Selasa, 19 Mei 2020

Jalan kebenaran itu bernama tauhid I


BAB I
AQOID IMAN

Ta’rif Aqoid Iman
عَقَائِدُ اْلإِيْمَانِ هِيَ اَلْعَقَائِدُ الَّتِى تَتَعَلَّقُ بِإِيْمَانِ الْمَرْءِ إِلىَ الْخَالِقِ وَرُسُلِهِ وَمَا أَوْجَبَ إِلَيْهِ الشَّرْعُ
Aqoid Iman yaitu keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan Iman (kepercayaan) seseorang kepada sang pencipta dan para Rosul-Nya, serta kepada perkara yang diwajibkan oleh Syara’/agama islam (Allah dan Rosul-Nya) atasnya “

Mabadi (Dasar-Dasar) Ilmu Tauhid
Bagi seseorang yang akan mempelajari suatu ilmu, maka harus mengetahui mabadi yang sepuluh dalam disiplin ilmu tersebut. Faidahnya agar timbul rasa semangat dalam mempelajarinya, dan mempunyai gambaran tentang apa saja yang akan dibahas nanti dalam disiplin ilmu tersebut.

Sebagaimana perkataan sebagian ulama:
إِنَّ مَبَـــــادِى كُـــــــلِّ فَنّ ٍعَشْـــرَةٌ*الْحَــــــــدُّ وَالْمَـــــوْضُــــــــوْعُ ثُمَّ الثَّــــــــمْرَةُ
وَفَضْـــــــــلُهُ وَنِسْبـــَةٌ وَالْوَاضِــــــــــــعُ*واُلإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُحُكْمُ الشَّارِعُ
مَسَائِلٌ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْــضِ اكْتَفَى*وَمَـــــــــنْ دَرَى الْجَمِـــــــيْــعَ حَازَالشَّــــرَفَا
     "Sesungguhnya dasar dasar seluruh disiplin ilmu itu ada sepuluh : 1). definisi  2). sasaran 3). hasil/manfaat 4). Keutamaannya 5). hubungannya 6). yang mempunyai gagasannya 7). namanya 8). pengambilannya 9). hukum syara' 10). masalah masalahnya. dan cukup mengetahui sebagiannya. Barang siapa yang mengetahui semuanya maka pasti akan mendapatkan kemuliaan "
Adapun yang akan dibahas disini yaitu mengenai ilmu tauhid, maka harus mengetahui mabadi yang berkaitan dengan ilmu tauhid. Diantaranya :
1.       Ta'rif /Definisi (pengertian)
Definisi Ilmu Tauhid ada 3 macam :
a)     Menurut Lughot/Bahasa (Ethimologhi)
العِلْمُ  بِاَنَّ  الشَّيْئَ  وَاحِدٌ
" Mengetahui bahwa sesuatu itu adalah satu "
b)     Menurut Isthilah (Terminologhi)
عِلْمٌ يَقْتَدِرُبِهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مُكْتَسَبٌ مِنْ اَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ
"  Ilmu yang menetapkan aqidah agama islam yang diambil dari dalil dalil yang yaqin "
c)      Menurut Syar'i /Agama (Relighi)
اِفْرَادُ الْمَعْبُوْدِباِلْعِبَادَةِ مَعَ اعْتِقَادِ وَحْدَاتِهِ وَالتَّصْدِيْقِ بِهَا ذَاتًاوَصِفَاتًا وَاَفْعَالاً
"Mengesakan Allah yang disembah dalam ibadah serta mengi'tiqodkan esa-Nya, disertai pengakuan serta penerimaan esa-Nya di dalam dzat, sifat dan af'al-Nya "
Dari ketiga definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa manusia pada pokoknya ada yang bertauhid dan ada yang tidak bertauhid.
Adapun yang termasuk kepada kelompok yang bertauhid atau mu'min adalah :
a.                   Orang yang bertauhid dan mengesakan ibadahnya kepada Allah  adalah hatinya tidak memebenarkan adanya tuhan selain Allah .
b.                  Orang yang mengesakan ibadahnya kepada Allah  secara kebetulan dan dalam hatinya ia tidak memebenarkan adanya tuhan selain Allah, hanya saja ia berdosa karena tidak memepelajari ilmu tauhid.

Sedangkan yang termasuk kepada kelompok yang tidak berttauhid atau kafir adalah:
a.                   Orang yang berilmu tauhid tapi tidak mengesakan ibadahnya kepada Allah.
b.                  Orang yang mengesakan ibadahnya kepada Allah  serta berilmu tauhid, tetapi hatinya masih memebenarkan adanya tuhan selain Allah.
c.                   Orang yang beribadah kepada Allah  serta berilmu tauhid, tetapi hatinya tidak mengakui bahwa tuhan yang layak disembah itu adalah hanya  Allah.

Adapun macam macam kafir itu ada 4, yaitu :
Ø  Kafir inkar, ya'ni orang yang tidak mengenal Allah  sama sekali dan tidak mau mengakui-Nya
Ø  Kafir juhud, yakni orang yang mengenal Allah  dalam hatinya, namun tidak mau mengakui/mengikrarkannya dengan lidahnya. Seperti kufurnya iblis dan yahudi.
Ø  Kafir nifaq, yakni orang yang mau berikrar dengan lisan namun tidak memepercayai-Nya dalam hatinya.
Ø  Kafir 'inad, yakni orang yang mengenal Allah  dalam hatinya dan mengekuinya dengan lidahnya, namun tidak mau melaksanakan ajaran-Nya. Seperti Abi Thalib.  

2.       Maudhu (Sasaran)
Sasaran pembahasan ilmu tauhid adalah : Dzat Allah  (Aqoid Uluhiyyah), Dzat Rosul (Aqoid Nabawiyyah), Perkara yang mumkin adanya serta wajib diyakinkannya (Aqoid Sam'iyyah), dan perkara yang dipakai dalil adanya Allah .
3.       Tsamroh (Manfaat)
Manfaat yang didapat dari mempelajari ilmu tauhid adalah :
a.       Ma'rifat (mengenal) kepada Allah dan Rosul-Nya disertai dengan dalil dalil yang pasti.
b.       Bahagia diakhirat dengan abadi, ya'ni disurga, sekalipun telah mengalami siksa dahulu akibat berbuat dosa, tentunya setelah mendapatkan ampunan dari Allah.
Tempat kembali orang orang yang beriman adalah disurga.Sebagaimana firman Allah  dalam surat An Nisa ayat 57 :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلا ظَلِيلا (٥٧)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang Shaleh, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman “
Sedangkan tempat kembali orang orang kafir adalah dineraka. Sebagaimana Firman Allah  :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٣٩)
" Dan adapun orang orang kafir dan yang mendustakan   ayat ayat kami, mereka itu adalah penghuni neraka ; mereka kekal didalamnya "
Syaikh Zainuddin Al Malibari tdalam kitab Syu'bul iman mensya'irkan :
وَبِأَنَّ مَرْجِعَ مُسْلِمٍ لِجَنَانِهِ*وَبِأَنَّ مَرْجِعَ كَافِرٍلِجَهَنَّمُ
" Sesungguhnya tempat kembali orang orang   muslim (diakhirat kelak) adalah surga dan sesungguhnya tempat kembali orang orang kafir adalah neraka "
4.       Fadhlu (Keutamaan)
Keutamaan ilmu tauhid adalah ilmu termulia diantara seluruh ilmu, karena berkaitan dengan Dzat Allah dan Rosul-Nya
5.       Nisbat (Hubungan dengan ilmu yang lain)
            Hubungan ilmu Tauhid dengan ilmu lainnya yaitu ; ilmu tauhid merupakan dasar dan akar dari beberapa ilmu agama islam. Sedangkan ilmu lainnya merupakan cabang dari ilmu tauhid.
6.       Waadhi' (Yang mempunyai gagasan)
            Ilmu tauhid pada pokoknya adalah dari para Nabi dan Rosul,  berdasarkan dari wahyu Allah  yang diajarkan secara sistematis oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian disusun dan dibukukan pertama kali oleh Abu hasan Al Asy'ari beserta pengikutnya y dan oleh Abu Mansur Al Ma'thuridi beserta pengikutnya, yang dinamakan golongan An Naajiyyah atau golongan Ahli Sunnah Wal Jama'ah.
7.       Al Ismu (Nama ilmu Tauhid)
      Ilmu tauhid mempunyai beberapa nama yaitu :
·        Ilmu tauhid
·         Ilmu kalam
·         Ilmu Aqoid iman
·         Ilmu ushuluddin
·         Ilmu uluhiyyah

8.       Istimdad (Sumber Pengambilan/Referensi)
Sumber yang dipakai dalam ilmu tauhid adalah dalil Aqli (petunjuk akal) dan dalil naqli (petunjuk Al Quran dan Al hadits).
9.       Hukum Syara' (Islam)
      Hukum Syara' mewajibkan dengan wajib A'inkepada seluruh Mukallaf untuk mempelajari ilmu tauhid atau bertauhid, dengan resiko sah imannya, serta akan diberi pahala jika bertauhid dan tidak sah imannya, serta akan disiksa jika tidak bertauhid.
             Dikarenakan sasaran kewajiban mempelajari ilmu tauhid dan bertauhid adalah seluruh mukallaf dan bersifat individu, maka sekalipun orang kafir (asalkan mereka sehat akalnya) akan dimintakan pertanggung jawaban oleh Allah  secara individu pula tentang kewajiban mempelajari ilmu tauhid dan bertauhid. Sebagaimana firman Allah  :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)
" Wahai segenap manusia ! sembahlah (esakanlah) tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa "
10.   Masail (masalah masalah yang terkandung)
      Masalah masalah Yang terkandung dalam ilmu tauhid yaitu :
·            Bahasan yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Rosul-Nya.
·         Ta'rif akal serta hukum akal, ta'rif adat serta hukum adat dan ta'rif syara' serta hukum syara'.
·         Perkara perkara yang wajib diyakinkan oleh umat islam


BAB II
HUKUM

Ta'rif / pengertian Hukum
اَلْحُكْمُ هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍلِأَمْرٍ أَخَرَ أَوْنَفْيُهُ عَنْهُ
" Menetapkan (suatu) perkara kepada perkara (yang lain) atau menghilangkan (suatu) perkara dari perkara (yang lain) "
Dalam ilmu tauhid ini dicantumkan tentang hukum dan pembagiannya,  karena ilmu tauhid sangat berkaitan sekali dengan hukum.

Pembagian hukum
Hukum dilihat dari segi yang menetapkannya terbagi atas 3, yaitu :
1.       Hukum Syara' yang ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya
a.       Ta'rif Syara'
وَضْعٌ إِلَهِيٌّ سَائِقٌ لِذَوِى الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ بِاخْتِيَارِهِمْ المْحْمُوْدِ إِلَى مَا يَصْلُحُ  مَعَادَهُمْ وَ مَعَاشِهِمْ هُوَخَيْرٌلَهُمْ بِالذَّاتِ
" Ketetapan Allah yang ditujukan untuk yang mempunyai akal yang sehat dengan pilihannya yang terpuji untuk kebaikan / kesejahteraan yang sejati bagi mereka "

Materi  وَضْعٌ إِلَهِيٌّ (Penetapan Allah) itu menunjukan bahwa selain Allah  dan Rosul-Nya tidak boleh interfensi (ikut campur) dalam penetapan hukum syara’.
Materi سَائِقٌ لِذَوِى الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ itu menunjukan bahwa syara’ itu ditujukan kepada mereka yang berakal sehat, berarti yang tidak mempunyai akal sehat tidak menjadi sasaran hukum syara’, seperti : Jamadat, Nabatat, Hayawanat, orang gila dan orang mabuk, karena mereka tidak berakal sehat.
Materi بِاخْتِيَارِهِمْ المْحْمُوْد itu menunjukan bahwa syara’ itu ditujukan kepada mereka dengan pilihannya sendiri yang baik dan terpuji, berarti tidak termasuk orang yang dipaksa dan Mulja Alaih (yang tidak menguasai dirinya)-seperti orang yang jatuh ketika sedang melayang di udara.
Materi إِلَى مَا يَصْلُحُ  مَعَادَهُمْ وَ مَعَاشِهِمْ هُوَخَيْرٌلَهُمْ بِالذَّاتِ itu menunjukan bahwa sarana hukum syara’ itu memberikan petunjuk kepada orang yang berakal sehat untuk mencapai dzatiyah (haqiqat) kebaikan di dunia dan akhirat.

