya 8).
pengambilannya 9). hukum syara' 10). masalah masalahnya. dan cukup mengetahui
sebagiannya. Barang siapa yang mengetahui semuanya maka pasti akan mendapatkan
kemuliaan "
Adapun yang akan dibahas disini yaitu mengenai ilmu tauhid, maka harus mengetahui mabadi yang berkaitan
dengan ilmu tauhid. Diantaranya :
1.
Ta'rif /Definisi (pengertian)
Definisi Ilmu Tauhid ada 3 macam :
a)
Menurut Lughot/Bahasa (Ethimologhi)
العِلْمُ
بِاَنَّ الشَّيْئَ وَاحِدٌ
" Mengetahui
bahwa sesuatu itu adalah satu "
b)
Menurut Isthilah (Terminologhi)
عِلْمٌ
يَقْتَدِرُبِهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مُكْتَسَبٌ مِنْ
اَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ
" Ilmu yang menetapkan aqidah agama islam yang
diambil dari dalil dalil yang yaqin "
c)
Menurut Syar'i /Agama (Relighi)
اِفْرَادُ
الْمَعْبُوْدِباِلْعِبَادَةِ مَعَ اعْتِقَادِ وَحْدَاتِهِ وَالتَّصْدِيْقِ بِهَا
ذَاتًاوَصِفَاتًا وَاَفْعَالاً
"Mengesakan
Allah yang disembah dalam ibadah serta mengi'tiqodkan esa-Nya, disertai
pengakuan serta penerimaan esa-Nya di dalam dzat, sifat dan af'al-Nya "
Dari ketiga definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
manusia pada pokoknya ada yang bertauhid dan ada yang tidak bertauhid.
Adapun
yang termasuk kepada kelompok yang bertauhid atau mu'min adalah :
a.
Orang
yang bertauhid dan mengesakan ibadahnya kepada Allah adalah hatinya tidak memebenarkan adanya
tuhan selain Allah .
b.
Orang
yang mengesakan ibadahnya kepada Allah
secara kebetulan dan dalam hatinya ia tidak memebenarkan adanya tuhan
selain Allah, hanya saja ia berdosa karena tidak memepelajari ilmu tauhid.
Sedangkan
yang termasuk kepada kelompok yang tidak berttauhid atau kafir adalah:
a.
Orang
yang berilmu tauhid tapi tidak mengesakan ibadahnya kepada Allah.
b.
Orang
yang mengesakan ibadahnya kepada Allah
serta berilmu tauhid, tetapi hatinya masih memebenarkan adanya tuhan
selain Allah.
c.
Orang
yang beribadah kepada Allah serta
berilmu tauhid, tetapi hatinya tidak mengakui bahwa tuhan yang layak disembah itu
adalah hanya Allah.
Adapun
macam macam kafir itu ada 4, yaitu :
Ø Kafir inkar, ya'ni orang yang tidak
mengenal Allah sama sekali dan tidak mau
mengakui-Nya
Ø Kafir juhud, yakni orang yang mengenal
Allah dalam hatinya, namun tidak mau
mengakui/mengikrarkannya dengan lidahnya. Seperti kufurnya iblis dan yahudi.
Ø Kafir nifaq, yakni orang yang mau
berikrar dengan lisan namun tidak memepercayai-Nya dalam hatinya.
Ø Kafir 'inad, yakni orang yang mengenal
Allah dalam hatinya dan mengekuinya
dengan lidahnya, namun tidak mau melaksanakan ajaran-Nya. Seperti Abi
Thalib.
2.
Maudhu (Sasaran)
Sasaran pembahasan ilmu tauhid adalah :
Dzat Allah (Aqoid Uluhiyyah),
Dzat Rosul (Aqoid Nabawiyyah), Perkara yang mumkin adanya serta wajib
diyakinkannya (Aqoid Sam'iyyah), dan perkara yang dipakai dalil adanya
Allah .
3.
Tsamroh (Manfaat)
Manfaat yang didapat dari mempelajari ilmu tauhid adalah
:
a.
Ma'rifat (mengenal) kepada Allah dan
Rosul-Nya disertai dengan dalil dalil yang pasti.
b.
Bahagia diakhirat dengan abadi, ya'ni
disurga, sekalipun telah mengalami siksa dahulu akibat berbuat dosa, tentunya
setelah mendapatkan ampunan dari Allah.
Tempat kembali orang orang yang beriman adalah
disurga.Sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa ayat 57 :
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ
وَنُدْخِلُهُمْ ظِلا ظَلِيلا (٥٧)
“ Dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang Shaleh, kelak akan
kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai;
kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci,
dan kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman “
Sedangkan tempat kembali orang orang kafir adalah dineraka.
Sebagaimana Firman Allah :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا
وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
(٣٩)
" Dan adapun
orang orang kafir dan yang mendustakan
ayat ayat kami, mereka itu adalah penghuni neraka ; mereka kekal
didalamnya "
Syaikh Zainuddin Al Malibari tdalam kitab Syu'bul iman mensya'irkan :
وَبِأَنَّ مَرْجِعَ مُسْلِمٍ لِجَنَانِهِ*وَبِأَنَّ
مَرْجِعَ كَافِرٍلِجَهَنَّمُ
" Sesungguhnya
tempat kembali orang orang muslim
(diakhirat kelak) adalah surga dan sesungguhnya tempat kembali orang orang kafir
adalah neraka "
4.
Fadhlu (Keutamaan)
Keutamaan ilmu tauhid adalah ilmu
termulia diantara seluruh ilmu, karena berkaitan dengan Dzat Allah dan
Rosul-Nya
5.
Nisbat (Hubungan dengan ilmu yang lain)
Hubungan
ilmu Tauhid dengan ilmu lainnya yaitu ; ilmu tauhid merupakan dasar dan akar
dari beberapa ilmu agama islam. Sedangkan ilmu lainnya merupakan cabang dari
ilmu tauhid.
6.
Waadhi' (Yang mempunyai gagasan)
Ilmu
tauhid pada pokoknya adalah dari para Nabi dan Rosul, berdasarkan dari wahyu Allah yang diajarkan secara sistematis oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian disusun dan dibukukan pertama kali oleh Abu hasan Al
Asy'ari beserta pengikutnya y dan oleh Abu Mansur Al Ma'thuridi
beserta pengikutnya, yang dinamakan golongan An Naajiyyah atau golongan Ahli
Sunnah Wal Jama'ah.
7.
Al Ismu (Nama ilmu Tauhid)
Ilmu
tauhid mempunyai beberapa nama yaitu :
·
Ilmu tauhid
·
Ilmu kalam
·
Ilmu Aqoid iman
·
Ilmu ushuluddin
·
Ilmu uluhiyyah
8.
Istimdad (Sumber Pengambilan/Referensi)
Sumber yang dipakai dalam ilmu tauhid
adalah dalil Aqli (petunjuk akal) dan dalil naqli (petunjuk Al Quran dan Al
hadits).
9.
Hukum Syara' (Islam)
Hukum
Syara' mewajibkan dengan wajib A'inkepada seluruh Mukallaf untuk mempelajari
ilmu tauhid atau bertauhid, dengan resiko sah imannya, serta akan diberi pahala
jika bertauhid dan tidak sah imannya, serta akan disiksa jika tidak bertauhid.
Dikarenakan
sasaran kewajiban mempelajari ilmu tauhid dan bertauhid adalah seluruh mukallaf
dan bersifat individu, maka sekalipun orang kafir (asalkan mereka sehat
akalnya) akan dimintakan pertanggung jawaban oleh Allah secara individu pula tentang kewajiban
mempelajari ilmu tauhid dan bertauhid. Sebagaimana firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)
" Wahai
segenap manusia ! sembahlah (esakanlah) tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa "
10.
Masail (masalah masalah yang terkandung)
Masalah
masalah Yang terkandung dalam ilmu tauhid yaitu :
·
Bahasan yang wajib, mustahil dan jaiz
bagi Allah dan Rosul-Nya.
·
Ta'rif akal serta hukum akal, ta'rif
adat serta hukum adat dan ta'rif syara' serta hukum syara'.
·
Perkara perkara yang wajib diyakinkan
oleh umat islam
BAB II
HUKUM
Ta'rif / pengertian Hukum
اَلْحُكْمُ
هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍلِأَمْرٍ أَخَرَ أَوْنَفْيُهُ عَنْهُ
" Menetapkan
(suatu) perkara kepada perkara (yang lain) atau menghilangkan (suatu) perkara
dari perkara (yang lain) "
Dalam
ilmu tauhid ini dicantumkan tentang hukum dan pembagiannya, karena ilmu tauhid sangat berkaitan sekali
dengan hukum.
Pembagian hukum
Hukum dilihat dari
segi yang menetapkannya terbagi atas 3, yaitu :
1.
Hukum Syara' yang ditetapkan oleh Allah dan
Rosul-Nya
a.
Ta'rif Syara'
وَضْعٌ
إِلَهِيٌّ سَائِقٌ لِذَوِى الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ بِاخْتِيَارِهِمْ المْحْمُوْدِ
إِلَى مَا يَصْلُحُ مَعَادَهُمْ وَ
مَعَاشِهِمْ هُوَخَيْرٌلَهُمْ بِالذَّاتِ
" Ketetapan
Allah yang ditujukan untuk yang mempunyai akal yang sehat dengan pilihannya
yang terpuji untuk kebaikan / kesejahteraan yang sejati bagi mereka "
Materi وَضْعٌ
إِلَهِيٌّ (Penetapan Allah) itu menunjukan bahwa
selain Allah dan Rosul-Nya tidak boleh
interfensi (ikut campur) dalam penetapan hukum syara’.
Materi
سَائِقٌ لِذَوِى الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ ‘ itu menunjukan bahwa syara’ itu
ditujukan kepada mereka yang berakal sehat, berarti yang tidak mempunyai akal
sehat tidak menjadi sasaran hukum syara’, seperti : Jamadat, Nabatat,
Hayawanat, orang gila dan orang mabuk, karena mereka tidak berakal sehat.
Materi
بِاخْتِيَارِهِمْ المْحْمُوْد itu menunjukan bahwa syara’ itu ditujukan kepada mereka
dengan pilihannya sendiri yang baik dan terpuji, berarti tidak termasuk orang
yang dipaksa dan Mulja Alaih (yang tidak menguasai dirinya)-seperti orang yang
jatuh ketika sedang melayang di udara.
Materi إِلَى مَا يَصْلُحُ مَعَادَهُمْ وَ مَعَاشِهِمْ هُوَخَيْرٌلَهُمْ
بِالذَّاتِ itu menunjukan bahwa sarana hukum syara’
itu memberikan petunjuk kepada orang yang berakal sehat untuk mencapai dzatiyah
(haqiqat) kebaikan di dunia dan akhirat.
Adapun sarana kebaikan di dunia itu itu
antara lain
1)
Menjamin
kebutuhan akal, sebab inti kemuliaan manusia adalah akalnya. Maka dalam hal ini
islam mengharamkan setiap sesuatu yang memabukkan dan merugikan. Seperti
minuman keras, narkotika, berjudi dan lain sebagainya yang dapat merusak akal.
Sebagaimana firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠) إِنَّمَا
يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“ Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
“ Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).
2)
Menjamin
keselamatan tubuh manusia, oleh karena itu Allah melarang melakukan hal hal yang dapat merusak
kesehatan tubuh manusia, bahkan mewajibkan
dengan hukum fardhu kifayah untuk mengadakan ahli kesehatan disetiap
perkampungan (puskesmas). Dan didalam hukum islam diadakannya hukum jinayat itu
untuk menjamin kehidupan manusia.
Sebagaimana firman Allah :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا
أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ
بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ
كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
(٤٥)
“ Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka
di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim “
3)
Menjamin
kesucian keturunan manusia, dikarenakan Kehidupan umat manusia itu dipengaruhi
dengan stabilnya kehidupan rumah tangga, dan faktor hubungan kefamilian
menentukan nilai seseorang, maka islam menjamin keutuhan rumah tangga dengan
diharamkannya perzinahan, penyelewengan dari ketertiban, dan diselenggarakan
pula peraturan peraturan tentang pernikahan guna tercapainya keutuhan rumah
tangga yang harmonis. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Ar Rum ayat 21 :
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
(٢١)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir
4)
Menjamin
keutuhan hak milik manusia, oleh karena itulah islam menyelenggarakan bab yang
mengatur tentang Mu’amalah dan Warisan.
Firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat 275 :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (٢٧٥)
“ Dan
Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba
Dan
Firman Allah dalam surat An Nisa ayat 11
:
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً
فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ
لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا
أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
“
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
5)
Menjamin
kehormatan manusia, dikarenakan kehormatan manusia itu sangat penting, maka
islam mengharamkan Qodzaf (menuduh zina), sabbu (mencaci maki orang lain),
ghibah (menceritakan kejelekan orang lain dihadapan yang lainnya), dan
penghinaan lainnya. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al Hujurot ayat 11-12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ
مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا
تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (١٢)
“ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim “
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
6)
Menghidupkan
sosial (kegotong royongan), dikarenakan pentingnya kehidupan sosial dalam
bermasyarakat, maka islam mewajibkan zakat dan menganjurkan shodaqoh, hibbah,
wakaf dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al dalam
surat Al Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
“ Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya “
7)
Menjamin
keutuhan persaudaraan, dikarenakan pentingnya persaudaraan maka islam melarang
hiqdu (dendam), ghodob (marah), hasud (benci akan keni’matan orang lain dan
mengharapkan hilangnya keni’matan tersebut) dan sifat sifat yang buruk lainnya.