Adapun sarana kebaikan di dunia itu itu antara lain 
1)        Menjamin kebutuhan akal, sebab inti kemuliaan manusia adalah akalnya. Maka dalam hal ini islam mengharamkan setiap sesuatu yang memabukkan dan merugikan. Seperti minuman keras, narkotika, berjudi dan lain sebagainya yang dapat merusak akal. Sebagaimana firman Allah  :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
“ Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
2)        Menjamin keselamatan tubuh manusia, oleh karena itu Allah  melarang melakukan hal hal yang dapat merusak kesehatan tubuh manusia, bahkan mewajibkan dengan hukum fardhu kifayah untuk mengadakan ahli kesehatan disetiap perkampungan (puskesmas). Dan didalam hukum islam diadakannya hukum jinayat itu untuk menjamin  kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah  :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٤٥)
“ Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim “

3)        Menjamin kesucian keturunan manusia, dikarenakan Kehidupan umat manusia itu dipengaruhi dengan stabilnya kehidupan rumah tangga, dan faktor hubungan kefamilian menentukan nilai seseorang, maka islam menjamin keutuhan rumah tangga dengan diharamkannya perzinahan, penyelewengan dari ketertiban, dan diselenggarakan pula peraturan peraturan tentang pernikahan guna tercapainya keutuhan rumah tangga yang harmonis. Sebagaimana firman Allah  dalam surat Ar Rum ayat 21 :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir

4)        Menjamin keutuhan hak milik manusia, oleh karena itulah islam menyelenggarakan bab yang mengatur tentang Mu’amalah dan Warisan.
Firman Allah  dalam surat Al Baqoroh ayat 275 :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (٢٧٥)
 “ Dan Allah  Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Dan Firman Allah  dalam surat An Nisa ayat 11 :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
 “ Allah  mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah  Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

5)        Menjamin kehormatan manusia, dikarenakan kehormatan manusia itu sangat penting, maka islam mengharamkan Qodzaf (menuduh zina), sabbu (mencaci maki orang lain), ghibah (menceritakan kejelekan orang lain dihadapan yang lainnya), dan penghinaan lainnya. Sebagaimana firman Allah  dalam surat Al Hujurot ayat 11-12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (١٢)
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim “
  Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah  Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

6)        Menghidupkan sosial (kegotong royongan), dikarenakan pentingnya kehidupan sosial dalam bermasyarakat, maka islam mewajibkan zakat dan menganjurkan shodaqoh, hibbah, wakaf dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah  dalam surat Al dalam surat Al Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٢)
 “ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah  amat berat siksa-Nya “

7)        Menjamin keutuhan persaudaraan, dikarenakan pentingnya persaudaraan maka islam melarang hiqdu (dendam), ghodob (marah), hasud (benci akan keni’matan orang lain dan mengharapkan hilangnya keni’matan tersebut) dan sifat sifat yang buruk lainnya. Serta islam mengajarkan kasih sayang diantara sesama, saling mencintai dan sifat sifat yang terpuji lainnya. karena kita sebagai umat islam itu bersaudara dan harus berdamai satu sama lain, jangan sampai ada diantara kita pertengkaran yang menyebabkan retaknya persaudaraan kita hanya karena beda aliran, beda golongan, beda partai dan lain lain. Sebagaimana Allah  menjelaskannya tentang bagaimana kewajiban kita sebagai orang muslim dan orang mu'min dalam surat Al Hujurot ayat 10 :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)

“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat “

Jika kita berbeda golongan atau aliran janganlah saling membenci, saling menghina apalagi mencaci maki, hanya karena berbeda pendapat atau pemahaman, tetapi lihat serta renungkanlah bahwa kita ini adalah sesama muslim. Janganlah jadikan perbedaan itu sebagai suatu perpecahan dan pertikaian antara umat islam, tapi jadikanlah perbedaan itu untuk bisa saling menghargai satu sama lain. Janganlah merasa bahwa diri kita ini paling benar dan paling baik, karena kebenaran yang muthlaq itu hakikatnya adalah dari Allah, dan kemuliaan seseorang itu dinilai dari bagaimana tingkat ketaqwaannya kepada sang pencipta. Sebagaimana Allah  berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 11-12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (١٢)
"  Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Kita sebagai umat islam boleh mengadakan hubungan dengan siapa saja, walaupun dengan yang bukan islam, entah itu kristen, budha, hindu katholik, atheis apalagi dengan islam. Karena islam adalah rohmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh 'alam atau makhluq. Islam sangat melarang sifat benci, menghasut, dan sikap-sikap ekstrim lainnya. Islam itu artinya damai atau keselamatan, jadi agama islam itu adalah agama yang memberikan keselamatan dan kedamaian bagi seluruh makhluq di muka bumi ini.
Seorang kiyai boleh pergi ke masjid dengan menumpang mobilnya pendeta atau pastur tetangganya. Si pendeta atau pastur boleh meminjam baju pak ustadz atau pak kiyai. Yang tidak boleh dipertukarkan itu hanya dua, yaitu tukar keyakinan dan tukar isteri.
Kita diciptakan oleh Allah dari berlainan jenis, berlainan, bangsa, suku atau budaya itu untuk saling mengenal, saling berhubungan satu sama lain, tentunya tidak terlepas dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh islam. Namun orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya. Sebagaimana Allah  berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
" Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal "

8)      Menjamin keselamatan hewan, untuk jaminannya hukum syara’ melarang menganiaya hewan secara keji, seperti dibakar hidup hidup, dikurung dengan tanpa diberi makan dan minum, dipekerjakan diluar kemampuannya dan disembelih tanpa melalui penyembelihan yang sah. Firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat 205 menjelaskan :
وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ (٢٠٥)
    Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan “
Dan Rosulullah  melarang untuk menyiksa hewan sebagaimana sabdanya dalam kitab Sulamut Taufiq yang diriwayatkan oleh Imam Bukhory :
إِيَّاكُمْ وَالْمُثْلَةَ وَلَوْ بِالْكَلْبِ الْعَقُوْرِ
Takutlah kamu akan penyiksaan hewan walaupun pada anjing yang buas “ (HR. Bukhori)
9)        Menjamin kepentingan umum, untuk jaminannya hukum syara’ melarang merusak kepentingan umum yang sedang dalam keadaan aman dan lestari. Seperti mengganggu kelestarian air, menebang pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan dan kepentingan kepentingan umum lainnya.
Peraturan peraturan yang menjadi sarana hidup di dunia tersebut dilindungi oleh hukum syara’, sehingga apabila orang menta’atinya ia diberikan garansi masuk surga dan apabila melanggarnya maka ia diberikan garansi masuk neraka.
Sedangkan sarana kebaikan untuk di akhirat nanti yaitu seseorang akan mendapat jaminan masuk surga apabila ia beriman kepada Allah dan menta’ati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.

b.      Ta'rif Hukum Syara'
اِثْبَاتُ اَمْرٍلِأَمْرٍأَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ الْوَضْعِ الْوَاضِعِ وَهُوَخِطَابُ اللهِ تَعَالَى  الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِالْمُكُلِّفِيْنَ بِالطَّلَبِ أَوِالْإِبَاحَةِ أَوِ الْوَضْعِ لَهُمَا
  "  Menetapkan suatu perkara kepada perkara yang lainnya atau menghilangkan suatu perkara dari perkara yang lainnya, dengan melalui ketetapan yang menetapkan, yaitu frman Allah  yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf, yang berupa perintah, larangan, anjuran atau tata cara pelaksanaan perintah dan  larangan tersebut "
Materi اِثْبَاتُ اَمْرٍلِأَمْرٍأَوْ نَفْيُهُ عَنْهُ  adalah materi yang mempersamakan antara hukum syara', hukum akal dan hukum adat.
Materi  بِوَاسِطَةِ الْوَضْعِ الْوَاضِعِ adalah materi yang memebedakan antara hukum syara' dengan hukum lainnya, karena hukum akal tidak ditangguhkan kepada adanya yang menetapkan, begitu juga hukum adat ditetapkannya tidak karena ada yang menetapkan, melainkan karena hasil peneyelidikan dari sering terjadi.
Materi  وَهُوَخِطَابُ اللهِ تَعَالَى adalah penjelasan dari materi بِوَاسِطَةِ الْوَضْعِ الْوَاضِعِ ya'ni bahwa yang menetapkannya adalah firman Allah I baik langsung dari Al Quran ataupun melalui sabda Rosul-Nya (Al Hadits).

Adapun khitobullah yang menjadi hukum syara' itu terbagi kepada dua bagian :
Ø  Khitob Taklif, yaitu khitobullah yang berisikan tugas pokok
Ø  Khitob Wadho', yaitu khitob yang berisikan aturan dan petunjuk pelaksanaan khithob taklif.

Adapun Khitob taklif mencakup lima hukum, yaitu :
·      Wajib, yaitu perintah yang pasti harus dikerjakan. Apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan maka akan berdosa. Seperti wajibnya ma'rifat, wajibnya sholat lima waktu, dan lain sebagainya.
·      Sunnah, yaitu perintah yang tidak pasti harus dikerjakan. Apabila tidak dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa. Seperti sholat sunah tahajjud, sholat dhuha, sholat rowatib dan lainnya.
·      Jaiz, yaitu perintah yang boleh dikerjakan atau tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan juga tidak berdosa. Kecuali apabila mengerjakannya itu diniatkan ibadah, maka akan mendapatkan pahala. Seperti makan supaya kuat dalam beribadah.
·      Haram, yaitu larangan yang pasti harus ditinggalkan. Apabila dikerjakan berdosa dan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti haramnya berzina, mencuri dan lain sebagainya 
·      Makruh, yaitu larangan yang tidak pasti harus ditinggalkan. Apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti makruhnya melihat farji (kemaluan) sang isteri, memakan sesuatu yang dapat menimbulkan bau mulut, dan lainnya.

Sedangkan Khitob Wadho' terbagi lima bagian, yaitu :
·      Sabab, yaitu sandaran hukum yang pasti, apabila tidak adanya sebab maka tidak ada pula yang disebabkannya (musabbab), dan apabila adanya sabab maka adapula yang disebabkannya. Seperti apabila tergelincir/bergesernya matahari kesebelah barat (sabab), maka menjadi sebab kepada wajibnya sholat dzuhur (musabbab)
·      Syarat, yaitu sesuatu yang harus selalu ada dalam satu perintah. Seperti wudhu adalah merupakan salah satu syarat sahnya sholat. Apabila tidak berwudhu maka tidak sah sholatnya.
·      Shohih, yaitu kumpulnya syarat dan rukun serta tidak adanya yang membatalkan suatu perintah. Seperti sahnya sholat apabila terpenuhi syarat dan rukunnya serta tercegah dari yang membatalkannya.
·      Bathal atau Fasid, yaitu perkara yang menggagalkan sahnya suatu perintah. Seperti bathalnya wudhu karena keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur.
·      Mani', yaitu suatu perkara yang menghalangi suatu hukum. Seperti haidh menghalangi kepada wajibnya sholat bagi wanita.

Materi kata اَلْمُتَعَلِّقِ بِأَفْعَالِ الْمُكُلِّفِيْنَ بِالطَّلَبِ أَوِالْإِبَاحَةِ أَوِ الْوَضْعِ لَهُمَا menjelaskan bahwa yang dikhitobi oleh hukum syara' adalah yang bertalian dengan amal perbuatannya manusia yang sudah baligh dan berakal sehat. Dan isinya menuntut untuk dikerjakan, baik yang berupa perintah, larangan atau anjuran. Jadi firman Allah I yang tidak ada hubungannya dengan amal perbuatan mukallaf itu tidak bisa disebut hukum syara'. Seperti ayat ayat yang menerangkan tentang penciptaan langit dan bumi, penciptaan manusia, kisah kisah para Nabi dan sebagainya. 