Serta islam mengajarkan kasih sayang diantara sesama,
saling mencintai dan sifat sifat yang terpuji lainnya. karena kita sebagai umat
islam itu bersaudara dan harus berdamai satu sama lain, jangan sampai ada
diantara kita pertengkaran yang menyebabkan retaknya persaudaraan kita hanya
karena beda aliran, beda golongan, beda partai dan lain lain. Sebagaimana
Allah menjelaskannya tentang bagaimana
kewajiban kita sebagai orang muslim dan orang mu'min dalam surat Al Hujurot
ayat 10 :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
(١٠)
“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat “
Jika
kita berbeda golongan atau aliran janganlah saling membenci, saling menghina
apalagi mencaci maki, hanya karena berbeda pendapat atau pemahaman, tetapi
lihat serta renungkanlah bahwa kita ini adalah sesama muslim. Janganlah jadikan
perbedaan itu sebagai suatu perpecahan dan pertikaian antara umat islam, tapi
jadikanlah perbedaan itu untuk bisa saling menghargai satu sama lain. Janganlah
merasa bahwa diri kita ini paling benar dan paling baik, karena kebenaran yang
muthlaq itu hakikatnya adalah dari Allah, dan kemuliaan seseorang itu dinilai
dari bagaimana tingkat ketaqwaannya kepada sang pencipta. Sebagaimana
Allah berfirman dalam surat Al Hujurat
ayat 11-12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ
مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا
تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (١٢)
"
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
Kita
sebagai umat islam boleh mengadakan hubungan dengan siapa saja, walaupun dengan
yang bukan islam, entah itu kristen, budha, hindu katholik, atheis apalagi
dengan islam. Karena islam adalah rohmatan lil 'alamin, rahmat bagi
seluruh 'alam atau makhluq. Islam sangat melarang sifat benci, menghasut, dan sikap-sikap
ekstrim lainnya. Islam itu artinya damai atau keselamatan, jadi agama
islam itu adalah agama yang memberikan keselamatan dan kedamaian bagi seluruh
makhluq di muka bumi ini.
Seorang
kiyai boleh pergi ke masjid dengan menumpang mobilnya pendeta atau pastur
tetangganya. Si pendeta atau pastur boleh meminjam baju pak ustadz atau pak
kiyai. Yang tidak boleh dipertukarkan itu hanya dua, yaitu tukar keyakinan dan
tukar isteri.
Kita
diciptakan oleh Allah dari berlainan jenis, berlainan, bangsa, suku atau budaya
itu untuk saling mengenal, saling berhubungan satu sama lain, tentunya tidak
terlepas dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh islam. Namun orang yang
paling mulia di sisi-Nya adalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat
Al Hujurat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ (١٣)
" Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal "
8) Menjamin keselamatan hewan, untuk jaminannya hukum syara’ melarang
menganiaya hewan secara keji, seperti dibakar hidup hidup, dikurung dengan
tanpa diberi makan dan minum, dipekerjakan diluar kemampuannya dan disembelih
tanpa melalui penyembelihan yang sah. Firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat
205 menjelaskan :
وَإِذَا
تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ
لا يُحِبُّ الْفَسَادَ (٢٠٥)
“ Dan apabila ia
berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya,
dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai
kebinasaan “
Dan Rosulullah
melarang untuk menyiksa hewan sebagaimana sabdanya dalam kitab Sulamut
Taufiq yang diriwayatkan oleh Imam Bukhory :
إِيَّاكُمْ
وَالْمُثْلَةَ وَلَوْ بِالْكَلْبِ الْعَقُوْرِ
“ Takutlah kamu
akan penyiksaan hewan walaupun pada anjing yang buas “ (HR. Bukhori)
9)
Menjamin kepentingan umum, untuk
jaminannya hukum syara’ melarang merusak kepentingan umum yang sedang dalam
keadaan aman dan lestari. Seperti mengganggu kelestarian air,
menebang pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan dan kepentingan
kepentingan umum lainnya.
Peraturan peraturan yang menjadi sarana hidup di dunia
tersebut dilindungi oleh hukum syara’, sehingga apabila orang menta’atinya ia
diberikan garansi masuk surga dan apabila melanggarnya maka ia diberikan
garansi masuk neraka.
Sedangkan sarana kebaikan untuk di akhirat nanti yaitu
seseorang akan mendapat jaminan masuk surga apabila ia beriman kepada Allah dan
menta’ati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
b.
Ta'rif Hukum Syara'
اِثْبَاتُ
اَمْرٍلِأَمْرٍأَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ الْوَضْعِ الْوَاضِعِ
وَهُوَخِطَابُ اللهِ تَعَالَى
الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِالْمُكُلِّفِيْنَ بِالطَّلَبِ أَوِالْإِبَاحَةِ
أَوِ الْوَضْعِ لَهُمَا
"
Menetapkan suatu perkara kepada perkara yang lainnya atau menghilangkan
suatu perkara dari perkara yang lainnya, dengan melalui ketetapan yang
menetapkan, yaitu frman Allah yang berkaitan
dengan pekerjaan mukallaf, yang berupa perintah, larangan, anjuran atau tata cara
pelaksanaan perintah dan larangan
tersebut "
Materi اِثْبَاتُ
اَمْرٍلِأَمْرٍأَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ adalah materi yang mempersamakan antara hukum
syara', hukum akal dan hukum adat.
Materi
بِوَاسِطَةِ الْوَضْعِ الْوَاضِعِ
adalah materi yang
memebedakan antara hukum syara' dengan hukum lainnya, karena hukum akal tidak
ditangguhkan kepada adanya yang menetapkan, begitu juga hukum adat
ditetapkannya tidak karena ada yang menetapkan, melainkan karena hasil
peneyelidikan dari sering terjadi.
Materi
وَهُوَخِطَابُ اللهِ تَعَالَى
adalah penjelasan dari materi بِوَاسِطَةِ
الْوَضْعِ الْوَاضِعِ ya'ni bahwa yang menetapkannya
adalah firman Allah I baik langsung dari Al Quran ataupun
melalui sabda Rosul-Nya (Al Hadits).
Adapun
khitobullah yang menjadi hukum syara' itu terbagi kepada dua bagian :
Ø Khitob Taklif, yaitu khitobullah yang
berisikan tugas pokok
Ø Khitob Wadho', yaitu khitob yang
berisikan aturan dan petunjuk pelaksanaan khithob taklif.
Adapun
Khitob taklif mencakup lima hukum, yaitu :
· Wajib, yaitu perintah yang pasti harus
dikerjakan. Apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan
maka akan berdosa. Seperti wajibnya ma'rifat, wajibnya sholat lima waktu, dan
lain sebagainya.
· Sunnah, yaitu perintah yang tidak pasti
harus dikerjakan. Apabila tidak dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak
dikerjakan tidak berdosa. Seperti sholat sunah tahajjud, sholat dhuha, sholat
rowatib dan lainnya.
· Jaiz, yaitu perintah yang boleh
dikerjakan atau tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala dan apabila
ditinggalkan juga tidak berdosa. Kecuali apabila mengerjakannya itu diniatkan
ibadah, maka akan mendapatkan pahala. Seperti makan supaya kuat dalam
beribadah.
· Haram, yaitu larangan yang pasti harus
ditinggalkan. Apabila dikerjakan berdosa dan apabila ditinggalkan mendapatkan
pahala. Seperti haramnya berzina, mencuri dan lain sebagainya
· Makruh, yaitu larangan yang tidak pasti
harus ditinggalkan. Apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan mendapatkan
pahala. Seperti makruhnya melihat farji (kemaluan) sang isteri, memakan sesuatu
yang dapat menimbulkan bau mulut, dan lainnya.
Sedangkan
Khitob Wadho' terbagi lima bagian, yaitu :
· Sabab, yaitu sandaran hukum yang pasti,
apabila tidak adanya sebab maka tidak ada pula yang disebabkannya (musabbab),
dan apabila adanya sabab maka adapula yang disebabkannya. Seperti apabila
tergelincir/bergesernya matahari kesebelah barat (sabab), maka menjadi sebab
kepada wajibnya sholat dzuhur (musabbab)
· Syarat, yaitu sesuatu yang harus selalu
ada dalam satu perintah. Seperti wudhu adalah merupakan salah satu syarat
sahnya sholat. Apabila tidak berwudhu maka tidak sah sholatnya.
· Shohih, yaitu kumpulnya syarat dan rukun
serta tidak adanya yang membatalkan suatu perintah. Seperti sahnya sholat
apabila terpenuhi syarat dan rukunnya serta tercegah dari yang membatalkannya.
· Bathal atau Fasid, yaitu perkara yang
menggagalkan sahnya suatu perintah. Seperti bathalnya wudhu karena keluarnya
sesuatu dari qubul atau dubur.
· Mani', yaitu suatu perkara yang
menghalangi suatu hukum. Seperti haidh menghalangi kepada wajibnya sholat bagi
wanita.
Materi kata اَلْمُتَعَلِّقِ
بِأَفْعَالِ الْمُكُلِّفِيْنَ بِالطَّلَبِ أَوِالْإِبَاحَةِ أَوِ الْوَضْعِ
لَهُمَا
menjelaskan bahwa yang dikhitobi oleh hukum syara' adalah yang bertalian dengan
amal perbuatannya manusia yang sudah baligh dan berakal sehat. Dan isinya menuntut
untuk dikerjakan, baik yang berupa perintah, larangan atau anjuran. Jadi firman
Allah I yang tidak ada hubungannya dengan amal perbuatan mukallaf
itu tidak bisa disebut hukum syara'. Seperti ayat ayat yang menerangkan tentang
penciptaan langit dan bumi, penciptaan manusia, kisah kisah para Nabi dan
sebagainya.
2.
Hukum Akal ditetapkan oleh Akal
a.
Ta'rif Akal
نُوْرٌ
لَطِيْفٌ رُوْحَانِىٌّ تُدْرِكُ بِهِ
النَّفْسُ الْمَعْلُوْمَ الضَّرُوْرِيَّةَ وَ النَّظَرِيَّةَ وَ مَحَلُّهُ الْقَلْبُ وَنُوْرُهُ فِى الدِّمَاغِ وَابْتِدَائُهُ مِنْ حِيْنَ نَفْخِ الرُّوْحِ فِى الْجَنِيْنِ
وَأَوَّلُ كَمَالِهِ الْبُلُوْغُ
" Sinar latif
rohani yang dapat menemukan pengetahuan yang tidak membutuhkan pemikiran (mudah
diketahui), maupun yang membutuhkan pemikiran, tempatnya adalah hati dan
pancarannya ada diotak, pertama kali adanya akal adalah ketika ruh manusia
ditiupkan (malaikat jibril) kedalam janin (kandungan ibunya) dan mulai
sempurnanya akal ketika ia baligh "
Sinar latif disini adalah sinar latif
robbany, yakni sinar Ghaib yang tidak ada yang dapat melihatnya kecuali Allah, karena sinar akal bukanlah sinar yang dapat
dilihat oleh mata, dan bukan pula sinar ghaib seperti :
·
Sinar hati yang berkaitan dengan asmara
(syahwati)
·
Sinar hati yang menjurus kepada
keduniaan
·
Sinar nafsu yang selalu mengajak kepada
kejelekan
·
Sinar pancaran syaithon yang merusak
jiwa
b.
Ta'rif Hukum Akal
اْثبَاتُ
اَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ
نًفْيُهُ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تِكْرَارِ
وَلاَ وَضْعِ
وَاضِعٍ اَيْ وَلاَ إِسْتِنَادٍ إِلَى الشَّرْعِ
" Menetapkan
suatu perkara kepada perkara yang lainnya atau menghilangkan suatu perkara dari
perkara yang lainnya serta tidak menunggu hasil penganalisaan (sering terjadi)
dan tidak menunggu atas penetapan Syara' "
Materi مِنْ
غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تِكْرَارِ adalah
mengeluarkan ketetapan hukum adat, karena ketetapan adat adalah berdasarkan
serng terjadi.
Materi وَلاَوَضْعِ
وَاضِعٍ adalah mengeluarkan ketetapan hukum
syara. Karena ketetapan hukum syara'
ditangguhkan kepada adanya ketetapan dari Allah I dan Rosul-Nya. Sedangkan yang ditetapkan oleh hukum akal
adalah proses yang sebelum umat manusia diciptakan, para Rosul diutus dan
bahkan sebelum alam ini diciptakan. Jadi proses ketetapan hukum akal ini jelas
tidak ditangguhkan kepada ada atau tidak adanya akal, karena sebelum akal
diciptakan, ketetapan hukum akal sudah ada. Contoh ketetapan hukum akal seperti
"adanya Allah " dalilnya adalah adanya ciptaanya, yaitu alam semesta
berserta isinya, tidak mungkin adanya alam semesta ini dengan sendirinya, tanpa
ada yang menciptakannya, dan yang menciptakan haruslah berbeda dengan apa yang
diciptakannya.
c.
Pembagian Akal
Akal terbagi kepada 2 bagian :
1). Akal Ghorizi/Iktisabi, yaitu akal
yang mempunyai daya kemampuan untuk berma'rifat kepada Allah dan
RosulNya.
2). Akal Thobi'I, yaitu akal yang
mempunyai daya kemampuan untuk menghasilkan tujuannya tetapi tidak mampu untuk
berma'rifat kepada Allah.
Apabila seseorang yang memiliki akal
ghorizi tidak menggunakan akalnya untuk berfikir sampai iman kepada Allah, maka
jatuhlah martabat dan posisinya dihadapan Allah
menjadi lebih rendah dari pada hewan yang hanya mempunyai akal thobi'i.
3.
Hukum Adat ditetapkan oleh adat/kebiasaan
a. Ta'rif Adat
إِتِّصَالُ عِنْدَ ارْتِبَاطِ السَّبَبِ وَالْمُسَبَّبِ
بِالتَّكَرُّرِمَعَ صِحَّةِ تَخَالُفِهِ وَعَدَمِ تَأْثِيْرِهِ
" Hubungan
yang ada kaitannya antara penyebab dan yang disebabkannya dikarenakan sering
terjadi, serta sah gagalnya dan tidak ada
kemampuan untuk membuktikanya "
Materi إِتِّصَالُ yang berarti kontak persambungan, maka
sesuatu yang apabila antara penyebab dan musabbabnya tidak saling berhubungan itu
bukanlah adat. Seperti perkataan sebagian orang : karena ujung pagar
menjorok kerumah, si pemilik rumah menjadi sakit. Padahal antara ujung
pagar dengan si pemilik rumah yang sakit berjauhan/tidak kontak menyambung.
Ketetapan tersebut adalah bid'ah, dan apabila terjadi demikian, maka itu hanyalah
kebetulan saja.
Materi عِنْدَ ارْتِبَاطِ السَّبَبِ وَالْمُسَبَّبِ yang berarti antara sebab dan yang disebabkannya harus ada
kaitan, maka walaupun ada sambungan tetapi tidak ada kaitan yang kongkrit/rasional
(nyata), maka itu tidak termasuk kedalam adat. Seperti halnya seorang memakai
batu cincin Nabi Sulaimanu lalu orang tersebut menjadi kaya atau
kuat. Padahal antara kekayaan dan memakai batu cincin tidak ada kaitan yang
kongkrit (rasional). Maka penetapan semacam ini bukanlah termasuk adat, karena
irasional (mustahil).
Materi بالتَّكَرُّرِ artinya persambungan tersebut harus
berdasarkan sering terjadi, maka kejadian kejadian
yang sifatnya
insiden (sewaktu waktu) bukanlah termasuk adat. seperti adanya mu'jizat
pada Nabi dan Rosul, karomah pada seorang wali, atau sihirnya orang orang
fasiq.
Materi مَعَ صِحَّةِ تَخَالُفِهِ artinya persambungan tersebut bisa gagal,
dari materi inilah muncul khowariqul lil 'adat (kejadian diluar adat
kebiasaan), seperti yang dibakar tidak hangus, dibacok tidak luka, dan lain
sebagainya.
Materi وَعَدَمِ تَأْثِيْرِهِ artinya adat tidak mempunyai kemampuan
untuk menciptakan/membuktikan suatu kejadian. Hangusnya yang terbakar bukan
karena api, kenyangnya perut setelah makan bukan karena makanan, turunnya hujan
bukan karena mendungnya cuaca, melainkan semua kejadian yang terjadi adalah
haqiqatnya atas kekuasaan Allah semata,
yang mana Allah menetapkannya sesuai
dengan ketetapan ketapan yang telah ditentukan (sunnatullah).
Sepanjang Allah masih
menyelenggarakan hukum 'adat, maka ketentuan hukum adat harus dihormati
(dilaksanakan). Tapi apabila Allah tidak
menyelenggarakan hukum adat, maka Allah
tidak mentaklif untuk menjalankan ketetapan hukum adat, melainkan Allah memerintahkan untuk bertawakkal (berserah
diri) secara penuh kepada Allah disertai
shabar dan bersyukur.
Sebagaimana peristiwa yang menimpa terhadap Nabi Ibrohim,
ketika akan dibakar oleh raja namrud. Dihadapan Nabi Ibrohim tidak nampak lagi perjalanan syari'at (hukum
adat) untuk menghindar dari kelaliman raja namrud. Disaat seperti ini Nabi
Ibrohim u berserah diri secara penuh kepada Allah I (tawakkal). Dihatinya berkeyakinan bahwa api tidak mempunyai
kemampuan sedikitpun untuk menciptakan panas dan hangus, hanya Allah I lah yang mampu mewujudkan segala perkara. Maka disaat situasi dan kondisi Nabi
Ibrohim yang demikian itu, datanglah
pertolongan dari Allah u dimana ketentuan hukum adat menjadi sangat bertolak
belakang. Api bukannya terasa panas melainkan menjadi dingin. Sebagaimana
firman Allah u dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 69 :
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
(٦٩)
" Hai api menjadi dinginlah kamu
dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrohim "
Hubungan
sabab dan musabbab (sambungan adat) ada 4 macam:
Ø Hubungan ada kepada ada, seperti
hubungan antara adanya rasa kenyang dengan adanya yang dimakan
Ø Hubungan ada kepada menjadi tidak ada,
seperti hubungan adanya selimut dengan tidak adanya rasa dingin ketika musim
dingin
Ø Hubungan tidak kepada ada, seperti tidak
adanya selimut kepada adanya dingin
Ø Hubungan tidak ada kepada tidak ada,
seperti hubungan tidak makan dengan tidak adanya rasa kenyang
Adapula
sebutan adat yang bukan hukum adat seperti :
-
Adat
yang berarti akhlaq budi pekerti atau kelakuan seseorang. Umpamanya Si Fulan
adatnya baik, artinya akhlaq budi pekertinya baik.
-
Adat
yang berarti Sya'nul qoum (kelakuan suatu kaum). Umpamanya adat orang bali
apabila membawa botol diatas kepala, adat orang arab apabila dipegang kepalanya
tidak marah, tapi apabila dipegang pantatnya marah, berbeda dengan adat
sebagian orang indonesia apabila dipegang kepala marah dan apabila dipegang
pantatnya tidak marah.
Ta'rif adat tersebut merupakan dasar hukum adat. maka
dari adat ini lahirlah beberapa ilmu seperti :
·
Ilmu Nabatat (tumbuh tumbuhan /
flora)
·
Ilmu Hayawanat (kehewanan / fauna)
·
Ilmu Jamadat (Tekhnologhi)
·
Ilmu Samawat/falak (Astronomi / tata
surya)
·
Dan lmu ilmu lainnya
Ketetapan hukum
adat adalah merupakan landasan hukum Syara'
Sebagaimana dalam
qo'idah :
" العَادَةُ مُحْكَمَةٌ شَرْعًا "
Oleh karena itu maka ketentuan ketentuannya harus
dihormati. Seperti dalam ilmu medis (kedokteran) kebiasaan merokok akan
menimbulkan penyakit kanker, maka sebaiknya kita tidak merokok. atau bila
terlalu banyak makan sambal akan sakit perut, maka janganlah terlalu banyak
makan sambal. Untuk menjaga kesehatan maka kita harus menghindari hal hal yang
biasanya akan menimbulkan penyakit.
Sebagaimana Firman
Allah dalam surat Ar Ro'du ayat
11 :
إِنَّ
اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (١١)
" Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah keadaan (ni'mat) suatu kaum (musabbab) sehingga mereka merubah apa
yang ada pada mereka (sebab)"
Namun demikian, ayat ayat Allah seperti
diatas janganlah dii'tiqodkan bahwa adat mempunyai daya cipta menjadikan suatu hasil, karena
apa dan siapapun tidak akan mampu menciptakan suatu perkara selain Allah.
Sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 51
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا
كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
(٥١)
" Katakanlah
(wahai muhammadr) tidak ada yang menimpa kepada kami
sekalian kecuali apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami sekalian,Dialah pelindung kami dan
hanya kepada Allah lah orang orang beriman harus berserah diri "
Firman Allah yang menunjukan kepada adat (syariat) adalah untuk dijadikan landasan amal
dan pembicaraan. Sedangkan firman Allah yang menunjukan pada haqiqat adalah untuk dii'tiqodkan dalam hati, sebagai landasan tawakkal,
sabar dan syukur kepada Allah. Seperti badan sembuh dari sakit, syariatnya adalah dengan obat dan haqiqatnya Allah yang menyembuhkan.
Hukum adat tersebut
bisa gagal atas
kehendak Allah, seperti yang dibakar tidak hangus, dibacok tidak luka, dsb.
Dari materi ini maka timbulah khowariqun lil 'Adat, ya'ni kejadian yang diluar adat kebiasaan, yang terbagi atas lima bagian :
·
Irhash, yaitu kejadian luar biasa yang
ada pada seseorang yang akan menjadi nabi.
·
Mu'jizat, yaitu kejadian luar biasa yang
ada pada Nabi dan Rosul.
·
Karomah, yaitu kejadian luar biasa yang
ada pada seorang Wali.
·
Ma'unah, yaitu kejadian luar biasa yang
ada pada seseorang hamba yang Sholih.
·
Istidraj, yaitu kejadian luar biasa yang
ada pada orang kafir atau Mu'min fasiq.
Ada
dua hal yang kalau dilihat dari segi pekerjaanya dapat menghasilkan Khowariq
lil ‘Adat yaitu :
a.
Jika menghasilkan khowariq lil ‘Adat
tersebut dengan cara berdo’a, membaca sholawat, dan dzikir,maka itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan disunahkan memperbanyaknya.
b.
Jika menghasilkan khowariq lil ‘Adat
dengan cara sihir, itu hukumnya haram.
Adapun
warna sihir dan sesuatu yang bisa menghasilkan khowariq lil ‘Adat itu ada
beberapa macam, diantaranya :
·
Sihir Simiya, yaitu menghasilkan
khowariq lil ‘Adat dengan jalan khasiat tanah dan batu.
·
Sihir Himiya, yaitu menghasilkan
khowariq lil ‘Adat dengan jalan bintang yang ada di langit, sehingga mengetahui
waktu yang akan datang, mengetahui hati orang lain dengan jalan ilmu nujumnya.
Atau menghasilkan khowariq lil ‘Adatnya
dengan jalan binatang. Seperti kadal yang berekor dua, burung nuri yang ekornya
merah, dll. Maka hukum mencarinya itu adalah haram.
·
Sihir Hindi, yaitu menghasilkan khowariq
lil ‘Adat dari jarak jauh. Seperti menggunakan boneka lalu ditusuk memakai jarum
agar orang yang ditujunya itu merasakan sakit seperti ditusuk tusuk atau
seperti dibebani dengan beban yang sangat berat, dll. Dengan maksud membunuh
secara perlahan lahan, yang mana kita mengenalnya di indonesia dengan istilah
ilmu santet.
·
Sihir Yamani, yaitu menghasilkan
khowariq lil ‘Adat dengan menggunakan gambar binatang, kemudian orang yang
dituju itu diguna guna seperti gambar tersebut. Sihir ini tidak jauh beda
dengan sihir hindi.
·
Sihir Thilasamah atau Tholasim, yaitu
menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan cara mencorat coret tulisan yang tidak
berma’na, atau menulis nama dengan bahasa ‘ajam dan nama tersebut tidak dapat
dipahami.
·
Sihir Roqii, yaitu menghasilkan khowariq
lil ‘Adat dengan memakai jampi jampi yang isinya bukan do’a, juga bukan kalimah
kalimah yang mengandung keberkahan.
·
Sihir Ghosbat, yaitu benda atau tulisan
thilasimah yang dipakai kekuatan jiwa untuk menghasilkan khowariq lil ‘Adat
dengan jalan ghosbat.
·
Istikhdamah, yaitu menghasilkan khowariq
lil ‘Adat dengan meminta bantuan terhadap jin, syaithon atau arwah ghoib.
·
Wifiq atau Aufaq yaitu bentuk kotak
kotak yang diisi angka, huruf atau Asmaul Mubarokah (nama nama yang mengandung
keberkahan). Maka yang seperti itu digunakan oleh Imam Ghozali, bahkan beliau
sendiri mengarang kitab yang berjudul Aufaqul Ghozali. Adapun hukumnya itu
bagaimana tujuannya, apabila digunakan untuk perkara yang diperbolehkan oleh
syara’ maka hukumnya boleh. Apabila digunakan untuk perkara yang dilarang oleh
syara’ maka hukumnya haram.
Tentang masalah khowariq lil ‘Adat, itu ada yang dilarang
dan ada yang diperbolehkan oleh syara’-tergantung dari pada orang yang
menggunakan, cara yang digunakan dan tujuannya- diantaranya :
·
Orang fasiqyang memakai cara yang halus
seperti hizib atau asror, serta tujuannya dilarang oleh syara’, seperti
memutuskan atau menghancurkan rumah tangga seseorang. Apabila terjadi khowariq
lil ‘Adat itu merupakan Ihanah, yang mana hukumnya haram dilihat dari segi
orang yang mengerjakannya dan tujuannya.