2.       Hukum Akal ditetapkan oleh Akal

a.    Ta'rif Akal
نُوْرٌ لَطِيْفٌ رُوْحَانِىٌّ تُدْرِكُ بِهِ  النَّفْسُ  الْمَعْلُوْمَ  الضَّرُوْرِيَّةَ  وَ النَّظَرِيَّةَ  وَ مَحَلُّهُ الْقَلْبُ وَنُوْرُهُ  فِى الدِّمَاغِ وَابْتِدَائُهُ  مِنْ حِيْنَ نَفْخِ الرُّوْحِ فِى الْجَنِيْنِ وَأَوَّلُ كَمَالِهِ الْبُلُوْغُ
" Sinar latif rohani yang dapat menemukan pengetahuan yang tidak membutuhkan pemikiran (mudah diketahui), maupun yang membutuhkan pemikiran, tempatnya adalah hati dan pancarannya ada diotak, pertama kali adanya akal adalah ketika ruh manusia ditiupkan (malaikat jibril) kedalam janin (kandungan ibunya) dan mulai sempurnanya akal ketika ia baligh "

Sinar latif disini adalah sinar latif robbany, yakni sinar Ghaib yang tidak ada yang dapat melihatnya kecuali Allah, karena sinar akal bukanlah sinar yang dapat dilihat oleh mata, dan bukan pula sinar ghaib seperti :
·           Sinar hati yang berkaitan dengan asmara (syahwati)
·           Sinar hati yang menjurus kepada keduniaan
·           Sinar nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan
·           Sinar pancaran syaithon yang merusak jiwa

b.   Ta'rif Hukum Akal
اْثبَاتُ اَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نًفْيُهُ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تِكْرَارِ وَلاَ وَضْعِ وَاضِعٍ اَيْ وَلاَ إِسْتِنَادٍ إِلَى الشَّرْعِ
" Menetapkan suatu perkara kepada perkara yang lainnya atau menghilangkan suatu perkara dari perkara yang lainnya serta tidak menunggu hasil penganalisaan (sering terjadi) dan tidak menunggu atas penetapan Syara' "
Materi مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تِكْرَارِ adalah mengeluarkan ketetapan hukum adat, karena ketetapan adat adalah berdasarkan serng terjadi.
Materi وَلاَوَضْعِ وَاضِعٍ adalah mengeluarkan ketetapan hukum syara. Karena ketetapan hukum syara' ditangguhkan kepada adanya ketetapan dari Allah I dan Rosul-Nya. Sedangkan yang ditetapkan oleh hukum akal adalah proses yang sebelum umat manusia diciptakan, para Rosul diutus dan bahkan sebelum alam ini diciptakan. Jadi proses ketetapan hukum akal ini jelas tidak ditangguhkan kepada ada atau tidak adanya akal, karena sebelum akal diciptakan, ketetapan hukum akal sudah ada. Contoh ketetapan hukum akal seperti "adanya Allah " dalilnya adalah adanya ciptaanya, yaitu alam semesta berserta isinya, tidak mungkin adanya alam semesta ini dengan sendirinya, tanpa ada yang menciptakannya, dan yang menciptakan haruslah berbeda dengan apa yang diciptakannya.

c.       Pembagian Akal
Akal terbagi kepada 2 bagian :
1). Akal Ghorizi/Iktisabi, yaitu akal yang mempunyai daya kemampuan untuk berma'rifat kepada Allah  dan RosulNya.
2). Akal Thobi'I, yaitu akal yang mempunyai daya kemampuan untuk menghasilkan tujuannya tetapi tidak mampu untuk berma'rifat kepada Allah.
Apabila seseorang yang memiliki akal ghorizi tidak menggunakan akalnya untuk berfikir sampai iman kepada Allah, maka jatuhlah martabat dan posisinya dihadapan Allah  menjadi lebih rendah dari pada hewan yang hanya mempunyai akal thobi'i.

3.       Hukum Adat ditetapkan oleh adat/kebiasaan
a.      Ta'rif Adat
إِتِّصَالُ عِنْدَ ارْتِبَاطِ السَّبَبِ وَالْمُسَبَّبِ بِالتَّكَرُّرِمَعَ صِحَّةِ تَخَالُفِهِ وَعَدَمِ تَأْثِيْرِهِ
" Hubungan yang ada kaitannya antara penyebab dan yang disebabkannya dikarenakan sering terjadi, serta sah gagalnya dan tidak ada kemampuan untuk membuktikanya "
Materi إِتِّصَالُ  yang berarti kontak persambungan, maka sesuatu yang apabila antara penyebab dan musabbabnya tidak saling berhubungan itu bukanlah adat. Seperti perkataan sebagian orang : karena ujung pagar menjorok kerumah, si pemilik rumah menjadi sakit. Padahal antara ujung pagar dengan si pemilik rumah yang sakit berjauhan/tidak kontak menyambung. Ketetapan tersebut adalah bid'ah, dan apabila terjadi demikian, maka itu hanyalah kebetulan saja.
Materi عِنْدَ ارْتِبَاطِ السَّبَبِ وَالْمُسَبَّبِ yang berarti antara sebab dan yang disebabkannya harus ada kaitan, maka walaupun ada sambungan tetapi tidak ada kaitan yang kongkrit/rasional (nyata), maka itu tidak termasuk kedalam adat. Seperti halnya seorang memakai batu cincin Nabi Sulaimanu lalu orang tersebut menjadi kaya atau kuat. Padahal antara kekayaan dan memakai batu cincin tidak ada kaitan yang kongkrit (rasional). Maka penetapan semacam ini bukanlah termasuk adat, karena irasional (mustahil).
Materi بالتَّكَرُّرِ artinya persambungan tersebut harus berdasarkan sering terjadi, maka kejadian kejadian yang sifatnya insiden (sewaktu waktu) bukanlah termasuk adat. seperti adanya mu'jizat pada Nabi dan Rosul, karomah pada seorang wali, atau sihirnya orang orang fasiq.
Materi مَعَ صِحَّةِ تَخَالُفِهِ  artinya persambungan tersebut bisa gagal, dari materi inilah muncul khowariqul lil 'adat (kejadian diluar adat kebiasaan), seperti yang dibakar tidak hangus, dibacok tidak luka, dan lain sebagainya.
 Materi وَعَدَمِ تَأْثِيْرِهِ artinya adat tidak mempunyai kemampuan untuk menciptakan/membuktikan suatu kejadian. Hangusnya yang terbakar bukan karena api, kenyangnya perut setelah makan bukan karena makanan, turunnya hujan bukan karena mendungnya cuaca, melainkan semua kejadian yang terjadi adalah haqiqatnya atas kekuasaan Allah  semata, yang mana Allah  menetapkannya sesuai dengan ketetapan ketapan yang telah ditentukan (sunnatullah).
Sepanjang Allah  masih menyelenggarakan hukum 'adat, maka ketentuan hukum adat harus dihormati (dilaksanakan). Tapi apabila Allah  tidak menyelenggarakan hukum adat, maka Allah  tidak mentaklif untuk menjalankan ketetapan hukum adat, melainkan Allah  memerintahkan untuk bertawakkal (berserah diri) secara penuh kepada Allah  disertai shabar dan bersyukur.
Sebagaimana peristiwa yang menimpa terhadap Nabi Ibrohim, ketika akan dibakar oleh raja namrud. Dihadapan Nabi Ibrohim  tidak nampak lagi perjalanan syari'at (hukum adat) untuk menghindar dari kelaliman raja namrud. Disaat seperti ini Nabi Ibrohim u berserah diri secara penuh kepada Allah I (tawakkal). Dihatinya berkeyakinan bahwa api tidak mempunyai kemampuan sedikitpun untuk menciptakan panas dan hangus, hanya Allah I lah yang mampu mewujudkan segala perkara.  Maka disaat situasi dan kondisi Nabi Ibrohim  yang demikian itu, datanglah pertolongan dari Allah u dimana ketentuan hukum adat menjadi sangat bertolak belakang. Api bukannya terasa panas melainkan menjadi dingin. Sebagaimana firman Allah u dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 69 :
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (٦٩)
" Hai api menjadi dinginlah kamu dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrohim "
Hubungan sabab dan musabbab (sambungan adat) ada 4 macam:
Ø Hubungan ada kepada ada, seperti hubungan antara adanya rasa kenyang dengan adanya yang dimakan
Ø Hubungan ada kepada menjadi tidak ada, seperti hubungan adanya selimut dengan tidak adanya rasa dingin ketika musim dingin
Ø Hubungan tidak kepada ada, seperti tidak adanya selimut kepada adanya dingin
Ø Hubungan tidak ada kepada tidak ada, seperti hubungan tidak makan dengan tidak adanya rasa kenyang

Adapula sebutan adat yang bukan hukum adat seperti :
-                  Adat yang berarti akhlaq budi pekerti atau kelakuan seseorang. Umpamanya Si Fulan adatnya baik, artinya akhlaq budi pekertinya baik.
-                  Adat yang berarti Sya'nul qoum (kelakuan suatu kaum). Umpamanya adat orang bali apabila membawa botol diatas kepala, adat orang arab apabila dipegang kepalanya tidak marah, tapi apabila dipegang pantatnya marah, berbeda dengan adat sebagian orang indonesia apabila dipegang kepala marah dan apabila dipegang pantatnya tidak marah.

Ta'rif adat tersebut merupakan dasar hukum adat. maka dari adat ini lahirlah beberapa ilmu seperti :
·         Ilmu Nabatat (tumbuh tumbuhan / flora)
·         Ilmu Hayawanat (kehewanan / fauna)
·         Ilmu Jamadat (Tekhnologhi)
·         Ilmu Samawat/falak (Astronomi / tata surya)
·         Dan lmu ilmu lainnya

Ketetapan hukum adat adalah merupakan landasan hukum Syara'
Sebagaimana dalam qo'idah :
" العَادَةُ مُحْكَمَةٌ شَرْعًا "
Oleh karena itu maka ketentuan ketentuannya harus dihormati. Seperti dalam ilmu medis (kedokteran) kebiasaan merokok akan menimbulkan penyakit kanker, maka sebaiknya kita tidak merokok. atau bila terlalu banyak makan sambal akan sakit perut, maka janganlah terlalu banyak makan sambal. Untuk menjaga kesehatan maka kita harus menghindari hal hal yang biasanya akan menimbulkan penyakit.

Sebagaimana Firman Allah dalam surat Ar Ro'du ayat 11 :
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (١١)
" Sesungguhnya Allah  tidak akan merubah keadaan (ni'mat) suatu kaum (musabbab) sehingga mereka merubah apa yang ada pada mereka (sebab)"

Namun demikian, ayat ayat Allah  seperti diatas janganlah dii'tiqodkan bahwa adat mempunyai daya cipta menjadikan suatu hasil, karena apa dan siapapun tidak akan mampu menciptakan suatu perkara selain Allah.
Sebagaimana firman-Nya dalam surat  At Taubah ayat 51
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (٥١)
" Katakanlah (wahai muhammadr) tidak ada yang menimpa kepada kami sekalian kecuali apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami sekalian,Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah lah orang orang beriman harus berserah diri "
Firman Allah yang menunjukan kepada adat (syariat) adalah untuk dijadikan landasan amal dan pembicaraan. Sedangkan firman Allah yang menunjukan pada haqiqat adalah untuk dii'tiqodkan dalam hati, sebagai landasan tawakkal, sabar dan syukur kepada Allah. Seperti badan sembuh dari sakit, syariatnya adalah dengan obat dan haqiqatnya Allah yang menyembuhkan.
Hukum adat tersebut bisa gagal atas kehendak Allah, seperti yang dibakar tidak hangus, dibacok tidak luka, dsb. Dari materi ini maka timbulah khowariqun lil 'Adat, ya'ni kejadian yang diluar adat kebiasaan, yang terbagi atas lima bagian :
·         Irhash, yaitu kejadian luar biasa yang ada pada seseorang yang akan menjadi nabi.
·         Mu'jizat, yaitu kejadian luar biasa yang ada pada Nabi dan Rosul.
·         Karomah, yaitu kejadian luar biasa yang ada pada seorang Wali.
·         Ma'unah, yaitu kejadian luar biasa yang ada pada seseorang hamba yang Sholih.
·         Istidraj, yaitu kejadian luar biasa yang ada pada orang kafir atau Mu'min fasiq.

         Ada dua hal yang kalau dilihat dari segi pekerjaanya dapat menghasilkan Khowariq lil ‘Adat yaitu :
a.       Jika menghasilkan khowariq lil ‘Adat tersebut dengan cara berdo’a, membaca sholawat, dan dzikir,maka itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan disunahkan memperbanyaknya.
b.      Jika menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan cara sihir, itu hukumnya haram.

Adapun warna sihir dan sesuatu yang bisa menghasilkan khowariq lil ‘Adat itu ada beberapa macam, diantaranya :
·         Sihir Simiya, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan jalan khasiat tanah dan batu.
·         Sihir Himiya, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan jalan bintang yang ada di langit, sehingga mengetahui waktu yang akan datang, mengetahui hati orang lain dengan jalan ilmu nujumnya. Atau  menghasilkan khowariq lil ‘Adatnya dengan jalan binatang. Seperti kadal yang berekor dua, burung nuri yang ekornya merah, dll. Maka hukum mencarinya itu adalah haram.
·         Sihir Hindi, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dari jarak jauh. Seperti menggunakan boneka lalu ditusuk memakai jarum agar orang yang ditujunya itu merasakan sakit seperti ditusuk tusuk atau seperti dibebani dengan beban yang sangat berat, dll. Dengan maksud membunuh secara perlahan lahan, yang mana kita mengenalnya di indonesia dengan istilah ilmu santet.
·         Sihir Yamani, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan menggunakan gambar binatang, kemudian orang yang dituju itu diguna guna seperti gambar tersebut. Sihir ini tidak jauh beda dengan sihir hindi.
·         Sihir Thilasamah atau Tholasim, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan cara mencorat coret tulisan yang tidak berma’na, atau menulis nama dengan bahasa ‘ajam dan nama tersebut tidak dapat dipahami.
·         Sihir Roqii, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan memakai jampi jampi yang isinya bukan do’a, juga bukan kalimah kalimah yang mengandung keberkahan.
·         Sihir Ghosbat, yaitu benda atau tulisan thilasimah yang dipakai kekuatan jiwa untuk menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan jalan ghosbat.
·         Istikhdamah, yaitu menghasilkan khowariq lil ‘Adat dengan meminta bantuan terhadap jin, syaithon atau arwah ghoib.
·         Wifiq atau Aufaq yaitu bentuk kotak kotak yang diisi angka, huruf atau Asmaul Mubarokah (nama nama yang mengandung keberkahan). Maka yang seperti itu digunakan oleh Imam Ghozali, bahkan beliau sendiri mengarang kitab yang berjudul Aufaqul Ghozali. Adapun hukumnya itu bagaimana tujuannya, apabila digunakan untuk perkara yang diperbolehkan oleh syara’ maka hukumnya boleh. Apabila digunakan untuk perkara yang dilarang oleh syara’ maka hukumnya haram.  

Tentang masalah khowariq lil ‘Adat, itu ada yang dilarang dan ada yang diperbolehkan oleh syara’-tergantung dari pada orang yang menggunakan, cara yang digunakan dan tujuannya- diantaranya :
·         Orang fasiqyang memakai cara yang halus seperti hizib atau asror, serta tujuannya dilarang oleh syara’, seperti memutuskan atau menghancurkan rumah tangga seseorang. Apabila terjadi khowariq lil ‘Adat itu merupakan Ihanah, yang mana hukumnya haram dilihat dari segi orang yang mengerjakannya dan tujuannya.
·         Orang fasiq memakai cara yang haram seperti sihir, yang mana tujuannya baik, seperti menegakan agama Allah. maka hukumnya haram dilihat dari segi orang yang mengerjakannya dan cara yang digunakannya, yaitu menggunakan sihir.
·         Orang fasiq atau kafir memakai cara yang haram, seperti sihir dan  tujuannya pun dilarang oleh syara’, seperti mengambil harta yang bukan miliknya. Maka hukumnya haram dilihat dari segi orang yang mengerjakannya, caranya dan tujuannya yang haram.
·         Orang mu’min sholih memakai cara yang haram seperti menggunakan sihir, yang mana tujuannya dilarang oleh syara’ seperti memutuskan hubungan keluarga orang lain. Maka hukumnya haram dilihat dari segi cara dan tujuannya yang dilarang oleh syara’ dan sifat sholihnya menjadi batal karena melakukan sesuatu yang haram.
·         Orang mu’min sholih memakai cara yang baik seperti Hizib atau Asror, namun tujuannya tidak baik seperti memutuskan hubungan keluarga orang lain, maka hukumnya haram dilihat dari segi tujuannya. Yang mana asalnya ma’unah menjadi ihanah, karena salah menggunakannya.
·         Orang Mu’min sholih memakai cara yang baik seperti Hizib atau Asror, dan tujuannya pun baik seperti ingin mempunyai rizki yang banyak, dapat memahami ilmu dengan mudah dll. Maka hukumnya itu boleh, bahkan disunahkan jikalau memang niat/tujuan kita itu demi kepentingan agama Allah

Penilaian diantara ketiga hukum tersebut itu secara berurutan, yang paling kuat yaitu; hukum Syara’, lalu hukum akal dan terakhir hukum ‘adat. Jadi apabila terjadi pertentangan antara ketiga hukum tersebut, maka yang wajib diambil dan didahulukan adalah ketetapan hukum Syara’, karena sumbernya dari Al Quran dan Hadits. Seperti contoh berikut ini :
·         Adanya surga adalah wajib menurut hukum syara’, sedangkan menurut hukum akal adalah mumkin adanya, karena tidak ada yang wajib adanya selain Allah, akan tetapi Allah  telah menetapkan didalam hukum syara’ bahwa surga itu ada, maka kesimpulannya adalah surga wajib adanya. Ketetapan wajib menurut hukum syara’ seperti ini disebut wajibul muqoyyad, oleh karena itu adanya surga tidak bisa disebut mumkin.
·         Adanya hangus menurut hukum adat adalah wajib, karena setiap yang terbakar api pasti hangus, sedangkan menurut akal adalah mumkin adanya, karena apabila Allah  tidak mentaqdirkan hangus, maka api tidak akan membuat hangus, buktinya apabila sesuatu yang dibakar itu basah, maka tidak hangus/terbakar. Dalam hal ini ketetapannya adalah sebagaimana hukum akal, ya’ni hangusnya yang terbakar itu adalah karena kekuasaan Allah  semata. Namun demikian Allah telah membuat hukum objektif yaitu sunnatullah (ketetapan Allah), yang mana Allah menciptakan hangus melalui beberapa proses, yaitu; pertama diciptakannya api, lalu dihubungkan api dengan sesuatu yang akan dibakar, kemudian dihilangkan penghalang hangus seperti basah dan kemudian Allah menciptakan hangus pada sesuatu yang dibakar tadi.

b.     Ta'rif Hukum adat

اثبَاتُ اَمْرٍ لِأَمْرٍ أَوْ نًفْيُهُ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ التَّكَرُّرِ بَيْنَهُمَا عَلىَ الْحِسِّ مَعَ صِحَّةِ تَخَالُفِهِ وَعَدَمِ تَأْثِيْرِهِ اَحَدِهِمَا فِى اْلأَخَرِ
" Menetapkan suatu perkara (sebab) kepada suatu perkara yang lain (musabbab) atau meniadakan suatu perkara kepada perkara yang lain dengan melalui suatu analisa dari sering terjadi, ditemukan oleh panca indera, positif ada kaitan, dapat gagal dan tidak ada ta'sir (hasil kerja) dari sabab dan musabbab "

Materi kata اثبَاتُ اَمْرٍ لِأَمْرٍأَوْنًفْيُهُ عَنْهُ :  materi ini merupakan pokok ta'rif segala hukum, dari mulai hukum 'adat, hukum syara' sampai hukum akal.
Materi kata بِوَاسِطَةِ التَّكَرُّرِ بَيْنَهُمَا : materi ini menunjukan perbedaan antara hukum adat dengan hukum syara' dan hukum akal.
Materi kata عَلىَ الْحِسِّ : materi ini menunjukan bahwa antara sabab dan musabbab harus ada keterkaitan dan penetapannya harus melalui hissi, baik hissi yang dzohir maupun bathin.

Yang dimaksud hissi dzohir adalah yang disebut dengan panca indera yang lima yaitu  :
Ø  Penglihatan mata, seperti terlihatnya luka karena teriris pisau, luka bakar karena api.
Ø  Lidah, seperti menetapkan rasa manis kepada gula, asin kepada garam.
Ø  Telinga, seperti menetapkan adanya suara karena adanya yang berbicara.
Ø  Hidung, seperti menetapkan adanya harum pada parfum.
Ø  Sentuhan kulit/Peraba, seperti adanya bintik atau benjolan di punggung itu ditetapkan oleh rabaan/sentuhan tangan.
Adapun yang dimaksud dengan hissi bathin adalah seperti ditemukannya rasa lapar, susah, bingung bahagia dan sebagainya oleh hati dan perasaan seseorang.

BAB III
BERIMAN DAN MA'RIFAT KEPADA ALLAH
           
Percaya kepada Allah (Iman) tidak sempurna bila tidak patuh terhadapperintah-Nya(Islam), dan patuh terhadap perintahnya tidak sempurna bila tidak dibarengi dengan ikhlash (ihsan). Oleh karena itu ketiga mutiara ini tidak akan bisa dipisahkan apabila kita ingin mendapatkan keridhoan dan kasih sayang Allah.
Sebagaimana Rosulullah r pernah ditanya oleh malaikat jibril u tentang apa inti dari pada iman, islam dan ihsan ? yang diriwayatkan oleh Imam Muslim t dalam kitab Shohihnya, yaitu :
عَنْ عُمَرِ  بْنِ  الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ للهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ, شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ, وَ لاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخْدَيْهِ وَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ" اَْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمَ الصَّلاَةِ,  وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً ". قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبَْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَ يُصَدِّقُهُ, قَالَ فَأَخْبِرنِيْ عَنِ اْلإِيْمَانِ ؟ قَالَ " أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلئِكَتِهِ, وَكُُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ, وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ " قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ؟ قَالَ اْلإِحْسَانُ هُوَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ صَدَقْتَ. ...إلى أخر الحديث     

“ Dari sayyidina ‘Umar RA berkata : Pada suatu hari kami duduk bersama Rosulullahr, dan datanglah seorang lelaki kepada kami. Yang mana lelaki tersebut bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, yang tidak terlihat akan bekas perjalanannya yang jauh, dan tidak ada salah satu dari kami yang mengenalnya. Sehingga ia duduk didekat Rosulullah  sambil menempelkan kedua lututnya dengan lutut Nabi, dan menaruh kedua telapak tangannya akan kedua paha Nabi, dan ia berkata : Ya Muhammad, beritahulah aku apa itu islam ? Rosulullah menjawab : “ Islam yaitu bahwasanya kamu bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib disembah dengan haq selain Allah  dan bahwasanya Muhammad  itu utusan Allah, kemudian dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, puasalah pada bulan romadhon, dan tunaikanlah ibadah haji apabila kamu mampu menjalankannya “ kemudian ia berkata : kamu benar ..! sayyidina ‘Umar t berkata : kami heran pada lelaki itu, dia yang bertanya kemudian dia pula yang membenarkannya. Kemudian lelaki itu bertanya lagi, beritahulah aku, apa itu iman ? Rosulullah  menjawab : “ Iman yaitu bahwasanya kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Para Rosul-Nya, Hari Akhir (Kiamat), dan kamu beriman akan ketentuan Allah  yang baik maupun buruknya “ lelaki tersebut berkata : kamu benar..! kemudian ia bertanya lagi : beritahulah aku apa itu ihsan ? Rosulullah  menjawab : “ Ihsan yaitu kamu beribadah kepada Allah  seakan akan kamu melihatnya, apabila kamu tidak dapat melihatnya maka sesungguhnya Allah  melihatmu “ dst.....