·
Orang fasiq memakai cara yang haram
seperti sihir, yang mana tujuannya baik, seperti menegakan agama Allah. maka hukumnya haram dilihat dari segi orang
yang mengerjakannya dan cara yang digunakannya, yaitu menggunakan sihir.
·
Orang fasiq atau kafir memakai cara yang
haram, seperti sihir dan
tujuannya pun dilarang oleh syara’, seperti mengambil harta yang bukan
miliknya. Maka hukumnya haram dilihat dari segi orang yang mengerjakannya,
caranya dan tujuannya yang haram.
·
Orang mu’min sholih memakai cara yang
haram seperti menggunakan sihir, yang mana tujuannya dilarang oleh syara’
seperti memutuskan hubungan keluarga orang lain. Maka hukumnya haram dilihat
dari segi cara dan tujuannya yang dilarang oleh syara’ dan sifat sholihnya
menjadi batal karena melakukan sesuatu yang haram.
·
Orang mu’min sholih memakai cara yang
baik seperti Hizib atau Asror, namun tujuannya tidak baik seperti memutuskan
hubungan keluarga orang lain, maka hukumnya haram dilihat dari segi tujuannya.
Yang mana asalnya ma’unah menjadi ihanah, karena salah menggunakannya.
·
Orang Mu’min sholih memakai cara yang
baik seperti Hizib atau Asror, dan tujuannya pun baik seperti ingin mempunyai
rizki yang banyak, dapat memahami ilmu dengan mudah dll. Maka hukumnya itu
boleh, bahkan disunahkan jikalau memang niat/tujuan kita itu demi kepentingan
agama Allah
Penilaian
diantara ketiga hukum tersebut itu secara berurutan, yang paling kuat yaitu;
hukum Syara’, lalu hukum akal dan terakhir hukum ‘adat. Jadi apabila terjadi
pertentangan antara ketiga hukum tersebut, maka yang wajib diambil dan
didahulukan adalah ketetapan hukum Syara’, karena sumbernya dari Al Quran dan
Hadits. Seperti contoh berikut ini :
·
Adanya
surga adalah wajib menurut hukum syara’, sedangkan menurut hukum akal adalah
mumkin adanya, karena tidak ada yang wajib adanya selain Allah, akan tetapi Allah telah
menetapkan didalam hukum syara’ bahwa surga itu ada, maka kesimpulannya adalah
surga wajib adanya. Ketetapan wajib
menurut hukum syara’ seperti ini disebut wajibul muqoyyad, oleh karena itu
adanya surga tidak bisa disebut mumkin.
·
Adanya
hangus menurut hukum adat adalah wajib, karena setiap yang terbakar api pasti
hangus, sedangkan menurut akal adalah mumkin adanya, karena apabila Allah tidak mentaqdirkan hangus,
maka api tidak akan membuat hangus, buktinya apabila sesuatu yang dibakar itu
basah, maka tidak hangus/terbakar. Dalam hal ini ketetapannya adalah
sebagaimana hukum akal, ya’ni hangusnya yang
terbakar itu adalah karena kekuasaan Allah semata. Namun demikian Allah telah membuat hukum objektif yaitu sunnatullah
(ketetapan Allah), yang mana Allah menciptakan hangus melalui beberapa proses, yaitu; pertama diciptakannya api, lalu dihubungkan api dengan
sesuatu yang akan dibakar, kemudian dihilangkan penghalang hangus seperti basah
dan kemudian Allah menciptakan hangus pada sesuatu yang dibakar tadi.
b. Ta'rif Hukum adat
اثبَاتُ اَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ
نًفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ التَّكَرُّرِ بَيْنَهُمَا
عَلىَ الْحِسِّ مَعَ صِحَّةِ تَخَالُفِهِ وَعَدَمِ تَأْثِيْرِهِ اَحَدِهِمَا فِى
اْلأَخَرِ
" Menetapkan suatu perkara (sebab)
kepada suatu perkara yang lain (musabbab) atau meniadakan suatu perkara kepada
perkara yang lain dengan melalui suatu analisa dari sering terjadi, ditemukan
oleh panca indera, positif ada kaitan, dapat gagal dan tidak ada ta'sir (hasil
kerja) dari sabab dan musabbab "
Materi
kata اثبَاتُ اَمْرٍ لِأَمْرٍأَوْنًفْيُهُ عَنْهُ : materi ini merupakan
pokok ta'rif segala hukum, dari mulai hukum 'adat, hukum syara' sampai hukum akal.
Materi
kata بِوَاسِطَةِ
التَّكَرُّرِ بَيْنَهُمَا : materi ini menunjukan perbedaan antara hukum adat dengan
hukum syara' dan hukum akal.
Materi
kata عَلىَ
الْحِسِّ
: materi ini menunjukan bahwa antara sabab dan musabbab harus ada keterkaitan
dan penetapannya harus melalui hissi, baik hissi yang dzohir maupun bathin.
Yang
dimaksud hissi dzohir adalah yang disebut dengan panca indera yang lima
yaitu :
Ø Penglihatan mata, seperti terlihatnya
luka karena teriris pisau, luka bakar karena api.
Ø Lidah, seperti menetapkan rasa manis
kepada gula, asin kepada garam.
Ø Telinga, seperti menetapkan adanya suara
karena adanya yang berbicara.
Ø Hidung, seperti menetapkan adanya harum
pada parfum.
Ø Sentuhan kulit/Peraba, seperti adanya
bintik atau benjolan di punggung itu ditetapkan oleh rabaan/sentuhan tangan.
Adapun
yang dimaksud dengan hissi bathin adalah seperti ditemukannya rasa lapar,
susah, bingung bahagia dan sebagainya oleh hati dan perasaan seseorang.
BAB III
BERIMAN DAN MA'RIFAT KEPADA ALLAH
Percaya kepada Allah (Iman) tidak sempurna bila tidak patuh
terhadapperintah-Nya(Islam), dan patuh terhadap
perintahnya tidak sempurna bila tidak dibarengi dengan ikhlash (ihsan). Oleh
karena itu ketiga mutiara ini tidak akan bisa dipisahkan apabila
kita ingin mendapatkan keridhoan dan kasih sayang Allah.
Sebagaimana Rosulullah r pernah ditanya oleh malaikat jibril u tentang apa inti dari pada iman, islam
dan ihsan ? yang diriwayatkan oleh Imam Muslim t dalam kitab Shohihnya, yaitu :
عَنْ عُمَرِ
بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ للهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ
الثِّيَابِ, شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ, وَ
لاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ
كَفَّيْهِ عَلَى فَخْدَيْهِ وَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ
اْلإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ"
اَْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمَ الصَّلاَةِ,
وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ
اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً ". قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبَْنَا لَهُ
يَسْأَلُهُ وَ يُصَدِّقُهُ, قَالَ فَأَخْبِرنِيْ عَنِ اْلإِيْمَانِ ؟ قَالَ "
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلئِكَتِهِ, وَكُُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ, وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ " قَالَ صَدَقْتَ.
قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ؟ قَالَ اْلإِحْسَانُ هُوَ أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
قَالَ صَدَقْتَ. ...إلى أخر الحديث
“ Dari sayyidina ‘Umar RA berkata : Pada suatu hari kami duduk bersama
Rosulullahr, dan datanglah seorang lelaki kepada
kami. Yang mana lelaki tersebut bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam,
yang tidak terlihat akan bekas perjalanannya yang jauh, dan tidak ada salah
satu dari kami yang mengenalnya. Sehingga ia duduk didekat Rosulullah sambil menempelkan kedua lututnya dengan
lutut Nabi, dan menaruh kedua telapak tangannya akan kedua paha Nabi, dan ia
berkata : Ya Muhammad, beritahulah aku apa itu islam ? Rosulullah menjawab : “
Islam yaitu bahwasanya kamu bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib disembah
dengan haq selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, kemudian dirikanlah sholat,
tunaikanlah zakat, puasalah pada bulan romadhon, dan tunaikanlah ibadah haji
apabila kamu mampu menjalankannya “ kemudian ia berkata : kamu benar ..!
sayyidina ‘Umar t berkata : kami heran pada lelaki itu,
dia yang bertanya kemudian dia pula yang membenarkannya. Kemudian lelaki itu
bertanya lagi, beritahulah aku, apa itu iman ? Rosulullah menjawab : “ Iman yaitu bahwasanya kamu
beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Para Rosul-Nya, Hari Akhir (Kiamat),
dan kamu beriman akan ketentuan Allah
yang baik maupun buruknya “ lelaki tersebut berkata : kamu benar..!
kemudian ia bertanya lagi : beritahulah aku apa itu ihsan ? Rosulullah menjawab : “ Ihsan yaitu kamu beribadah
kepada Allah seakan akan kamu melihatnya, apabila kamu
tidak dapat melihatnya maka sesungguhnya Allah
melihatmu “ dst.....
Ta’rif Iman
اَلْإِيْمَانُ هُوَ التَصْدِيْقُ الجَازِمُ
بِكُلِّ مَا عُلِمَ بِالضَّرُوْرَةِ
مَجِيْئُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِ الله
وَالإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ وَ الْعَمَلُ بِاْلأَرْكَانِ
“ Iman adalah membenarkan yang pasti (dengan hati) terhadap apa
apa yang diketahui dengan pasti datangnya dari Nabi, yang berasal dari sisi
Allah, juga Mengakui dengan lisan/ucapan (syahadat)
dan Mengamalkan dengan anggota badan”
Dan bisa juga pengertian iman sesuai
dengan hadits Rosulullah yang mana
termasuk kedalam kategori Rukun Iman yaitu ada 6 :
اَلإِيْمَانُ
هُوَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ
اْلأَخِرِ, وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيِرِهِ وَشَرِّهِ
“ Iman yaitu bahwasanya kamu beriman kepada Allah para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Para Rosul-Nya, Hari
Akhir (Kiamat), dan kamu beriman akan ketentuan Allah yang baik maupun buruknya “
Beriman kepada Allah
Beriman kepada Allah
yaitu; percaya dan meyakini adanya Allah
yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya, dengan cara ma'rifat
(mengenal) kepada-Nya, dengan mengetahui sifat sifat-Nya, disertai dalil dalil
yang benar dan kuat menurut Ahli Sunnah Wal Jama'ah.
Adapun sifat sifat yang berhak bagi Allah itu bukan ditangguhkan atas pendapat para
Rosul, bukan berdasarkan Al Quran dan Hadits, bukan berdasarkan hasil keputusan
ulama mujtahidin, bukan pula terhadap adanya alam. Tetapi para Rosul, para
ulama, Al Quran, Hadits dan adanya alam ini, adalah sebagai dalil (tanda/ciri) yang
menunjukan bahwa Allah tersifati oleh sifat sifat yang berhak bagi-Nya. Walaupun misalnya para Rosul tidak diutus, para Ulama tidak ada, Al
Quran tidak diturunkan dan alam semesta tidak diciptakan, maka tetap sifat
sifat tersebut tidak akan lepas dari Allah. atau sekalipun misalnya seluruh makhluq tidak
mengimani sifat sifat yang
berhak bagi Allah, maka itu semua itu tidak
akan mempengaruhi pada Dzat Allah.
Sebagaimana sebagian dari pada ciri/tanda seorang lelaki
adalah mempunyai kumis atau janggut, walaupun lelaki tidak berkumis atau tidak
berjanggut, tetap ia disebut sebagai laki laki. karena kumis atau janggut
hanyalah merupakan ciri/tanda yang menunjukan sifat kelelakiannya.
Setiap mukallaf
(baligh & berakal) wajib berma'rifat kepada Allah, dengan cara harus
mengetahui sifat sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya.
Adapun beriman atau tidaknya, tetap ia terkena wajibnya
ma’rifat, sehingga oleh sebab inilah orang kafir menjadi ahli siksa, karena ia
tidak beriman kepada Allah.
Sebagaimana Sya'ir
Syaikh Ibnu Ruslan dalam kitab matan Zubad :
أَوَّلُ
وَاجِبٍ عَلَى الْإِنْسَانِ *
مَعْرِفَةُ الإِلَهِ بِاسْتِقَانِ
" Pertama yang wajib kepada manusia adalah ma'rifat kepada Allah dengan yakin "
Wajib berma’rifat disini adalah wajib
menurut Syara' (agama islam) didalam ilmu fiqih yang ta'rifnya :
مَاوَعَدَاللهُ فَاعِلَهُ
بِالثَّوَابِ وَتَوَعَّدَ اللهُ تَارِكَهُ بِالْعِقَاب
" Suatu perkara yang Allah I janjikan kepafa yang melakukannya berupa pahala dan
Allah ancam kepada yang meninggalkannya
berupa siksa"
Berbeda
dengan wajib menurut akal, sebagaimana yang dipegang oleh kaum mu’tazilah, yang
berpendapat bahwa kewajiban berma’rifat itu menurut akal, bukan menurut syara.
Pendapat ini adalah bathil, yang bertentangan dengan pendapat Ahlu Sunnah wal
Jama’ah.
Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama'ah
(Aswaja)
Konsep
Aswaja selama ini masih belum dipahami secara tuntas, sehingga menjadi
"rebutan" setiap golongan. Semua kelompok mengaku dirinya sebagi
penganut ajaran Aswaja. Tidak jarang, label out digunakan untuk kepentingan
sesaat. Jadi, apakah yang dimaksud dengan dengan Aswaja itu sebenarnya ?
bagaimana pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan ?
Aswaja
merupakan singkatan dari istilah Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Ada tiga kata yang
membentuk tiga kata tersebut, yaitu :
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau
pengikut
2. Al sunnah, yaitu segala sesuatu yang
telah diajarkan oleh Rosulullah r.
3. Al jama'ah, yaitu apa apa yang telah
disepakati oleh para sahabat Rosulullah
pada masa Khulafaur Rosyidin yaitu Kholifah Abu Bakar, Umar bin Khotob,
Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Tholib.
Sebagaimana
telah dikemukakan oleh Syaikh 'Abdul Qodir Al Jilani dalam kitabnya Al
Ghunyah Li Tholibi Thoriq Al haq :
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ
رَسُوْلُ اللهِ r وَالْجَمَاعَةُ مَا اِتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ
اللهِ فِى خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ
اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الَْمَهْدِييِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ
عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالبي طريق الحق, ج 1 ص 80)
" Adapun yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang
telah diajarkan oleh Rosulullah
(meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan
pengertianal-Jama'ah adalah segala sesuatu yang gtelah menjadi kesepakatan para
sahabat Nabi Muhammad r pada masa Khulafa ar-Rosyidin yang empat, yang telah diberi
hidayah, mudah mudahan Allah I memberikan rohmat kepada mereka semua.
Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin
'Abdussyakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma'ah :
أَهْلُ السُّنَّةِ
وَالْجَمَاعَةِ اَلَّذِيْنَ لاَزَمُوْا سُنَّةَ النَّبِيِّ وَطَرِيْقَةَ
الصَّحَابَةِ فِى الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ
وَاْلأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ. (الكواكب اللمّاعة, ص 8-9)
" Yang disebut Ahlu sunnah wal jama'ah adalah orang orang
yang selalu berpedoman pada Sunnah Nabi r dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan,
amal amal lahiriyyah serta akhlaq hati "
Jadi
Ahlu Sunnah wal Jama'ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini,
yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rosulullah r dan para sahabatnya. Ketiga prinsip tersebut adalah at-Tawassuth
(sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan)
prinsip at-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan
dalil 'aqli dan dalil naqli), dan al-I'tidal (tegak lurus).
Ketiga
prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (tauhid/teologi),
perbuatan lahiriyyah (fiqh) serta masalah masalah yang mengatur gerak hati
(tashawuf). Dalam praktik keseharian, ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah dibidang
teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam Asy'ari dan Imam Ma'thuridhi. Sedangkan
dalam masalah perbuatan badaniyyah termanifestasikan (terwujud) dengan
mengikuti madzhab empat, yakni madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i
dan madzhab Hanbali. Dalam bidang tashawuf mengikuti rumusan Imam Junaid Al
Baghdadi dan imam Al Ghozali
Salah
satu alasan dipilihnya Ulama-Ulama tersebut oleh Salafuna al-Sholih, sebagai
panutan dalam Ahlu Sunnah wal Jama'ah, karena mereka telah terbukti mampu
membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan inti sari agama islam sebagaimana
telah digariskan oleh Nabi Muhammad dan
para shohabatnya. Dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi
umatnya. Nabi Muhammad r bersabda :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَمْرٍو اَلسُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْباَضَ بْنَ سَارِيَةَ قَالَ :
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ : فَعَلَيْكُمْ
ِبمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
المَهْدِيِّيْنَ (مسند احمد بن حنبل. رقم 16519)
" Dari 'Abdurrohman bin Amr al-Sulami, sesungguhnya ia
mendengar al-'Irbadh bin Sariyah berkata : Rosulullah r menasehati kami : kalian wajib berpegang teguh pada sunahku
(apa yang aku ajarkan) dan perilaku al-Khulafa al-Rosyidin yang mendapatkan
petunjuk "
Karena
itu sebenarnya Ahlu Sunah wal Jama'ah merupakan islam yang murni sebagaimana
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad r
dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya y. Ketika Rosulullah r
menerangkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dengan tegas Nabi r menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpedoman
pada apa saja yang diperbuat oleh Nabi r
dan para sahabatnya pada waktu itu (ma ana 'alaihi al-yawm wa ashabi).
Maka,
Ahl Sunnah wal Jama'ah sesungguhnya bukan aliran baru yang muncul sebagai
reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran hakiki agama islam.
Ahlu Sunnah wal Jama'ah justru berusaha untuk menjaga agama islam dari beberapa
aliran yang akan mencerabut ajaran islam dari akar dan pondasinya semula.
Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan
untuk mensosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran islam yang murni.
Sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan dan
mengembalikan agama islam agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh
Rosulullah r dan para sahabatnya.
Jika
sekarang banyak yang mengaku dirinya termasuk Ahlu Sunnah wal Jama'ah, maka
mereka harus membuktikan dalam praktek keseharian bahwa ia telah benar-benar
mengamalkan sunah Rosulullahr
dan sahabatnya. Abu Sa'id al-Khadimi berkata :
(فَإِنْ
قِيْلَ) كُلُّ فِرْقَةٍ تَدَّعِيْ أَنَّهَا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
(قُلْنَا ذَلِكَ لاَ يَكُوْنُ بِالدَّعْوَى بَلْ بِتَطْبِيْقِ الْقَوْلِ
وَالْفِعْلِ وَذَلِكَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى زَمَانِنَاإِنَّمَا يُمْكِنُ
بِمُطَابَقَةِ صِحَاحِ اْلأَحَادِيْثِ كَكُتُبِ الشَّيْخَيْنِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ
الْكُتُبِ الَّتِيْ أَجْمَعُ عَلىَ وَثَاقَتِهِنَّ). (البريقة شرح الطريقة ص 111-112)
" (Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya
sebagai Ahlu Sunnah wal Jama'ah, jawaban kami adalah : bahwa Ahlu Sunnah wal
Jama'ah itu bukan hanya klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan)
dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini, perwujudan itu dapat
dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shohih.
Seperti shohih Bukhori, shohih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang telah
disepakati validalitasnya"
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat dirumuskan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama'ah merupakan
ajaran yang sesuai dengan apa yang telah digariskan oeh Rosulullah r dan para sahabatnya. Dan itu tidak hanya sebatas klaim
semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku kita sehari-hari.
Perumus Ahlu Sunnah wal Jama'ah dalam
Bidang Akidah
Seperti
uraian yang telah lalu, bahwa Ahlu Sunnah wal Jama'ah merupakan ajaran islam
yang murni dan sudah ada sejak masa Rosulullah r. Hanya saja waktu itu masih belum terkodifikasi serta
terumuskan dengan baik. Lalu siapakah yang menjadi pelopor dalam merumuskan
kembali Ahlu Sunnah wal Jama'ah, khususnya dalam bidang akidah ?
Yang
merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah dimulai oleh
dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy'ari dan Imam
Ma'thuridi. Karena itu ketika ada yang menyebut Ahlu Sunnah wal Jama'ah, pasti
yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua imam tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam
kitab Tathir al-janan wallisan :
أَنَّ الْمُرَادَ بِأَهْلِ
السُّنَّةِ حَيْثُ أُطْلِقُوْا أَتْبَاعُ أَبِيْ الْحَسَنِ اْلأَشْعَرِيِّ
وَأَبِيْ مَنْصُوْرٍ اَلْمَأْتُوْرِيْدِيْ (تطهير الجنان واللسان , 7)
" Jika Ahlu Sunnah wal Jama'ah disebutkan, maka yang
dimaksud adalah orang orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Al
Asy'ari (golongan Asya'iroh) dan Imam Ma'turidi (golongan Ma'turidi) "
Dua
orang inilah yang menjadi pelopor gerakan kembali kepada ajaran Ahlu Sunnah wal
Jama'ah. Intisari dari rumusan kedua beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab
yang telah diajarkan di berbagai pesantren, seperti Aqidah al-Awam, Tijan
ad-Daruri, Kifayah al-Awam dan kitab kitab tauhid lainnya yang sudah tidak
asing lagi bagi orang orang yang belajar di pesantren.
Nama
lengkap beliau adalah Abu Hasan 'ali bin Isma'il al-Asy'ari. Lahr di bashrah
pada tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. beliau adalah salah
satu keturunan sahabat Nabi r
yang bernama Abu Musa al-'Asy'ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau
menikah lagi dengan salah seorang tokoh mu'tazilah yang bernama al-Jubbai.
Karena menjadi anak tiri al-Jubbai, Imam Asy'ari sangat tekun mempelajari
aliran mu'tazilah, sehingga beliau sangat memahami tentang aliran ini. Tidak
jarang ia menggantikan ayah tirinya untuk menyampaikan ajaran mu'tazilah.
Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagi anak tiri dari salah seorang
tokoh utama mu'tazilah, banyak orang memeperkirakan bahwa suatu saat ia akan
menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagi salah seorang tokoh mu'tazilah.
Namun
harapan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Fakta berbicara lain. Fakta
berbicara lain. Setelah Imam Asy'ari mendalami ajaran mu'tazilah, terungkaplah
bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut.
Sesudah mengetahui beberapa kelemahan ini, beliau menyendiri dan bertafakkur
(merenung dan berfikir) selama 15 hari. Ia meminta kepada Allah agar diberi
petunjuk tentang langkah terbaik yang akan dilaluinya.
Dalam
perenungan tersebut, sampailah beliau pada kesimpulan bahwa sudah saatnya untuk
kembali kepada ajaran islam yang murni, yang telah oleh Rosulullah r dan para sahabatnya y,
serta dilanjutkan oleh para ulama salafussholih. Imam Asy'ari beranggapan
apabila tetap mengamalkan ajaran mu'tazilah yang sangat mengandalkan akal pikirannya,
berarti telah melakukan dosa sosial, karena telah mengajak orang lain untuk
berbuat kemunafikan. Akhirnya beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan
ajaran mu'tazilah. Imam Asy'ari kemudian memproklamirkan diri dan mengajak
manusia untuk kembali kepada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah, seperti yang telah
diajarkan para salafussholih. (Abi Al Hasan al-Nadwi, dalam muqoddimah
al-ibanah, 30-31).
Setelah
peristiwa ini banyak kalangan yang memuji keberanian Imam Asy'ari. Ia dijuluki
sebagai orang yang telah menyelamtkan akidah umat islam dari gangguan kelompok
kelompok yang akan merusak kemurnian agama islam. Beliau diposisikan sebagai
pelopor gerakan kembali ke Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Gerakan yang beliau pimpin
itu kemudian dikenal dengan sebutan golongan Asya'iroh. Untuk mengukuhkan
Akidah Ahlu Sunah wal jama'ah, imam Asy'ari menulis banyak kitab, diantaranya
al-ibanah 'an Ushul al-Diyanah, Maqolat al-Islamiyyin dan lain sebagainya.
Karena
keberaniannya ini pula, para ulama yang selama itu dibungkam da ditindas oleh
penguasa mu'tazilah memberikan dukungan pada gerakan yang ia rintis. Maka
wajar, jika pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para Muhadditsin
(ahli hadits), Fuqoha (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin
ilmuikut mendukung serta menjadi pengikut Imam Asy'ari. Sebagaimana yang telah
dituturkan oleh Sayyid Muhammad Alwi Al
Maliki dalam Kitab Mafahim Yajib An Tushohhah :
إِنَّهُمْ طَوَائِفُ
الْمُحَدِّثِيْنَ وَالْفُقَهَاءِ وَالْنُفَسِّرِيْنَ مِنَ اْلأَئِمَّةِ
اْلأَعْلاَمِ (مفاهيم يجب أن تصحح, 111)
" Sesungguhnya mereka (pengikut Imam Asy'ari) adalah
beberapa kelompok dari para Muhadditsin, Fuqoha dan Mufassirin (ahli tafsir)
dari para Imam yang terkemuka "
Diantara
para Ulama yang mengikuti beliau dalam bidang akidah adalah Imam Nawawi (wafat
tahun 676 H. pengarang kitab Riyadhussholihin), Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolani
(wafat tahun852 H., penulis kitab Fathul Bari' Syarh Shohih al-Bukhori serta
kitab Bulughul Marom), Imam al Qurthubi (pengarang kitab Tafsir
al-Qurtubi), Ibnu Hajar al-Haitami (wfat
tahun 974 H, muallif kitab al-Zawajir), Imam Zakariya al-Anshori (muallif kitab
Fathul Wahab), serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Tidak
sedikit pula ahli tashawwuf terkenal menjadi pengikut akidah Asya'iroh ini,
seperti Abu al-Qosim 'Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (penulis kitab
al-Risalah al-Qusyariyyah 376-465 H), dan Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghozali (505 H) (Tabyin kidzb al-Muftari, 291)
Inilah
gambaran tentang kelompok Asya'iroh. Berkat kegigihan kelompok ini, agama islam
terhindar dari kerusakan yang disebabkan menjamurnya berbagai aliran yang
merusak kemurnian islam. Karena jasanya yang sangat besar bagi agama islam,
mereka dijuluki sebagai kelompok yang telah menyelamatkan sendi-sendi ajaran
islam. Sebagaimana yang diakui oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-fatawanya
dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini :
اَلْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ
عُلُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلأَشَاعِرَةُ أَنْصَارُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ (الفتاوى , ج 4 ص 24)
" Para Ulama adalah para penolong ilmu-ilmu agama.