Ta’rif Iman
اَلْإِيْمَانُ هُوَ التَصْدِيْقُ الجَازِمُ بِكُلِّ مَا عُلِمَ بِالضَّرُوْرَةِ  مَجِيْئُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِ الله وَالإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ وَ الْعَمَلُ بِاْلأَرْكَانِ
“ Iman adalah membenarkan yang pasti (dengan hati) terhadap apa apa yang diketahui dengan pasti datangnya dari Nabi, yang berasal dari sisi Allah, juga Mengakui dengan lisan/ucapan (syahadat) dan Mengamalkan dengan anggota badan”
Dan bisa juga pengertian iman sesuai dengan hadits Rosulullah  yang mana termasuk kedalam kategori Rukun Iman yaitu ada 6 :
اَلإِيْمَانُ هُوَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ, وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيِرِهِ وَشَرِّهِ
“ Iman yaitu bahwasanya kamu beriman kepada Allah  para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Para Rosul-Nya, Hari Akhir (Kiamat), dan kamu beriman akan ketentuan Allah  yang baik maupun buruknya “
Beriman kepada Allah
Beriman kepada Allah  yaitu; percaya dan meyakini adanya Allah  yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya, dengan cara ma'rifat (mengenal) kepada-Nya, dengan mengetahui sifat sifat-Nya, disertai dalil dalil yang benar dan kuat menurut Ahli Sunnah Wal Jama'ah.
Adapun sifat sifat yang berhak bagi Allah itu bukan ditangguhkan atas pendapat para Rosul, bukan berdasarkan Al Quran dan Hadits, bukan berdasarkan hasil keputusan ulama mujtahidin, bukan pula terhadap adanya alam. Tetapi para Rosul, para ulama, Al Quran, Hadits dan adanya alam ini, adalah sebagai dalil (tanda/ciri) yang menunjukan bahwa Allah tersifati oleh sifat sifat yang berhak bagi-Nya. Walaupun misalnya para Rosul tidak diutus, para Ulama tidak ada, Al Quran tidak diturunkan dan alam semesta tidak diciptakan, maka tetap sifat sifat tersebut tidak akan lepas dari Allah. atau sekalipun misalnya seluruh makhluq tidak mengimani sifat sifat yang berhak bagi Allah, maka itu semua itu tidak akan mempengaruhi pada Dzat Allah.
Sebagaimana sebagian dari pada ciri/tanda seorang lelaki adalah mempunyai kumis atau janggut, walaupun lelaki tidak berkumis atau tidak berjanggut, tetap ia disebut sebagai laki laki. karena kumis atau janggut hanyalah merupakan ciri/tanda yang menunjukan sifat kelelakiannya.
Setiap mukallaf  (baligh & berakal) wajib berma'rifat kepada Allah, dengan cara harus mengetahui sifat sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya.
Adapun beriman atau tidaknya, tetap ia terkena wajibnya ma’rifat, sehingga oleh sebab inilah orang kafir menjadi ahli siksa, karena ia tidak beriman kepada Allah.
Sebagaimana Sya'ir Syaikh Ibnu Ruslan dalam kitab matan Zubad :
أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْإِنْسَانِ      *             مَعْرِفَةُ الإِلَهِ بِاسْتِقَانِ
"    Pertama yang wajib kepada manusia adalah ma'rifat kepada Allah  dengan yakin "
Wajib berma’rifat disini adalah wajib menurut Syara' (agama islam) didalam ilmu fiqih yang ta'rifnya :
مَاوَعَدَاللهُ فَاعِلَهُ بِالثَّوَابِ وَتَوَعَّدَ اللهُ تَارِكَهُ بِالْعِقَاب
" Suatu perkara yang Allah I janjikan kepafa yang melakukannya berupa pahala dan Allah  ancam kepada yang meninggalkannya berupa siksa"
Berbeda dengan wajib menurut akal, sebagaimana yang dipegang oleh kaum mu’tazilah, yang berpendapat bahwa kewajiban berma’rifat itu menurut akal, bukan menurut syara. Pendapat ini adalah bathil, yang bertentangan dengan pendapat Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama'ah (Aswaja)
Konsep Aswaja selama ini masih belum dipahami secara tuntas, sehingga menjadi "rebutan" setiap golongan. Semua kelompok mengaku dirinya sebagi penganut ajaran Aswaja. Tidak jarang, label out digunakan untuk kepentingan sesaat. Jadi, apakah yang dimaksud dengan dengan Aswaja itu sebenarnya ? bagaimana pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan ?
Aswaja merupakan singkatan dari istilah Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Ada tiga kata yang membentuk tiga kata tersebut, yaitu :
1.      Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut
2.      Al sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rosulullah r.
3.      Al jama'ah, yaitu apa apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rosulullah  pada masa Khulafaur Rosyidin yaitu Kholifah Abu Bakar, Umar bin Khotob, Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Tholib.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh 'Abdul Qodir Al Jilani dalam kitabnya Al Ghunyah Li Tholibi Thoriq Al haq :
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ r وَالْجَمَاعَةُ مَا اِتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ  فِى خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الَْمَهْدِييِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالبي طريق الحق,  ج 1 ص 80)
" Adapun yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rosulullah  (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertianal-Jama'ah adalah segala sesuatu yang gtelah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad r pada masa Khulafa ar-Rosyidin yang empat, yang telah diberi hidayah, mudah mudahan Allah I memberikan rohmat kepada mereka semua.
Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin 'Abdussyakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma'ah :
أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ اَلَّذِيْنَ لاَزَمُوْا سُنَّةَ النَّبِيِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِى الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ وَاْلأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ. (الكواكب اللمّاعة, ص 8-9)
" Yang disebut Ahlu sunnah wal jama'ah adalah orang orang yang selalu berpedoman pada Sunnah Nabi r dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal amal lahiriyyah serta akhlaq hati " 
Jadi Ahlu Sunnah wal Jama'ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad  dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rosulullah r dan para sahabatnya. Ketiga prinsip tersebut adalah at-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan) prinsip at-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli), dan al-I'tidal (tegak lurus).
Ketiga prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (tauhid/teologi), perbuatan lahiriyyah (fiqh) serta masalah masalah yang mengatur gerak hati (tashawuf). Dalam praktik keseharian, ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh  Imam Asy'ari dan Imam Ma'thuridhi. Sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyyah termanifestasikan (terwujud) dengan mengikuti madzhab empat, yakni madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali. Dalam bidang tashawuf mengikuti rumusan Imam Junaid Al Baghdadi dan imam Al Ghozali
Salah satu alasan dipilihnya Ulama-Ulama tersebut oleh Salafuna al-Sholih, sebagai panutan dalam Ahlu Sunnah wal Jama'ah, karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan inti sari agama islam sebagaimana telah digariskan oleh Nabi Muhammad  dan para shohabatnya. Dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi umatnya. Nabi Muhammad r bersabda :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو اَلسُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْباَضَ بْنَ سَارِيَةَ قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ  : فَعَلَيْكُمْ ِبمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ (مسند احمد بن حنبل. رقم 16519)
" Dari 'Abdurrohman bin Amr al-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al-'Irbadh bin Sariyah berkata : Rosulullah r menasehati kami : kalian wajib berpegang teguh pada sunahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku al-Khulafa al-Rosyidin yang mendapatkan petunjuk "
Karena itu sebenarnya Ahlu Sunah wal Jama'ah merupakan islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad r dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya y. Ketika Rosulullah r menerangkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, dengan tegas Nabi r menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpedoman pada apa saja yang diperbuat oleh Nabi r dan para sahabatnya pada waktu itu (ma ana 'alaihi al-yawm wa ashabi).
Maka, Ahl Sunnah wal Jama'ah sesungguhnya bukan aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran hakiki agama islam. Ahlu Sunnah wal Jama'ah justru berusaha untuk menjaga agama islam dari beberapa aliran yang akan mencerabut ajaran islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk mensosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran islam yang murni. Sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama islam agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rosulullah r dan para sahabatnya. 
Jika sekarang banyak yang mengaku dirinya termasuk Ahlu Sunnah wal Jama'ah, maka mereka harus membuktikan dalam praktek keseharian bahwa ia telah benar-benar mengamalkan sunah Rosulullahr dan sahabatnya. Abu Sa'id al-Khadimi berkata :
(فَإِنْ قِيْلَ) كُلُّ فِرْقَةٍ تَدَّعِيْ أَنَّهَا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ (قُلْنَا ذَلِكَ لاَ يَكُوْنُ بِالدَّعْوَى بَلْ بِتَطْبِيْقِ الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَذَلِكَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى زَمَانِنَاإِنَّمَا يُمْكِنُ بِمُطَابَقَةِ صِحَاحِ اْلأَحَادِيْثِ كَكُتُبِ الشَّيْخَيْنِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْكُتُبِ الَّتِيْ أَجْمَعُ عَلىَ وَثَاقَتِهِنَّ). (البريقة شرح الطريقة ص 111-112)
" (Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai Ahlu Sunnah wal Jama'ah, jawaban kami adalah : bahwa Ahlu Sunnah wal Jama'ah itu bukan hanya klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini, perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shohih. Seperti shohih Bukhori, shohih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang telah disepakati validalitasnya"
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama'ah merupakan ajaran yang sesuai dengan apa yang telah digariskan oeh Rosulullah r dan para sahabatnya. Dan itu tidak hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku kita sehari-hari.

Perumus Ahlu Sunnah wal Jama'ah dalam Bidang Akidah
Seperti uraian yang telah lalu, bahwa Ahlu Sunnah wal Jama'ah merupakan ajaran islam yang murni dan sudah ada sejak masa Rosulullah r. Hanya saja waktu itu masih belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Lalu siapakah yang menjadi pelopor dalam merumuskan kembali Ahlu Sunnah wal Jama'ah, khususnya dalam bidang akidah ?
Yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy'ari dan Imam Ma'thuridi. Karena itu ketika ada yang menyebut Ahlu Sunnah wal Jama'ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua imam tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam kitab Tathir al-janan wallisan :
أَنَّ الْمُرَادَ بِأَهْلِ السُّنَّةِ حَيْثُ أُطْلِقُوْا أَتْبَاعُ أَبِيْ الْحَسَنِ اْلأَشْعَرِيِّ وَأَبِيْ مَنْصُوْرٍ اَلْمَأْتُوْرِيْدِيْ (تطهير الجنان واللسان , 7)
" Jika Ahlu Sunnah wal Jama'ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Al Asy'ari (golongan Asya'iroh) dan Imam Ma'turidi (golongan Ma'turidi) "
Dua orang inilah yang menjadi pelopor gerakan kembali kepada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Intisari dari rumusan kedua beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di berbagai pesantren, seperti Aqidah al-Awam, Tijan ad-Daruri, Kifayah al-Awam dan kitab kitab tauhid lainnya yang sudah tidak asing lagi bagi orang orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan 'ali bin Isma'il al-Asy'ari. Lahr di bashrah pada tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi r yang bernama Abu Musa al-'Asy'ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah seorang tokoh mu'tazilah yang bernama al-Jubbai. Karena menjadi anak tiri al-Jubbai, Imam Asy'ari sangat tekun mempelajari aliran mu'tazilah, sehingga beliau sangat memahami tentang aliran ini. Tidak jarang ia menggantikan ayah tirinya untuk menyampaikan ajaran mu'tazilah. Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagi anak tiri dari salah seorang tokoh utama mu'tazilah, banyak orang memeperkirakan bahwa suatu saat ia akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagi salah seorang tokoh mu'tazilah.
Namun harapan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Fakta berbicara lain. Fakta berbicara lain. Setelah Imam Asy'ari mendalami ajaran mu'tazilah, terungkaplah bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Sesudah mengetahui beberapa kelemahan ini, beliau menyendiri dan bertafakkur (merenung dan berfikir) selama 15 hari. Ia meminta kepada Allah agar diberi petunjuk tentang langkah terbaik yang akan dilaluinya.
Dalam perenungan tersebut, sampailah beliau pada kesimpulan bahwa sudah saatnya untuk kembali kepada ajaran islam yang murni, yang telah oleh Rosulullah r dan para sahabatnya y, serta dilanjutkan oleh para ulama salafussholih. Imam Asy'ari beranggapan apabila tetap mengamalkan ajaran mu'tazilah yang sangat mengandalkan akal pikirannya, berarti telah melakukan dosa sosial, karena telah mengajak orang lain untuk berbuat kemunafikan. Akhirnya beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan ajaran mu'tazilah. Imam Asy'ari kemudian memproklamirkan diri dan mengajak manusia untuk kembali kepada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama'ah, seperti yang telah diajarkan para salafussholih. (Abi Al Hasan al-Nadwi, dalam muqoddimah al-ibanah, 30-31).
Setelah peristiwa ini banyak kalangan yang memuji keberanian Imam Asy'ari. Ia dijuluki sebagai orang yang telah menyelamtkan akidah umat islam dari gangguan kelompok kelompok yang akan merusak kemurnian agama islam. Beliau diposisikan sebagai pelopor gerakan kembali ke Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Gerakan yang beliau pimpin itu kemudian dikenal dengan sebutan golongan Asya'iroh. Untuk mengukuhkan Akidah Ahlu Sunah wal jama'ah, imam Asy'ari menulis banyak kitab, diantaranya al-ibanah 'an Ushul al-Diyanah, Maqolat al-Islamiyyin dan lain sebagainya.
Karena keberaniannya ini pula, para ulama yang selama itu dibungkam da ditindas oleh penguasa mu'tazilah memberikan dukungan pada gerakan yang ia rintis. Maka wajar, jika pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para Muhadditsin (ahli hadits), Fuqoha (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmuikut mendukung serta menjadi pengikut Imam Asy'ari. Sebagaimana yang telah dituturkan  oleh Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki dalam Kitab Mafahim Yajib An Tushohhah :
إِنَّهُمْ طَوَائِفُ الْمُحَدِّثِيْنَ وَالْفُقَهَاءِ وَالْنُفَسِّرِيْنَ مِنَ اْلأَئِمَّةِ اْلأَعْلاَمِ (مفاهيم يجب أن تصحح, 111)
" Sesungguhnya mereka (pengikut Imam Asy'ari) adalah beberapa kelompok dari para Muhadditsin, Fuqoha dan Mufassirin (ahli tafsir) dari para Imam yang terkemuka "
Diantara para Ulama yang mengikuti beliau dalam bidang akidah adalah Imam Nawawi (wafat tahun 676 H. pengarang kitab Riyadhussholihin), Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolani (wafat tahun852 H., penulis kitab Fathul Bari' Syarh Shohih al-Bukhori serta kitab Bulughul Marom), Imam al Qurthubi (pengarang kitab Tafsir al-Qurtubi),  Ibnu Hajar al-Haitami (wfat tahun 974 H, muallif kitab al-Zawajir), Imam Zakariya al-Anshori (muallif kitab Fathul Wahab), serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Tidak sedikit pula ahli tashawwuf terkenal menjadi pengikut akidah Asya'iroh ini, seperti Abu al-Qosim 'Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (penulis kitab al-Risalah al-Qusyariyyah 376-465 H), dan Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghozali (505 H) (Tabyin kidzb al-Muftari, 291)
Inilah gambaran tentang kelompok Asya'iroh. Berkat kegigihan kelompok ini, agama islam terhindar dari kerusakan yang disebabkan menjamurnya berbagai aliran yang merusak kemurnian islam. Karena jasanya yang sangat besar bagi agama islam, mereka dijuluki sebagai kelompok yang telah menyelamatkan sendi-sendi ajaran islam. Sebagaimana yang diakui oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-fatawanya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini :
اَلْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلأَشَاعِرَةُ أَنْصَارُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ (الفتاوى , ج  4  ص 24)
" Para Ulama adalah para penolong ilmu-ilmu agama. Sedangkan Asya'iroh adalah para penolong Ushuluddin (akidah) "
Tokoh kedua Ahl Sunnah wal Jama'ah adalah Imam al-Ma'turidi. Nama lengkap beliau adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Ma'thuridhi al-Samarkandi. Beliau lahir di Ma'thurid dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M. sedangkan untuk tahun kelahirannya tidak ada keterangan yang jelas.
Seperti yang telah dijelaskan, beliau adalah seorang yang menganut madzhab Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi pijakan Imam Ma'turidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Tarikh al Madzahhibil Islamiyyah, Juz 1, hal 173)
Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qosim Ishaq bin Muhammad bin 'Ismail yang terkenal sebagai Hakim Samarkand, wafat pada tahun 340 H. lalu Imam Abu al-Hasan 'Ali bin Sa'id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad 'Abdul karim bin Musa al-Bazdawi, wafat pada tahun 390 H. dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhori. Satu-satunya tulisan Imam Ma'turidi yang samapai kepada kita adalah kitab at-Tauhid yang di tahqiq (diedit) oleh DR. Fathullah Khulayf.

Ma'rifat
Ta'rif Ma'rifat
Adapun ta'rif Ma'rifat yaitu :
إِدْرَاكٌ جَازِمٌ مُوَافِقٌ لِمَا فِى الْوَاقِعِ نَاشِئٌ عَنْ دَلِيْلٍ بِحَيْثُ لَيْسَ مَعَهُ تَرَدُّدٌ
"  Menemukan keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataannya, yang timbul dari dalil dalil yang tidak ada keraguan didalamnya "

Yang menjadi asas asas ma'rifat adalah sbb :
1.       Idrok jazim, artinya menemukan keyakinan yang pasti (100 %). Maka dikecualikan perkara yang tidak pasti seperti : khayalan (25%), keraguan (50%), harapan dan perkiraan/sangkaan (75 %).
2.       Muwafiq lil waaqi', artinya yang diyakinkan harus sesuai dengan kenyataan yang dipegangi oleh Ahli Sunnah wal jama'ah.

Apabila meyakinkan dan beriman kepada Allah , tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang dipegangi oleh Ahli Sunnah,  maka ia masih termasuk kufur. seperti kaum mujassimah mereka meyakinkan adanya Allah, tetapi mereka menyerupakan Allah  dengan makhluq.
3.       Naasyiun ‘an dalilin bihaitsu laisa ma'ahu taroddud, artinya harus timbul dari dalil dalil (alasan alasan) yang benar dan kuat yang tidak ada keraguan didalamnya.

Dalil Ma'rifat
Dalil Yang mewajibkan ma'rifat itu adalah firman Allah  dalam surat Al Baqoroh ayat 21 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)
" Wahai segenap manusia ! sembahlah (esakanlah) tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa "
Maksud kata اعْبُدُوْا  itu adalah mentauhidkan Allah, karena merupakan amr (perintah) yang pasti, yang menunjukan akan wajibnya berma’rifat kepada Allah. Dan khitob Allah  kepada manusia berupa ibadah tidak sah jika belum mengesakannya. Berbeda dengan khitob menggunakan ayat يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا   itu sah apabila dikhitobi dengan ibadah.
Dalam ayat رَبَّكُمُ ini menggunakan sifat الَّذِى خَلَقَكُمْ, ini menunjukan bahwa kewajiban bertauhid itu harus dengan berma’rifat kepada Sang Maha Pencipta (Allah), yaitu dengan cara mengetahui dalilnya.

Pembagian Dalil
Dalil menurut ilmu tauhid ada 2 macam yaitu :
a.       Dalil Naqli, yaitu dalil yang bersumber dari Al Quran dan Hadits, yang khusus diperuntukan bagi orang orang yang sudah beriman kepada Allah. Mengenai peranan dalil naqli dalam ilmu tauhid, benar benar amat penting. Karena kenyataan menunjukan, bahwa derajat akal manusia itu tidak sama satu sama lain, ada yang berpendapat tinggi dan ada yang didapat oleh akal yang berderajat tinggi, kecuali dengan cara sederhana dan ringkas saja. Yang demikian itu bukan saja karena ketidak samaan tingkat pendidikan mereka masing masing, tetapi bahkan juga karena ketidaksamaan fitrah kejadian mereka, yang hal itu merupakan Qudrat dan Irodat Allah.
      Mengingat hal tersebut diatas, maka didalam memahami tentang ke Esaan Allah  tidaklah cukup hanya dengan akal, karena ternyata akal itu mempunyai kelemahan. Dalil dalil yang berdasarkan akal tidaklah dapat diterima kebenarannya secara pasti, tetapi hanya bersifat zhon (sangkaan). Padahal dalam masalah ketauhidan diperlukan dalil dalil yang bersifat qot’i (pasti). Dalam hal ini wahyu Allah  lah yang menduduki sebagai dalil yang qot’i, yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya bahwa hal ini berasal dari Allah  melalui para Rosul-Nya.
      Percaya kepada wahyu yang diturunkan Allah, berarti tidak hanya percaya kepada Al-Quran saja, tetapi juga percaya kepada segala wahyu yang diturunkan pada semua masa, serta yang diturunkan kepada para Nabi dan umat umat terdahulu. Dan Al-Quran juga membenarkan dan menguji kemurnian yang tercantum dalam kitab kitab suci yang lain. Karena itu Al-Quran memuat kisah Nabi-Nabi dan umat terdahulu, selain untuk mengambil pelajaran, juga untuk menunjukan kejadian yang sebenarnya.
      Berpijak dari hal itulah, maka dalam masalah ilmu tauhid Al-Quran adalah merupakan sumber utama dan merupakan wahyu yang ditanggung kemurniannya, karena senantiasa dijamin pemeliharaannya oleh Allah. Sebagaimana Firman  dalam surat Al Hijr ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya “

b.      Dalil Aqli, yaitu dalil yang berdasarkan ketetapan akal, yang lahir dari akal pikiran menurut hukumnya yang sah, yang mana diperuntukan bagi orang yang belum beriman dan sudah beriman kepada Allah. Jikalau akal sudah mampu berdalil aqly (logis), maka akal itu mudah menerima segala keterangan dari Al -Quran dan Hadits.
      Dalam lintasan fikiran akal manusia ini, tidak lepas dari dua macam, yaitu masalah yang dhorury/badihy dan masalah yang nadzhory.
      Badihy yaitu suatu perkara yang mudah difahami, dengan tidak memerlukan ta-ammul (berfikir). Misalnya : hitungan 2 – 1 = 1; matahari itu terang; malam itu gelap; dan sebagainya.
      Nadzhory adalah suatu perkara yang tidak mudah difahaminya, dan memerlukan ta-ammul. Misalnya : hitungan 71/8 × 31/2 × 51/7 = …; bumi ini berbentuk bulat telur, Allah itu ada dan kekal ada-Nya.
Sebagaimana Syaikh 'Abdur Rahman Al-Ahdhory mensyairkan dalam matan Sulamul Munauroqnya :
وَالنَّظَرِى مَا احْتَاجَ للِتَّأَمُّلِ       *          وَعَكْسُهُ هُوَ الضَّرُوْرِيُ الْجَلِى
" Nadzhory yaitu sesuatu yang membutuhkan akan pemikiran, dan adapun Dharury itu kebalikannya Nadzhory "
      Dalil dalil untuk menerapkan ada-Nya Allah  sungguh banyak sekali, hingga pernah para pujangga mengemukakan sebagai berikut :
إِنَّ ِللهِ طَرَائِقَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِ الْخَلاَئِقِ
“ Banyak sekali jalan menetapkan adanya Allah, yaitu sebanyak nafas para makhluq “
      Sebagai salah satu contoh jalan menetapkan adanya Allah  melalui akal misalnya : kita memakai baju pasti ada yang membuatnya; rumah yang kita tempati pasti ada pembuatnya (tukang kayu dan tukang bata), bumi yang kita gunakan untuk segala kebutuhan hidup ini pasti ada pembuatnya, langit yang tinggi tanpa ketahuan tiangnya itu pasti ada pembuatnya, matahari yang senantiasa terbit disebelah timur dan terbenam disebelah barat itu pasti ada pembuatnya dan yang mengaturnya.
      Baju, rumah dan jenis perangkat kebudayaan lainnya, pembuatnya adalah manusia. Sedangkan bumi, langit, matahari tak mungkin diciptakan oleh manusia atau makhluq lainnya; maka jelaslah bahwa yang menciptakan bumi, langit dan matahari itu adalah dzat yang maha kuasa dalam menciptakan dan meniadakan segala sesuatu, yakni Allah.
      Mengenai peranan akal dalam ilmu tauhid itu sangat penting dan menentukan, dengan alasan sebagai berikut.

-          Dengan jalan akal, maka seseorang dapat mengetahui adanya Allah, sifat sifat-Nya dan berbagai pengetahuan yang hasil dari nadzhory
-          Pendapat akal dapat sampai haqiqat  kebenaran sesuatu.
-          Pendapat akal tidak terbatas
     
      Itulah sebabnya, Al Quran dalam tuntunannya untuk mengakui adanya Allah  dan ke-Esaan-Nya, mendorong agar mempergunakan akal untuk berfikir dalam lapangannya yang telah ditentukan, yaitu alam semesta yang terbentang diluar diri manusia, yang ada dalam dirinya sendiri.
Ayat ayat yang menyatakan peranan akal :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١)
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imron : 190-191)

Ayat ayat tersebut diatas, menyatakan bahwa orang orang yang berakalah yang sanggup memikirkan atau mengingat-ingat tentang ciptaan Allah, baik dalam keadaan apa dan bagaimana pun. Bagi mereka yang berakal pulalah akan mengakui dan menyadari bahwa tuhan yang menciptakan segala sesuatu ini bukannya sia sia belaka, melainkan penuh arti dan kemanfaatan bagi manusia dalam rangka mencapai ridho Allah, sehingga tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan akal manusia dapat mengambil ibarat atau tamtsil dari apa yang dilihat atau dialaminya di alam sekitar ini, sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat Yunus ayat 24 sebagai berikut :
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الأرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالأمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢٤)
“ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya Karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir.
Demikianlah ayat ayat Al Quran yang menyatakan peranan akal dalam ilmu tauhid. Dengan akal itu manusia mampu mengingat ingat akan kebesaran Allah, baik dalam keadaan apa dan bagaimanapun; dengan akal itu manusia dapat memikirkan bagaimana kejadian atau proses dijadikannya langit dan bumi, dan dengan akal itu manusia mampu menegaskan, bahwa Allah  menjadikan langit dan bumi seisinya tentu ada manfaat dan penuh arti bagi makhluq-Nya, bukan sekedar ciptaan yang sia sia.
Apabila seseorang mau mempergunakan akalnya untuk dzikir dan berfikir atas kekuasaan Allah  itulah, maka orang tersebut akan semakin tebal keyakinannya, ia senantiasa mensucikan Allah  dalam keyakinannya dan memohon untuk terhindar dari adzab Allah yang sangat pedih.

Dalil Aqli ini terbagi atas 2 macam :
1).  Dalil Aqli ijmali, yaitu dalil aqli yang sifatnya umum (global), sederhana dan tidak mendalam, yang dapat diketahui serta mudah dipahami oleh kalangan umum. Hukum mengetahui dalil ini adalah fardhu a'in (individu/perorangan);  ya'ni setiap mukallaf wajib mengetahui dalil ini.

2). Dalil Aqli Tafsili, yaitu dalil yang lebih terperinci dan lebih mendalam, yang hanya dapat diketahui oleh orang orang tertentu saja, sehingga mampu mempertahankan kebenaran ajaran agama islam, serta mampu melawan dan menghancurkan aqidah aqidah yang batal. Hukum mengetahui dalil ini adalah fardhu kifayah; ya'ni cukup satu orang yang mengetahui dari satu daerah.
Setiap Mukallaf wajib mengetahui dalil secara ijmali, karena termasuk syarat berma’rifat menurut ulama mujtahidin.