Sedangkan Asya'iroh adalah para penolong Ushuluddin (akidah) "
Tokoh
kedua Ahl Sunnah wal Jama'ah adalah Imam al-Ma'turidi. Nama lengkap beliau
adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Ma'thuridhi
al-Samarkandi. Beliau lahir di Ma'thurid dan wafat di Samarkand pada tahun 333
H/944 M. sedangkan untuk tahun kelahirannya tidak ada keterangan yang jelas.
Seperti
yang telah dijelaskan, beliau adalah seorang yang menganut madzhab Abu Hanifah.
Maka wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian
dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar
menyimpulkan bahwa yang menjadi pijakan Imam Ma'turidi adalah pendapat-pendapat
Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Tarikh al Madzahhibil Islamiyyah, Juz 1,
hal 173)
Murid-murid
beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qosim Ishaq bin Muhammad bin
'Ismail yang terkenal sebagai Hakim Samarkand, wafat pada tahun 340 H. lalu
Imam Abu al-Hasan 'Ali bin Sa'id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad
'Abdul karim bin Musa al-Bazdawi, wafat pada tahun 390 H. dan yang terakhir
adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhori. Satu-satunya tulisan Imam Ma'turidi yang
samapai kepada kita adalah kitab at-Tauhid yang di tahqiq (diedit) oleh DR.
Fathullah Khulayf.
Ma'rifat
Ta'rif Ma'rifat
Adapun ta'rif Ma'rifat yaitu :
إِدْرَاكٌ جَازِمٌ مُوَافِقٌ لِمَا فِى الْوَاقِعِ نَاشِئٌ عَنْ
دَلِيْلٍ بِحَيْثُ لَيْسَ مَعَهُ تَرَدُّدٌ
" Menemukan
keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataannya, yang timbul dari dalil dalil
yang tidak ada keraguan didalamnya "
Yang menjadi asas asas ma'rifat adalah
sbb :
1. Idrok jazim, artinya menemukan keyakinan
yang pasti (100 %). Maka dikecualikan
perkara yang tidak pasti seperti : khayalan (25%),
keraguan (50%), harapan dan perkiraan/sangkaan (75 %).
2. Muwafiq lil waaqi', artinya yang
diyakinkan harus sesuai dengan kenyataan yang dipegangi oleh Ahli Sunnah wal
jama'ah.
Apabila meyakinkan dan beriman kepada Allah , tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang dipegangi oleh Ahli
Sunnah, maka ia masih termasuk kufur.
seperti kaum mujassimah mereka meyakinkan adanya Allah, tetapi mereka
menyerupakan Allah dengan makhluq.
3. Naasyiun ‘an dalilin bihaitsu laisa
ma'ahu taroddud, artinya harus timbul dari dalil dalil (alasan alasan) yang benar dan kuat yang tidak ada keraguan
didalamnya.
Dalil Ma'rifat
Dalil Yang mewajibkan ma'rifat itu
adalah firman Allah dalam
surat Al Baqoroh ayat 21 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(٢١)
" Wahai segenap manusia ! sembahlah (esakanlah) tuhanmu
yang telah menciptakanmu dan orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa
"
Maksud kata اعْبُدُوْا itu adalah mentauhidkan Allah, karena merupakan amr (perintah) yang pasti, yang menunjukan akan
wajibnya berma’rifat kepada Allah. Dan khitob Allah kepada manusia berupa ibadah tidak sah jika
belum mengesakannya. Berbeda dengan khitob
menggunakan ayat يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا
itu sah apabila dikhitobi dengan ibadah.
Dalam ayat رَبَّكُمُ ini menggunakan
sifat الَّذِى
خَلَقَكُمْ,
ini menunjukan bahwa kewajiban bertauhid
itu harus dengan berma’rifat kepada Sang Maha Pencipta (Allah), yaitu dengan cara mengetahui dalilnya.
Pembagian Dalil
Dalil menurut ilmu tauhid ada 2 macam yaitu :
a. Dalil Naqli, yaitu dalil yang bersumber
dari Al Quran dan Hadits, yang khusus diperuntukan bagi orang orang yang sudah
beriman kepada Allah. Mengenai peranan dalil naqli dalam ilmu
tauhid, benar benar amat penting. Karena kenyataan menunjukan, bahwa derajat
akal manusia itu tidak sama satu sama lain, ada yang berpendapat tinggi dan ada
yang didapat oleh akal yang berderajat tinggi, kecuali dengan cara sederhana dan ringkas saja. Yang demikian itu
bukan saja karena ketidak samaan tingkat pendidikan mereka masing masing,
tetapi bahkan juga karena ketidaksamaan fitrah kejadian mereka, yang hal itu
merupakan Qudrat dan Irodat Allah.
Mengingat hal
tersebut diatas, maka didalam memahami tentang ke Esaan Allah tidaklah cukup hanya dengan
akal, karena ternyata akal itu mempunyai kelemahan. Dalil dalil yang
berdasarkan akal tidaklah dapat diterima kebenarannya secara pasti, tetapi
hanya bersifat zhon (sangkaan). Padahal dalam masalah
ketauhidan diperlukan dalil dalil yang bersifat qot’i (pasti). Dalam hal ini
wahyu Allah lah yang
menduduki sebagai dalil yang qot’i, yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya
bahwa hal ini berasal dari Allah melalui para Rosul-Nya.
Percaya kepada
wahyu yang diturunkan Allah, berarti tidak hanya
percaya kepada Al-Quran saja, tetapi juga percaya kepada segala wahyu yang
diturunkan pada semua masa, serta yang diturunkan kepada para Nabi dan umat
umat terdahulu. Dan Al-Quran juga membenarkan dan menguji
kemurnian yang tercantum dalam kitab kitab suci yang lain. Karena itu Al-Quran
memuat kisah Nabi-Nabi dan umat terdahulu, selain untuk mengambil pelajaran,
juga untuk menunjukan kejadian yang sebenarnya.
Berpijak dari hal
itulah, maka dalam masalah ilmu tauhid Al-Quran adalah merupakan sumber utama
dan merupakan wahyu yang ditanggung kemurniannya, karena senantiasa dijamin
pemeliharaannya oleh Allah. Sebagaimana
Firman dalam surat Al Hijr ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya “
b. Dalil Aqli, yaitu dalil yang berdasarkan
ketetapan akal, yang lahir dari akal pikiran menurut hukumnya yang sah, yang
mana diperuntukan bagi orang yang belum beriman dan sudah beriman kepada Allah. Jikalau akal sudah mampu berdalil aqly (logis), maka akal itu
mudah menerima segala keterangan dari Al -Quran dan Hadits.
Dalam lintasan
fikiran akal manusia ini, tidak lepas dari dua macam, yaitu masalah yang dhorury/badihy
dan masalah yang nadzhory.
Badihy yaitu suatu
perkara yang mudah difahami, dengan tidak memerlukan ta-ammul (berfikir).
Misalnya : hitungan 2 – 1 = 1; matahari itu terang; malam itu gelap; dan
sebagainya.
Nadzhory adalah
suatu perkara yang tidak mudah difahaminya, dan memerlukan ta-ammul. Misalnya :
hitungan 71/8 × 31/2 × 51/7 = …; bumi ini berbentuk bulat telur, Allah itu ada
dan kekal ada-Nya.
Sebagaimana Syaikh 'Abdur Rahman Al-Ahdhory mensyairkan dalam
matan Sulamul Munauroqnya :
وَالنَّظَرِى
مَا احْتَاجَ للِتَّأَمُّلِ * وَعَكْسُهُ هُوَ الضَّرُوْرِيُ الْجَلِى
" Nadzhory yaitu sesuatu yang
membutuhkan akan pemikiran, dan adapun Dharury itu kebalikannya Nadzhory "
Dalil dalil untuk
menerapkan ada-Nya Allah sungguh
banyak sekali, hingga pernah para pujangga mengemukakan sebagai berikut :
إِنَّ ِللهِ طَرَائِقَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِ الْخَلاَئِقِ
“ Banyak sekali jalan menetapkan adanya
Allah, yaitu sebanyak nafas para makhluq “
Sebagai salah satu
contoh jalan menetapkan adanya Allah melalui akal misalnya : kita memakai baju
pasti ada yang membuatnya; rumah yang kita tempati pasti ada pembuatnya (tukang
kayu dan tukang bata), bumi yang kita gunakan untuk segala kebutuhan hidup ini
pasti ada pembuatnya, langit yang tinggi tanpa
ketahuan tiangnya itu pasti ada pembuatnya, matahari yang senantiasa terbit
disebelah timur dan terbenam disebelah barat itu pasti ada pembuatnya dan yang
mengaturnya.
Baju, rumah dan
jenis perangkat kebudayaan lainnya, pembuatnya adalah manusia. Sedangkan bumi,
langit, matahari tak mungkin diciptakan oleh manusia atau makhluq lainnya; maka
jelaslah bahwa yang menciptakan bumi, langit dan matahari itu adalah dzat yang
maha kuasa dalam menciptakan dan meniadakan segala sesuatu, yakni Allah.
Mengenai peranan
akal dalam ilmu tauhid itu sangat penting dan menentukan, dengan alasan sebagai
berikut.
-
Dengan
jalan akal, maka seseorang dapat mengetahui adanya Allah, sifat sifat-Nya dan berbagai pengetahuan yang hasil dari nadzhory
-
Pendapat
akal dapat sampai haqiqat kebenaran
sesuatu.
-
Pendapat
akal tidak terbatas
Itulah sebabnya, Al Quran dalam
tuntunannya untuk mengakui adanya Allah dan ke-Esaan-Nya, mendorong agar mempergunakan
akal untuk berfikir dalam lapangannya yang
telah ditentukan, yaitu alam semesta yang terbentang diluar diri manusia, yang
ada dalam dirinya sendiri.
Ayat
ayat yang menyatakan peranan akal :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠)
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ (١٩١)
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imron : 190-191)
Ayat
ayat tersebut diatas, menyatakan bahwa orang orang yang berakalah yang sanggup
memikirkan atau mengingat-ingat tentang ciptaan Allah,
baik dalam keadaan apa dan bagaimana pun. Bagi mereka yang berakal pulalah akan
mengakui dan menyadari bahwa tuhan yang menciptakan segala sesuatu ini bukannya
sia sia belaka, melainkan penuh arti dan kemanfaatan bagi manusia dalam rangka
mencapai ridho Allah,
sehingga tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan
akal manusia dapat mengambil ibarat atau tamtsil dari apa yang dilihat atau
dialaminya di alam sekitar ini, sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat
Yunus ayat 24 sebagai berikut :
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ
مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الأرْضُ زُخْرُفَهَا
وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا
لَيْلا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالأمْسِ كَذَلِكَ
نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢٤)
“ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti
air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya
Karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan
binatang ternak. hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan
memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti
menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau
siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah
disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir.
Demikianlah
ayat ayat Al Quran yang menyatakan peranan akal dalam ilmu tauhid. Dengan akal
itu manusia mampu mengingat ingat akan kebesaran Allah, baik dalam keadaan apa dan bagaimanapun; dengan akal itu manusia
dapat memikirkan bagaimana kejadian atau
proses dijadikannya langit dan bumi, dan dengan akal itu manusia mampu
menegaskan, bahwa Allah menjadikan langit dan bumi seisinya tentu ada
manfaat dan penuh arti bagi makhluq-Nya, bukan sekedar ciptaan yang sia sia.
Apabila
seseorang mau mempergunakan akalnya untuk dzikir dan berfikir atas kekuasaan
Allah itulah,
maka orang tersebut akan semakin tebal keyakinannya, ia senantiasa mensucikan
Allah dalam keyakinannya dan memohon
untuk terhindar dari adzab Allah yang sangat pedih.
Dalil Aqli ini terbagi atas 2 macam :
1). Dalil Aqli ijmali,
yaitu dalil aqli yang sifatnya umum (global),
sederhana dan tidak mendalam, yang dapat diketahui serta mudah dipahami oleh
kalangan umum. Hukum mengetahui dalil ini adalah fardhu a'in (individu/perorangan); ya'ni setiap mukallaf wajib mengetahui dalil
ini.
2). Dalil Aqli Tafsili,
yaitu dalil yang lebih terperinci dan lebih mendalam, yang hanya dapat
diketahui oleh orang orang tertentu saja, sehingga mampu mempertahankan
kebenaran ajaran agama islam, serta mampu melawan dan menghancurkan aqidah
aqidah yang batal. Hukum mengetahui dalil ini adalah fardhu kifayah; ya'ni
cukup satu orang yang mengetahui dari satu daerah.
Setiap
Mukallaf wajib mengetahui dalil secara ijmali, karena termasuk syarat
berma’rifat menurut ulama mujtahidin.