Ada beberapa pendapat ulama tentang menyikapi hal ini yaitu :
·               Imam Sanusi dan Ibnu ‘Arobi berpendapat bahwa seseorang yang berma’rifat tanpa mengetahui dalilnya itu tidak sah imannya. Sekalipun mereka orang pintar, apalagi orang bodoh. Maka mereka tergolong hukumnya kafir jika tidak dibarengi dengan dalil. Pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama tauhid, karena sangat berat sekali untuk dilaksanakan, apalagi zaman sekarang yang mayoritas penduduknya kurang senang terhadap ilmu ilmu agama.
·               Sebagian Ulama berpendapat bahwa ma’rifat jika tidak dibarengi dengan dalil itu sah imannya, baik pintar maupun bodoh.
·               Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa ma’rifat yang tidak dibarengi dengan dalil bagi orang bodoh itu sah saja imannya, serta ia tidak berdosa. Dan bagi orang pintar itu juga sah imannya, namun ia berdosa, karena tidak menggunakan kepintaran yang telah diberikan Allah  kepadanya untuk berma’rifat kepada Allah  dengan mengetahui dalilnya. Pendapat ini adalah pendapat yang mu’tamad (yang dipegangi) oleh jumhur ulama tauhid.
·               Sebagian lagi berpendapat bahwa ma’rifat yang tidak dibarengi dengan dalil itu sah imannya juga tidak berdosa, jika taqlid (mengikuti) terhadap Al Quran dan Hadits yang mutawatir.
·               Sebagiannya lagi berpendapat bahwa ma’rifat yang tidak dibarengi dengan itu sah imannya dan tidak berdosa, bahkan haram untuk memikirkan dalil tersebut jika tercampuri oleh dalil fulasifah dholalah (filsafat yanng sesat).

Tingkatan Iman
Adapun iman itu ada lima tingkatan :
Ø  Iman Taqlid, yaitu imannya seseorang tanpa dibarengi dengan dalil
Ø  Iman 'Ilmu, yaitu imannya seseorang disertai dengan mengetahui dalilnya
Ø  Iman 'Iyan, yaitu imannya seseorang yang sudah ma'rifat kepada Allah I dengan selalu merasa dirinya berada dalam pengawasan-Nya, sehingga tak pernah lalai dari mengingat-Nya. Ini adalah maqomnya muroqobah, dan dinamakan dengan iman 'ainul yaqin
Ø  Iman Haq, yaitu imannya seseorang yang seakan akan melihat Allah dengan hatinya. Ini adalah maqomnya musyahadah dan dinamakan iman haqqul yaqin
Ø  Iman Haqiqat, yaitu imannya seseorang yang fana terhadap Allah dan mabuk (tidak ingat apapun selain Allah) karena sangat cintanya kepada Allah, maka tidak dapat ia saksikan kecuali hanya Allah.

Hikmah Ma'rifat
Hikmahnya kita ma'rifat kepada Allah yaitu; agar timbul rasa cinta dan keyakinan kita kepada Allah yang telah menciptakan kita, sehingga  hati kita selalu tenang dan ridho terhadap apa yang ditaqdirkan Allah kepada kita didalam menempuh hidup ini.
Sebagaimana jika seseorang ingin melamar dan menikahi seorang wanita, maka ia harus mengenal wanita tersebut dengan cara mengetahui sifat sifat dan karakteristiknya, agar timbul rasa cinta dan kasih sayang didalam keluarga, sehingga terwujudnya hidup yang sakinah, mawaddah warohmah (harmonis).
Adapun sifat sifat yang wajib bagi Allah sangatlah banyak dan tidak akan terhitung. karena sifat kesempurnaan Allah  tidak ada yang sanggup menghitungnya kecuali hanya Allah. Namun yang wajib kita ketahui adalah sifat yang terdapat dalil di dalamnya, baik dalil aqli  maupun naqli, yang bisa memantapkan keyakinan kita kepada Allah.
Didalam menjumlahkan sifat yang wajib ini para ulama berbeda pendapat diantaranya:
1.       Imam Asy'ari dan Muhaqqiqin berpendapat : sifat Allah yang wajib diketahui ada 12 sifat, yang terdiri dari 5 sifat salbiyyah dan 7 sifat ma'ani.
2.       Abi Bakri Al Baqilani, Imam Harmain dan imam Ar Roozi berpendapat : sifat Allah yang wajib diketahui ada 13 sifat. terdiri dari 12 sifat seperti diatas ditambah 1 sifat Nafsiyyah yaitu sifat wujud.
3.       Imam Ma'thuridhi, Imam Sanusi, Imam Ibrohim al bajuri berpendapat : sifat Allah  yang wajib diketahui ada 20 sifat. Terdiri dari 13 sifat seperti diatas ditambah dengan 7 sifat ma'nawiyyah.

Agar semua pendapat ulama ushuluddin tadi terbawa, maka kita mengambil yang 20 sifat yang dibagi lagi menjadi 4 sifat, yaitu :
1)      Sifat Nafsiyyah ada 1 sifat yaitu sifat wujud
2)      Sifat Salabiyyah ada 5 sifat yaitu sifat qidam, baqo', mukholafah  lil hawadits, qiyamuhu binnafsi dan wahdaniyyah.
3)      Sifat Ma'ani ada 7 sifat yaitu sifat qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama', basor dan kalam.
4)      Sifat Ma'nawiyah ada 7 sifat yatu sifat kaunuhu Qoodiron, Aa'liman, Muriidan, Hayyan, Sami'ian, Basiiron dan kaunuhu Mutakalliman.
Seorang Mukallaf (baligh & berakal) wajib berma'rifat dan meyakinkan sifat sifat yang ada pada Allah dan Rosul-Nya disertai dengan dalil dalil yang benar menurut ahli sunnah wal jama'ah, dengan resiko akan sah imannya serta akan diberi pahala jika meyakinkannya dan tidak sah imannya serta berhak akan disiksa diakhirat nanti jika tidak meyakinkannya.
Adapun Aqoid Iman itu ada 50 perkara, diantaranya :
1.       sifat wajib bagi Allah ada 20 sifat
2.       sifat mustahil bagi Allah  ada 20 sifat
3.       sifat jaiz bagi Allah   ada 1 sifat
4.       sifat wajib bagi Rosul ada 4 sifat
5.       sifat mustahil bagi Rosul ada 4 sifat
6.       sifat jaiz bagi Rosul ada 1 sifat

Beriman kepada Malaikat
Beriman kepada Malaikat yaitu membenarkan bahwa sesungguhnya Malaikat adalah hamba hamba yang dimuliakan oleh Allah, mereka sangat patuh terhadap Allah, tidak pernah melanggar perintah perintah Allah  dan selalu mengerjakan apa apa yang diperintahkan oleh Allah, serta malaikat adalah sebagai perantara dalam menyampaikan wahyu antara Allah dan Rosul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya.
Malaikat ialah jisim (bentuk) yang halus sejenis cahaya, yang bukan sejenis laki laki maupun wanita, tetapi bisa merubah bentuk akan bentuk yang berbeda beda. Tidak ada yang mengetahui berapa jumlahnya selain Allah . Tapi seorang mukallaf wajib mengimani (percaya) akan sepuluh dari pada malaikat tersebut secara tafsil (rinci) yaitu :
1.       Malaikat Jibril, tugasnya menyampaikan wahyu dari Allah kepada para Nabi dan Rosul.
2.       Malaikat Mikail, tugasnya menurunkan hujan dan mengatur rizqi.
3.       Malaikat Isrofil, tugasnya meniup sangsakala pada saat hari kiamat tiba.
4.       Malaikat ‘Izroil, tugasnya mencabut nyawa.
5.       Malaikat Munkar, tugasnya menanyakan dialam kubur.
6.       Malaikat Nakir, tugasnya menanyakan dialam kubur. Dikatakan bahwa malaikat munkar dan nakir menanyakan seseorang yang beramal buruk ketika didunia. Dan malaikat yang menanyakan seseorang yang beramal baik ketika di dunia adalah dua malaikat yang bernama Basyar dan Mubasyir.
7.       Malaikat Roqib, tugasnya mencatat amal baik seseorang.
8.       Malaikat ‘Atid, tugasnya mencatat amal buruk seseorang.
9.       Malaikat Malik, tugasnya sebagai penjaga pintu neraka.
10.   Malaikat Ridwan, tugasnya sebagai penjaga pintu surga. 

Beriman kepada Kitab Kitab Allah
Beriman kepada kitab kitab Allah yaitu membenarkan bahwa sesungguhnya kitab kitab tesebut berasal dari Allah , yang mana Allah telah menurunkannya akan sebagian para Rosul-Nya.
Adapun jumlah kitab kitab Allah itu ada 104 kitab, 50 kitab diturunkan kepada Nabi Syits, 30 kitab kepada Nabi Idris, 10 kitab kepada Nabi Ibrohim, 10 kitab kepada nabi Musa sebelum taurat. Dan wajib mengimani akan 4 kitab secara rinci yaitu :
·         Kitab Taurat diberikan kepada Nabi Musa
·         Kitab Injil diberikan kepada Nabi ‘Isa
·         Kitab Zabur diberikan kepada Nabi Daud
·         Kitab Al Quran diberikan kepada Nabi Muhammad

Beriman kepada Para Rosul
Beriman kepada Para Rosul yaitu membenarkan bahwasanya Allah  mengutus para Rosul kepada makhluq untuk memberikan petunjuk dan menyempurnakan akhlaq mereka. Dan bahwasanya Para Rosul tersifati oleh sifat sifat yang wajib baginya.
Adapun Rosul yang pertama kali diutus oleh Allah  yaitu Nabi Adam as dan yang paling terakhir diutus yaitu Nabi Muhammad saw. Dan dikatakan pada suatu hadits bahwa jumlah para Nabi itu 124.000 Nabi, dan jumlah para Rosul itu 313 Rosul. Sedangkan yang mu’tamad adalah tidak membatasi akan berapa banyaknya jumlah para Nabi dan Rosul, sebab hanya Allah  yang mengetahuinya.
Adapun jumlah para Nabi dan Rosul yang wajib diimani secara tafsiloleh seorang mukallaf yaitu ada 25 Nabi dan Rosul yaitu :
1.       Nabi Adam                     11. Nabi yusuf                      21. Nabi Yunus
2.       Nabi Idris                        12. Nabi Ayyub                    22. Nabi Zakariya
3.       Nabi Nuh                        13. Nabi Syua'ib                   23. Nabi Yahya
4.       Nabi Hud                        14. Nabi Harun                     24. Nabi ‘Isa
5.       Nabi Sholih                     15. Nabi Musa                      25.NabiMuhammad
6.       Nabi Ibrohim                  16. Nabi Ilyasa'
7.       Nabi Luth                        17. Nabi Dzulkifli
8.       Nabi Ismail                     18. Nabi Dawud
9.       Nabi Ishaq                       19. Nabi Sulaiman
10.   Nabi Ya'qub                    20. Nabi Ilyas

Beriman kepada Hari Akhir
Beriman kepada hari akhir (hari kiamat) yaitu; meyakini serta membenarkan bahwasanya akan datang suatu hari, yang mana hari tersebut adalah hari akhir, yang tidak bisa dibedakan mana siang dan mana malam, yang mana akan terjadi proses untuk mencapai kehdupan yang abadi di akhirat nanti antara surga dan neraka.
Beriman kepada Qodar Allah
Beriman kepada Qodar yaitu membenarkan bahwasanya Allah  mentaqdirkan akan kebaikan dan keburukan pada suatu zaman, yang mana makhluq belum diciptakan, yang disebut dengan zaman Azali. Maka tidak akan terjadi suatu kebaikan atau keburukan, manfa’at atau madhorot, tanpa Qodo’ (ketentuan) dan Qodar (kepastian) Allah.

Ta’rif Islam
اَلْإِسْلاَمُ هُوَ اْلإِمْتِثَالُ وَ َاْلإِنْقِيَادُ لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“ Islam yaitu mengamalkan dan tunduk terhadap apa saja (ajaran ajaran) yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw dari pada hukum hukum syara’ ”
Islam adalah agama yang diterima dan diridhoi disisi Allah, yang mana Dia telah memilihnya untuk hamba hamba pilihan-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 19 :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ (١٩)
“ Sesungguhnya agama yang (diterima/diridhoi) disisi Allah I itu adalah islam “
Allah tidak ridho akan agama selain islam dan tidak akan menerima agama selain islam. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 85 :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٨٥)
 “ Barang siapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang orang yang merugi “  
Orang orang yang memeluk agama selain islam atau orang kafir, mereka di akhirat nanti termasuk orang orang yang paling merugi, karena amal amal mereka sia sia sebab tidak diterima oleh Allah I, dan mereka menyangka bahwa mereka seolah olah beramal yang sebaik baiknya, padahal amalnya tidak ada apa apanya disisi Allah .
Sebagaimana Allah  berfirman dalam surat Al Kahfi ayat 103 :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (١٠٤)أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (١٠٥)ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (١٠٦)
  Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang Telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.