Ada beberapa pendapat ulama tentang
menyikapi hal ini yaitu :
·
Imam
Sanusi dan Ibnu ‘Arobi berpendapat bahwa seseorang yang berma’rifat tanpa
mengetahui dalilnya itu tidak sah imannya. Sekalipun mereka orang pintar,
apalagi orang bodoh. Maka mereka tergolong hukumnya kafir jika tidak dibarengi
dengan dalil. Pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama tauhid, karena
sangat berat sekali untuk dilaksanakan, apalagi zaman sekarang yang mayoritas
penduduknya kurang senang terhadap ilmu ilmu agama.
·
Sebagian
Ulama berpendapat bahwa ma’rifat jika tidak dibarengi dengan dalil itu sah
imannya, baik pintar maupun bodoh.
·
Sebagian
ulama lagi berpendapat bahwa ma’rifat yang tidak dibarengi dengan dalil bagi
orang bodoh itu sah saja imannya, serta ia tidak berdosa. Dan bagi orang pintar
itu juga sah imannya, namun ia berdosa, karena tidak menggunakan kepintaran
yang telah diberikan Allah kepadanya untuk berma’rifat kepada Allah dengan mengetahui dalilnya. Pendapat ini
adalah pendapat yang mu’tamad (yang
dipegangi) oleh jumhur ulama tauhid.
·
Sebagian
lagi berpendapat bahwa ma’rifat yang tidak dibarengi dengan dalil itu sah
imannya juga tidak berdosa, jika taqlid (mengikuti) terhadap Al Quran dan
Hadits yang mutawatir.
·
Sebagiannya
lagi berpendapat bahwa ma’rifat yang tidak dibarengi dengan itu sah imannya dan
tidak berdosa, bahkan haram untuk memikirkan dalil tersebut jika tercampuri
oleh dalil fulasifah dholalah (filsafat yanng sesat).
Tingkatan Iman
Adapun iman itu ada lima tingkatan :
Ø Iman Taqlid, yaitu imannya seseorang
tanpa dibarengi dengan dalil
Ø Iman 'Ilmu, yaitu imannya seseorang
disertai dengan mengetahui dalilnya
Ø Iman 'Iyan, yaitu imannya seseorang yang
sudah ma'rifat kepada Allah I
dengan selalu merasa dirinya berada dalam pengawasan-Nya, sehingga tak pernah
lalai dari mengingat-Nya. Ini adalah maqomnya muroqobah, dan dinamakan dengan
iman 'ainul yaqin
Ø Iman Haq, yaitu imannya seseorang yang
seakan akan melihat Allah dengan hatinya. Ini adalah maqomnya musyahadah dan
dinamakan iman haqqul yaqin
Ø Iman Haqiqat, yaitu imannya seseorang
yang fana terhadap Allah dan mabuk (tidak ingat apapun selain Allah) karena
sangat cintanya kepada Allah, maka tidak dapat ia saksikan kecuali hanya Allah.
Hikmah Ma'rifat
Hikmahnya
kita ma'rifat kepada Allah yaitu; agar timbul rasa
cinta dan keyakinan kita kepada Allah yang telah menciptakan kita,
sehingga hati kita selalu tenang dan
ridho terhadap apa yang ditaqdirkan Allah kepada kita didalam menempuh hidup
ini.
Sebagaimana
jika seseorang ingin melamar dan menikahi seorang wanita, maka ia harus
mengenal wanita tersebut dengan cara mengetahui sifat sifat dan
karakteristiknya, agar timbul rasa cinta dan kasih sayang didalam keluarga, sehingga terwujudnya
hidup yang sakinah, mawaddah warohmah (harmonis).
Adapun sifat sifat yang wajib bagi Allah sangatlah banyak dan tidak akan terhitung.
karena sifat kesempurnaan Allah tidak
ada yang sanggup menghitungnya kecuali hanya Allah. Namun yang wajib kita
ketahui adalah sifat yang terdapat dalil di dalamnya, baik dalil aqli maupun naqli, yang bisa memantapkan keyakinan
kita kepada Allah.
Didalam
menjumlahkan sifat yang wajib ini para ulama berbeda pendapat diantaranya:
1.
Imam Asy'ari dan Muhaqqiqin berpendapat
: sifat Allah yang wajib diketahui ada
12 sifat, yang terdiri
dari 5 sifat salbiyyah dan 7 sifat ma'ani.
2.
Abi Bakri Al Baqilani, Imam Harmain dan
imam Ar Roozi berpendapat : sifat Allah yang wajib diketahui ada 13 sifat. terdiri dari 12 sifat
seperti diatas ditambah 1 sifat Nafsiyyah yaitu sifat wujud.
3.
Imam Ma'thuridhi, Imam Sanusi, Imam
Ibrohim al bajuri berpendapat : sifat Allah yang wajib diketahui ada 20 sifat.
Terdiri dari 13 sifat seperti diatas ditambah dengan 7 sifat ma'nawiyyah.
Agar semua pendapat ulama ushuluddin tadi terbawa, maka
kita mengambil yang 20 sifat yang dibagi lagi menjadi 4 sifat, yaitu :
1)
Sifat Nafsiyyah ada 1 sifat yaitu sifat
wujud
2)
Sifat Salabiyyah ada 5 sifat yaitu sifat
qidam, baqo', mukholafah lil hawadits,
qiyamuhu binnafsi dan wahdaniyyah.
3)
Sifat Ma'ani ada 7 sifat yaitu sifat
qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama', basor dan kalam.
4)
Sifat Ma'nawiyah ada 7 sifat yatu sifat
kaunuhu Qoodiron, Aa'liman, Muriidan, Hayyan, Sami'ian, Basiiron dan kaunuhu
Mutakalliman.
Seorang Mukallaf (baligh & berakal) wajib berma'rifat
dan meyakinkan sifat sifat yang ada pada Allah dan Rosul-Nya disertai dengan dalil dalil yang
benar menurut ahli sunnah wal jama'ah, dengan resiko akan sah imannya serta
akan diberi pahala jika meyakinkannya dan tidak sah imannya serta berhak akan
disiksa diakhirat nanti jika
tidak meyakinkannya.
Adapun Aqoid Iman
itu ada 50 perkara, diantaranya :
1.
sifat wajib bagi Allah ada 20 sifat
2.
sifat mustahil bagi Allah ada 20 sifat
3.
sifat jaiz bagi Allah ada 1 sifat
4.
sifat wajib bagi Rosul ada 4 sifat
5.
sifat mustahil bagi Rosul ada 4 sifat
6.
sifat jaiz bagi Rosul ada 1 sifat
Beriman kepada Malaikat
Beriman kepada Malaikat yaitu membenarkan bahwa
sesungguhnya Malaikat adalah hamba hamba yang dimuliakan oleh Allah, mereka sangat patuh terhadap Allah, tidak
pernah melanggar perintah perintah
Allah dan selalu mengerjakan apa apa yang
diperintahkan oleh Allah, serta malaikat adalah sebagai perantara dalam
menyampaikan wahyu antara Allah dan Rosul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya.
Malaikat ialah jisim (bentuk)
yang halus sejenis
cahaya, yang bukan sejenis laki laki maupun wanita, tetapi bisa merubah bentuk
akan bentuk yang berbeda beda. Tidak ada yang mengetahui berapa jumlahnya
selain Allah . Tapi seorang mukallaf
wajib mengimani (percaya) akan sepuluh dari pada malaikat tersebut secara tafsil (rinci) yaitu
:
1.
Malaikat Jibril, tugasnya menyampaikan
wahyu dari Allah kepada para Nabi dan Rosul.
2.
Malaikat Mikail, tugasnya menurunkan
hujan dan mengatur rizqi.
3.
Malaikat Isrofil, tugasnya meniup
sangsakala pada saat hari kiamat tiba.
4.
Malaikat ‘Izroil, tugasnya mencabut
nyawa.
5.
Malaikat Munkar, tugasnya menanyakan
dialam kubur.
6.
Malaikat Nakir, tugasnya menanyakan
dialam kubur. Dikatakan bahwa malaikat munkar dan nakir menanyakan seseorang
yang beramal buruk ketika didunia. Dan malaikat yang menanyakan seseorang yang
beramal baik ketika di dunia adalah dua malaikat yang bernama Basyar dan
Mubasyir.
7.
Malaikat Roqib, tugasnya mencatat amal
baik seseorang.
8.
Malaikat ‘Atid, tugasnya mencatat amal
buruk seseorang.
9.
Malaikat Malik, tugasnya sebagai penjaga
pintu neraka.
10.
Malaikat Ridwan, tugasnya sebagai
penjaga pintu surga.
Beriman kepada Kitab Kitab Allah
Beriman kepada kitab kitab Allah yaitu membenarkan bahwa sesungguhnya kitab
kitab tesebut berasal dari Allah , yang mana Allah telah menurunkannya akan
sebagian para Rosul-Nya.
Adapun jumlah kitab kitab Allah itu ada 104 kitab, 50 kitab diturunkan kepada
Nabi Syits, 30 kitab kepada Nabi Idris, 10 kitab kepada Nabi Ibrohim, 10 kitab
kepada nabi Musa sebelum taurat. Dan wajib mengimani akan 4 kitab secara rinci yaitu :
·
Kitab Taurat diberikan kepada Nabi Musa
·
Kitab Injil diberikan kepada Nabi ‘Isa
·
Kitab Zabur diberikan kepada Nabi Daud
·
Kitab Al Quran diberikan kepada Nabi
Muhammad
Beriman kepada Para Rosul
Beriman kepada Para Rosul yaitu membenarkan bahwasanya
Allah mengutus para Rosul kepada makhluq untuk
memberikan petunjuk dan menyempurnakan akhlaq mereka. Dan bahwasanya Para Rosul
tersifati oleh sifat sifat yang wajib baginya.
Adapun Rosul yang pertama kali diutus oleh Allah yaitu Nabi Adam as dan yang paling
terakhir diutus yaitu Nabi Muhammad saw. Dan dikatakan pada suatu hadits bahwa
jumlah para Nabi itu 124.000 Nabi, dan jumlah para Rosul itu 313 Rosul.
Sedangkan yang mu’tamad adalah tidak membatasi akan berapa banyaknya jumlah
para Nabi dan Rosul, sebab hanya Allah yang mengetahuinya.
Adapun jumlah para Nabi dan Rosul yang wajib diimani
secara tafsiloleh seorang mukallaf yaitu ada 25 Nabi dan Rosul yaitu :
1.
Nabi Adam 11. Nabi yusuf 21. Nabi
Yunus
2.
Nabi Idris 12. Nabi Ayyub 22. Nabi
Zakariya
3.
Nabi Nuh 13. Nabi Syua'ib 23. Nabi
Yahya
4.
Nabi Hud 14. Nabi Harun 24. Nabi
‘Isa
5.
Nabi Sholih 15. Nabi Musa 25.NabiMuhammad
6.
Nabi Ibrohim 16. Nabi Ilyasa'
7.
Nabi Luth 17. Nabi Dzulkifli
8.
Nabi Ismail 18. Nabi Dawud
9.
Nabi Ishaq 19. Nabi Sulaiman
10.
Nabi Ya'qub 20. Nabi Ilyas
Beriman kepada Hari Akhir
Beriman kepada hari akhir (hari kiamat) yaitu; meyakini
serta membenarkan bahwasanya akan datang suatu hari, yang mana hari tersebut
adalah hari akhir, yang tidak bisa dibedakan mana siang dan mana malam, yang
mana akan terjadi proses untuk mencapai kehdupan yang abadi di akhirat nanti
antara surga dan neraka.
Beriman kepada Qodar Allah
Beriman kepada Qodar yaitu membenarkan bahwasanya Allah mentaqdirkan akan kebaikan dan keburukan pada
suatu zaman, yang
mana makhluq belum diciptakan, yang disebut dengan zaman Azali. Maka tidak akan
terjadi suatu kebaikan atau keburukan, manfa’at atau madhorot, tanpa Qodo’
(ketentuan) dan Qodar (kepastian) Allah.
Ta’rif Islam
اَلْإِسْلاَمُ
هُوَ اْلإِمْتِثَالُ وَ َاْلإِنْقِيَادُ لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“ Islam yaitu mengamalkan dan tunduk terhadap apa saja (ajaran
ajaran) yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw dari pada hukum hukum syara’ ”
Islam
adalah agama yang diterima dan diridhoi disisi Allah, yang mana Dia telah
memilihnya untuk hamba hamba pilihan-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat
Ali Imron ayat 19 :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الإسْلامُ (١٩)
“ Sesungguhnya agama yang (diterima/diridhoi) disisi Allah I itu adalah islam “
Allah
tidak ridho akan agama selain islam dan tidak akan menerima agama selain islam.
Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 85 :
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ (٨٥)
“ Barang siapa yang mencari agama selain agama islam, maka
sekali kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat
termasuk orang orang yang merugi “
Orang
orang yang memeluk agama selain islam atau orang kafir, mereka di akhirat nanti
termasuk orang orang yang paling merugi, karena amal amal mereka sia sia sebab
tidak diterima oleh Allah I,
dan mereka menyangka bahwa mereka seolah olah beramal yang sebaik baiknya,
padahal amalnya tidak ada apa apanya disisi Allah .
Sebagaimana Allah
berfirman dalam surat Al Kahfi ayat 103 :
قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (١٠٤)أُولَئِكَ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا
نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (١٠٥)ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا
كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (١٠٦)
“
Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang Telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang Telah kufur
terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia,
Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian
bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka
Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan
ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.
Dan
bisa juga pengertian Islam sesuai dengan hadits Rosulullah yaitu :
اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ,
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمَ الصَّلاَةِ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ,
وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
“ Islam yaitu bahwasanya kamu bersaksi bahwa tiada tuhan
yang wajib disembah dengan haq selain Allah Idan bahwasanya Muhammadr itu utusan AllahI, kemudian dirikanlah sholat,
tunaikanlah zakat, puasalah pada bulan romadhon, dan tunaikanlah ibadah haji
apabila kamu mampu menjalankannya “
Hadits tersebut merupakan rukun islam (Dasar dasar islam)
yang jumlahnya ada 5 sebagaimana Rosulullah
bersabda :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ,
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ, وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةَ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ,
وَحَجُّ الْبَيْتِ
“ Islam didirikan
atas lima perkara : 1). Bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib disembah dengan
haq selain AllahI dan bahwasanya Muhammadr itu utusan AllahI, 2). Mendirikan sholat, 3). Menunaikan
zakat, 4). Berpuasa pada bulan romadhon, 5). Menunaikan ibadah haji “
Adapun Rukun Islam yang 5 itu saling
terkait satu sama lain, karena apabila seseorang mengamalkan sebagiannya, maka tidak
diterima amal yang sebagian itu, karena
wajib melaksanakan seluruhnya.
Apabila seseorang meninggalkan salah satu dari rukun islam,
serta mengingkari akan kewajibannya, maka ia telah kufur. Barang siapa
meninggalkan selain syahadat, serta ia tidak mengingkari kewajibannya maka ia
termasuk fasiq, dan barang siapa melaksanakan seluruh rukun islam tersebut maka
sempurnalah imannya.
Ta’rif Ihsan
اَلإِحْسَانُ
هُوَ إِتْقَانُ الْعِبَادَاتِ وَأَدَاؤُهَا عَلىَ وَجْهِهَا اَلْمَأْمُوْرِ مِنَ
الْخُشُوْعِ وَالْخُضُوْعِ وَاْلإِخْلاَصِ
وَالْحُضُوْرِ
“ Ihsan yaitu kepastian ibadah dan
melaksanakannya sesuai dengan jalan yang telah diperintahkan (oleh Syara’) dari
pada khusyu’ (konsentrasi), khudhu’ (merendahkan diri dihadapan Allah ),
Ikhlash (semata mata karena Allah ) dan Hudhur (menghadirkan hati kita bahwa
kita sedang menghadap Allah I dan mempunyai perasaan bahwa hati dan diri kita selalu di
awasi oleh Allah ) “
Ihsan adalah kita beribadah kepada AllahI dengan penuh konsentrasi dan memahami
terhadap apa yang kita baca, menghadirkan dan merendahkan diri kita
dihadapannya, dengan menyadari bahwa kita tidak mempunyai daya dan upaya apapun
untuk melakukan tho’at kepada-Nya, serta melakukan ibadah semata mata
karena-Nya, mengharapkan ridho dan kasih sayang-Nya. dan meyakini
bahwa segala puji adalah milik-Nya. Kita sebagai makhluq tidak pantas untuk
di puji dan tidak pantas untuk membanggakan diri, karena semua adalah
milik-Nya, yang merupakan karunia yang telah Dia berikan kepada kita dan kita
harus senantiasa bersyukur atas karunia-Nya itu.
Maka dapat diketahui bahwasanya Iman adalah
sesuatu yang wajib diketahui dan diyakinkan dalam i’tiqod (keyakinan) seseorang
untuk berma’rifat kepada Allah I dan Rosul-Nya r, yang dibahas oleh Ulama didalam ilmu
tauhid. Sedangkan Islam adalah sesuatu yang diwajibkan kepada seorang
hamba didalam lahiriyyahnya dari pada hukum hukum syari’at, yang dibahas oleh
para Ulama didalam ilmu fiqih, Dan Ihsan adalah sesuatu yang diwajibkan
kepada hamba didalam bathiniyahnya dari pada gerak gerik hati, yang mana
dibahas dalam ilmu tashowuf. Kita wajib mengkaji ketiga ilmu tersebut, sebab
saling berkaitan satu sama lainnya dan kita diperintahkan oleh Rosulullahr untuk menuntut ilmu. Sebagaimana
sabdanya yang sudah masyhur dikalangan muslimin:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ
مُسْلِمٍ
“ Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (baik laki laki
maupun perempuan) “
Apabila kita mengaku diri kita sebagai
muslim, maka menuntut ilmu itu suatu kewajiban bagi kita, dengan resiko apabila
kita meninggalkan menuntut ilmu, kita akan berdosa. Adapun ilmu yang
wajib kita tuntut dan kita pahami itu adalah ilmu hal, ya’ni ilmu yang
sangat dibutuhkan untuk kehidupan kita. Seperti ilmu tauhid, itu sangat penting
bagi kita, karena menyangkut aqidah kita, maka kita wajib menuntut ilmu tauhid
yang sesuai, kuat dan benar menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah, supaya tidak
didatangi oleh aqidah-aqidah yang bathil.
Kemudian seperti ilmu fiqh, itu wajib kita pelajari, karena bersangkutan dengan ibadah kita kepada AllahI dan mu’amalah kita dengan sesama
makhluq. Seperti bagaimana cara berwudhu yang benar, cara sholat, zakat, puasa,
ibadah haji dan ibadah lainnya yang dibenarkan oleh syara’. Maka wajib bagi
kita menuntut ilmu fiqh tersebut.
Selanjutnya ilmu tashowuf, itu wajib kita pelajari,
karena bersangkutan dengan hati kita. Apabila kita mengaku bertauhid dan paham
akan ilmu fiqh, tapi hati kita dalam beribadah selalu ada perasaan ingin dipuji
orang (riya’), bangga terhadap apa yang kita miliki dan kita lakukan (‘ujub),
merasa paling benar dan hebat dari pada yang lain (takabbur), iri jika melihat
orang lain lebih dari kita (hasud), dan lain sebagainya dari pada penyakit
penyakit hati, maka sia sia lah ibadah kita, karena ibadah dan apa apa yang
kita lakukan bukan karena Allah I semata. Naudzu billah..! maka wajib
bagi kita mempelajari ilmu tashowuf serta mengamalkannya.
Ketiga ilmu tersebut sangat berkaitan dan wajib kita
ketahui untuk mensahkan aqidah (keyakinan) kita, tho’at (ibadah) kita dan untuk
membersihkan hati kita dari pada sifat sifat yang tercela. Sebagaimana Syaikh
Zainuddin Al Malibari dalam kitabnya Hidayatul Adzkiyaa :
وَتَعَلَّمَنْ عِلْمًا يُصَحِّحُ طَاعَةً * وَعَقِيْدَةً
وَمُزَكِّى الْقَلْبَ أُصْقُلاَ
“ Dan tuntutlah ilmu yang mensahkan akan
thoat, aqidah dan ilmu yang membersihkan hati. Bersihkanlah olehmu (akan
hatimu) “
Apabila
kita ingin ibadah kita diterima oleh Allah I
dan kita ingin mengharapkan keridhoan Allah I,
maka tuntutlah ketiga ilmu tersebut, karena saling berkaitan satu sama lainnya,
dan merupakan fardhu A’in hukumnya. Adapun ilmu yang lainnya pun itu harus kita
pelajari, karena memang penting untuk kehidupan kita dan merupakan fardhu
kifayah hukumnya.
Apabila
seseorang beribadah atau beramal tanpa dibarengi dengan ilmunya maka khawatir
amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah I.
Sebagaimana Syaikh Ibnu Ruslan melantunkan syair dalam kitab Matan Zubadnya :
فَكُلُّ مَنْ
بِغَيْرِعِلْمٍ يَعْمَلُ * أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لاَ تُقْبَلُ
“ Setiap orang yang beramal tanpa
dibarengi dengan ilmunya, maka amalnya itu (khawatir) ditolak /tidak di terima”
Sebagai
contoh, apabila seseorang melamar kerja ke suatu perusahaan yang membutuhkan
seorang ahli dalam bidang komputer misalnya, sedangkan dia tidak mengetahui
secara banyak tentang ilmu yang bersangkutan dengan komputer, tapi dia nekad
untuk melamar kerja ke perusahaan tersebut karena butuh mata pencahariaan,
apakah dia akan diterima sebagai karyawan di perusahaan tersebut ? jawabannya ;
kemungkinan besar tidak akan diterima, karena perusahaan tersebut tidak
membutuhkan selain dari pada ahli komputer yang mahir.
Maka
penulis mengingatkan pada diri sendiri khususnya, dan pada saudara-saudara
penulis yang muslim, marilah kita menuntut ilmu dengan sungguh sungguh serta
mengamalkannya dengan ikhlas, karena percuma saja kita menuntut ilmu hanya
sekedar pengetahuan saja tanpa mengamalkannya. Dan sesungguhnya Allah I akan mela’nat dan akan menyiksa dua kali lipat dari pada
orang yang bodoh apabila seseorang mengetahui ilmunya tapi tidak mengamalkannya,
karena dosa dari akibat tidak mengamalkannya dan dari akibat mengetahuinya.
Na'udzu billahi min dzalik…!
Sedangkan
orang yang bodoh, dia tidak beramal karena memang ia tidak mengetahuinya. Tapi jangan sampai kita ingin
menjadi orang bodoh, karena yaqin kita semua pasti menginginkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, maka tuntutlah ilmu dan amalkanlah dengan ikhlas, jangan
sekedar jadi hiasan saja, niatkanlah untuk mendapatkan keridhoan dan kasih
sayang Allah I, serta untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Jangan
sampai terlintas di hati kita apabila kita menuntut ilmu agama kita tidak akan
mendapatkan rizqi, sebagaimana kebanyakan orang menganggap demikian. Kebanyakan
orang menuntut ilmu hanya sekedar untuk mencari dunia atau kerja. Hal ini
adalah pemahaman yang salah. Carilah ilmu untuk semata mata karena Allah I, karena di perintah oleh Allah dan Rosul-Nya, dan niatkanlah untuk
mensyi'arkan agama islam.
Memang
bukan hal yang salah apabila kita bekerja untuk mencari rizqi, karena memang
kita diperintahkan untuk kasab (usaha) dan suatu kewajiban bagi kita untuk
memberikan nafkah pada keluarga kita. Tapi jangan sampai kita lalai terhadap
aturan turan Allah hanya gara gara
mencari dunia, karena nafsu kita tidak akan ada puasnya terhadap dunia, apabila
kita tidak bisa mengendalikannya.
Maka
jangan heran apabila kita bekerja dan usaha banting tulang tapi hasilnya tidak
memuaskan, karena kurangnya ketaqwaan kita kepada Allah, dan kita lebih
mengutamakan mencari dunia dari pada melaksanakan perintah Allah. Yaqinlah
bahwasanya Allah akan mengutamakan kita
dan memberikan hal yang terbaik bagi
kita apabila kita lebih mengutamakan perintah-Nya. Dan Allah tidak akan mengutamakan kita dan tidak akan
memberikan hal terbaik bagi kita apabila kita lebih mengutamakan selain-Nya.
Adapun
tujuan dasar kerja menurut islam itu ada 3 :
a. Mencukupi kebutuhan hidup diri dan
keluarga, apabila kebutuhan diri dan keluarga sudah tercukupi dengan baik, maka
dengan begitu akan mengurangi dorongan untuk meminta minta atau dorongan untuk
melakukan hal hal yang dapat menjerumuskan diri pada tindakan yang tidak
terpuji.
b. Untuk memberikan kemaslahatan atau
kesejahteraan pada masyarakat luas, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau pada tujuan pertama mungkin seseorang mudah mengatasi, hasil kerja itu
tidak sebatas untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi harus ada yang
digunakan untuk mengembangkan kemaslahatan umum.
c. Untuk meningkatkan mutu pengabdian dan
ketaatan kepada Allah, atau dalam bahasa sederhananya untuk meningkatkan
kualitas ibadah. Misalnya bekerja agar bisa menunaikan ibadah haji, shodaqoh,
menjadi donatur pembangunan masjid atau sarana agama, dan lain lain.
Oleh
karena itu Marilah kita berusaha meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya, agar kita mendapatkan ridho dan kasih sayang-Nya.
Apabila Allah sudah ridho kepada kita,
pasti Allah akan mengabulkan apa yang
kita inginkan, kehidupan kita akan terasa mudah dan selalu diberikan jalan
keluar/solusinya apabila kita mempunyai masalah. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Tholaq ayat 2-3 :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ
لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ
شَيْءٍ قَدْرًا (٣)
“ Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar.Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah , niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah
Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
Perlu diketahui, bahwa Taqwa tidak akan bisa
dihasilkan tanpa dibarengi dengan ilmu, karena mengerjakan perintah perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya itu bisa
dilaksanakan apabila kita mengetahui apa saja yang diperintahkan dan apa saja
yang dilarang oleh Allah bagi kita. Maka
oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk terus menuntut ilmu demi
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
S G
Tidak ada komentar:
Posting Komentar