Dan bisa juga pengertian Islam sesuai dengan hadits Rosulullah  yaitu :
اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمَ الصَّلاَةِ,  وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً

“ Islam yaitu bahwasanya kamu bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib disembah dengan haq selain Allah Idan bahwasanya Muhammadr itu utusan AllahI, kemudian dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, puasalah pada bulan romadhon, dan tunaikanlah ibadah haji apabila kamu mampu menjalankannya “

Hadits tersebut merupakan rukun islam (Dasar dasar islam) yang jumlahnya ada 5 sebagaimana Rosulullah  bersabda :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ :  شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ,  وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةَ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَجُّ الْبَيْتِ
“ Islam didirikan atas lima perkara : 1). Bersaksi bahwa tiada tuhan yang wajib disembah dengan haq selain AllahI dan bahwasanya Muhammadr itu utusan AllahI, 2). Mendirikan sholat, 3). Menunaikan zakat, 4). Berpuasa pada bulan romadhon, 5). Menunaikan ibadah haji “

Adapun Rukun Islam yang 5 itu saling terkait satu sama lain, karena apabila seseorang mengamalkan sebagiannya, maka tidak diterima amal yang sebagian itu, karena wajib melaksanakan seluruhnya.
Apabila seseorang meninggalkan salah satu dari rukun islam, serta mengingkari akan kewajibannya, maka ia telah kufur. Barang siapa meninggalkan selain syahadat, serta ia tidak mengingkari kewajibannya maka ia termasuk fasiq, dan barang siapa melaksanakan seluruh rukun islam tersebut maka sempurnalah imannya.

Ta’rif Ihsan
اَلإِحْسَانُ هُوَ إِتْقَانُ الْعِبَادَاتِ وَأَدَاؤُهَا عَلىَ وَجْهِهَا اَلْمَأْمُوْرِ مِنَ الْخُشُوْعِ  وَالْخُضُوْعِ وَاْلإِخْلاَصِ وَالْحُضُوْرِ
“ Ihsan yaitu kepastian ibadah dan melaksanakannya sesuai dengan jalan yang telah diperintahkan (oleh Syara’) dari pada khusyu’ (konsentrasi), khudhu’ (merendahkan diri dihadapan Allah ), Ikhlash (semata mata karena Allah ) dan Hudhur (menghadirkan hati kita bahwa kita sedang menghadap Allah I dan mempunyai perasaan bahwa hati dan diri kita selalu di awasi oleh Allah ) “

Ihsan adalah kita beribadah kepada AllahI dengan penuh konsentrasi dan memahami terhadap apa yang kita baca, menghadirkan dan merendahkan diri kita dihadapannya, dengan menyadari bahwa kita tidak mempunyai daya dan upaya apapun untuk melakukan tho’at kepada-Nya, serta melakukan ibadah semata mata karena-Nya, mengharapkan ridho dan kasih sayang-Nya. dan meyakini bahwa segala puji adalah milik-Nya. Kita sebagai makhluq tidak pantas untuk di puji dan tidak pantas untuk membanggakan diri, karena semua adalah milik-Nya, yang merupakan karunia yang telah Dia berikan kepada kita dan kita harus senantiasa bersyukur atas karunia-Nya itu.
Maka dapat diketahui bahwasanya Iman adalah sesuatu yang wajib diketahui dan diyakinkan dalam i’tiqod (keyakinan) seseorang untuk berma’rifat kepada Allah I dan Rosul-Nya r, yang dibahas oleh Ulama didalam ilmu tauhid. Sedangkan Islam adalah sesuatu yang diwajibkan kepada seorang hamba didalam lahiriyyahnya dari pada hukum hukum syari’at, yang dibahas oleh para Ulama didalam ilmu fiqih, Dan Ihsan adalah sesuatu yang diwajibkan kepada hamba didalam bathiniyahnya dari pada gerak gerik hati, yang mana dibahas dalam ilmu tashowuf. Kita wajib mengkaji ketiga ilmu tersebut, sebab saling berkaitan satu sama lainnya dan kita diperintahkan oleh Rosulullahr untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabdanya yang sudah masyhur dikalangan muslimin:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (baik laki laki maupun perempuan) “

Apabila kita mengaku diri kita sebagai muslim, maka menuntut ilmu itu suatu kewajiban bagi kita, dengan resiko apabila kita meninggalkan menuntut ilmu, kita akan berdosa. Adapun ilmu yang wajib kita tuntut dan kita pahami itu adalah ilmu hal, ya’ni ilmu yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan kita. Seperti ilmu tauhid, itu sangat penting bagi kita, karena menyangkut aqidah kita, maka kita wajib menuntut ilmu tauhid yang sesuai, kuat dan benar menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah, supaya tidak didatangi oleh aqidah-aqidah yang bathil.
Kemudian seperti ilmu fiqh, itu wajib kita pelajari, karena bersangkutan dengan ibadah kita kepada AllahI dan mu’amalah kita dengan sesama makhluq. Seperti bagaimana cara berwudhu yang benar, cara sholat, zakat, puasa, ibadah haji dan ibadah lainnya yang dibenarkan oleh syara’. Maka wajib bagi kita menuntut ilmu fiqh tersebut.
Selanjutnya ilmu tashowuf, itu wajib kita pelajari, karena bersangkutan dengan hati kita. Apabila kita mengaku bertauhid dan paham akan ilmu fiqh, tapi hati kita dalam beribadah selalu ada perasaan ingin dipuji orang (riya’), bangga terhadap apa yang kita miliki dan kita lakukan (‘ujub), merasa paling benar dan hebat dari pada yang lain (takabbur), iri jika melihat orang lain lebih dari kita (hasud), dan lain sebagainya dari pada penyakit penyakit hati, maka sia sia lah ibadah kita, karena ibadah dan apa apa yang kita lakukan bukan karena Allah I semata. Naudzu billah..! maka wajib bagi kita mempelajari ilmu tashowuf serta mengamalkannya.   
Ketiga ilmu tersebut sangat berkaitan dan wajib kita ketahui untuk mensahkan aqidah (keyakinan) kita, tho’at (ibadah) kita dan untuk membersihkan hati kita dari pada sifat sifat yang tercela. Sebagaimana Syaikh Zainuddin Al Malibari dalam kitabnya Hidayatul Adzkiyaa :
وَتَعَلَّمَنْ عِلْمًا يُصَحِّحُ طَاعَةً     *          وَعَقِيْدَةً وَمُزَكِّى الْقَلْبَ أُصْقُلاَ
“ Dan tuntutlah ilmu yang mensahkan akan thoat, aqidah dan ilmu yang membersihkan hati. Bersihkanlah olehmu (akan hatimu) “
Apabila kita ingin ibadah kita diterima oleh Allah I dan kita ingin mengharapkan keridhoan Allah I, maka tuntutlah ketiga ilmu tersebut, karena saling berkaitan satu sama lainnya, dan merupakan fardhu A’in hukumnya. Adapun ilmu yang lainnya pun itu harus kita pelajari, karena memang penting untuk kehidupan kita dan merupakan fardhu kifayah hukumnya.
Apabila seseorang beribadah atau beramal tanpa dibarengi dengan ilmunya maka khawatir amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah I. Sebagaimana Syaikh Ibnu Ruslan melantunkan syair dalam kitab Matan Zubadnya :
فَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِعِلْمٍ يَعْمَلُ           *          أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ  لاَ تُقْبَلُ 
“ Setiap orang yang beramal tanpa dibarengi dengan ilmunya, maka amalnya itu (khawatir) ditolak /tidak di terima”
Sebagai contoh, apabila seseorang melamar kerja ke suatu perusahaan yang membutuhkan seorang ahli dalam bidang komputer misalnya, sedangkan dia tidak mengetahui secara banyak tentang ilmu yang bersangkutan dengan komputer, tapi dia nekad untuk melamar kerja ke perusahaan tersebut karena butuh mata pencahariaan, apakah dia akan diterima sebagai karyawan di perusahaan tersebut ? jawabannya ; kemungkinan besar tidak akan diterima, karena perusahaan tersebut tidak membutuhkan selain dari pada ahli komputer yang mahir.   
Maka penulis mengingatkan pada diri sendiri khususnya, dan pada saudara-saudara penulis yang muslim, marilah kita menuntut ilmu dengan sungguh sungguh serta mengamalkannya dengan ikhlas, karena percuma saja kita menuntut ilmu hanya sekedar pengetahuan saja tanpa mengamalkannya. Dan sesungguhnya Allah I akan mela’nat dan akan menyiksa dua kali lipat dari pada orang yang bodoh apabila seseorang mengetahui ilmunya tapi tidak mengamalkannya, karena dosa dari akibat tidak mengamalkannya dan dari akibat mengetahuinya. Na'udzu billahi min dzalik…!
Sedangkan orang yang bodoh, dia tidak beramal karena memang ia tidak  mengetahuinya. Tapi jangan sampai kita ingin menjadi orang bodoh, karena yaqin kita semua pasti menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, maka tuntutlah ilmu dan amalkanlah dengan ikhlas, jangan sekedar jadi hiasan saja, niatkanlah untuk mendapatkan keridhoan dan kasih sayang Allah I, serta untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Jangan sampai terlintas di hati kita apabila kita menuntut ilmu agama kita tidak akan mendapatkan rizqi, sebagaimana kebanyakan orang menganggap demikian. Kebanyakan orang menuntut ilmu hanya sekedar untuk mencari dunia atau kerja. Hal ini adalah pemahaman yang salah. Carilah ilmu untuk semata mata karena Allah I, karena di perintah oleh Allah  dan Rosul-Nya, dan niatkanlah untuk mensyi'arkan agama islam.
Memang bukan hal yang salah apabila kita bekerja untuk mencari rizqi, karena memang kita diperintahkan untuk kasab (usaha) dan suatu kewajiban bagi kita untuk memberikan nafkah pada keluarga kita. Tapi jangan sampai kita lalai terhadap aturan turan Allah  hanya gara gara mencari dunia, karena nafsu kita tidak akan ada puasnya terhadap dunia, apabila kita tidak bisa mengendalikannya.
Maka jangan heran apabila kita bekerja dan usaha banting tulang tapi hasilnya tidak memuaskan, karena kurangnya ketaqwaan kita kepada Allah, dan kita lebih mengutamakan mencari dunia dari pada melaksanakan perintah Allah. Yaqinlah bahwasanya Allah  akan mengutamakan kita dan  memberikan hal yang terbaik bagi kita apabila kita lebih mengutamakan perintah-Nya. Dan Allah  tidak akan mengutamakan kita dan tidak akan memberikan hal terbaik bagi kita apabila kita lebih mengutamakan selain-Nya.

Adapun tujuan dasar kerja menurut islam itu ada 3 :
a.       Mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarga, apabila kebutuhan diri dan keluarga sudah tercukupi dengan baik, maka dengan begitu akan mengurangi dorongan untuk meminta minta atau dorongan untuk melakukan hal hal yang dapat menjerumuskan diri pada tindakan yang tidak terpuji.
b.      Untuk memberikan kemaslahatan atau kesejahteraan pada masyarakat luas, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau pada tujuan pertama mungkin seseorang mudah mengatasi, hasil kerja itu tidak sebatas untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi harus ada yang digunakan untuk mengembangkan kemaslahatan umum.
c.       Untuk meningkatkan mutu pengabdian dan ketaatan kepada Allah, atau dalam bahasa sederhananya untuk meningkatkan kualitas ibadah. Misalnya bekerja agar bisa menunaikan ibadah haji, shodaqoh, menjadi donatur pembangunan masjid atau sarana agama, dan lain lain.

Oleh karena itu Marilah kita berusaha meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah  dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, agar kita mendapatkan ridho dan kasih sayang-Nya. Apabila Allah  sudah ridho kepada kita, pasti Allah  akan mengabulkan apa yang kita inginkan, kehidupan kita akan terasa mudah dan selalu diberikan jalan keluar/solusinya apabila kita mempunyai masalah. Sebagaimana Allah  berfirman dalam surat At Tholaq ayat 2-3 :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (٣)
 “ Barangsiapa bertaqwa kepada Allah  niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah , niscaya Allah  akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah  melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah  Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
 Perlu diketahui, bahwa Taqwa tidak akan bisa dihasilkan tanpa dibarengi dengan ilmu, karena mengerjakan perintah perintah Allah  dan menjauhi larangan-Nya itu bisa dilaksanakan apabila kita mengetahui apa saja yang diperintahkan dan apa saja yang dilarang oleh Allah  bagi kita. Maka oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk terus menuntut ilmu demi mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
S                                                        G

Tidak ada komentar:

Posting Komentar